Sebagai seorang ahli politik, Iyer punya pendapat yang sangat menarik tentang politik. Menurut Iyer, politik tak dapat dipisahkan dari kehidupan, dari masalah manusia, pertimbangan moral, kepercayaan agama dan sekuler, cara hidup, mitos yang diwariskan, mimpi, mimpi buruk; dari prakonsepsi dan anggapan tentang isu-isu mendasar, tema dan nilai-nilai transenden; dan dari perbedaan antara benar dan salah, baik dan jahat, kesenangan dan kesakitan, kebebasan dan tirani, egoisme dan altruisme.
Pendek kata, Iyer ingin menegaskan ketidakterpisahan politik dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Dengan demikian, politik dalam pandangan Iyer bukan melulu soal kekuasaan, tetapi jauh lebih dalam lagi. Politik berkaitan sangat erat dengan moralitas, impian, harapan, dan ketakutan. Bahkan, politik juga menyangkut cara hidup manusia.
Dalam rumusan lain, Asef Bayat (2013) menyatakan kehidupan adalah politik (Life as Politics). Sebelum tahun 2011, ada anggapan umum bahwa Timur Tengah adalah wilayah yang tak berubah dan tak dapat berubah, membeku dalam tradisi dan sejarahnya sendiri. Sementara belahan dunia lain sudah berubah dan terus berubah. Akan tetapi, siapa yang pernah menduga rakyat biasa telah berhasil mengubah wajah Timur Tengah. Kehidupan rakyat kecil-lah yang telah mengubah Timur Tengah, menjadi Revolusi Musim Semi Arab.
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, polis, yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warga negara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara, dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon. Dengan istilah itu, ia ingin menjelaskan hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi di antara dua orang atau lebih sudah pasti melibatkan hubungan politik.
Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian, kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Dalam rumusan lain, Aristoteles mengatakan, politik adalah usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Karena itu, aktif ambil bagian dalam kehidupan polis, aktif sebagai warga negara, berbicara dan bertindak dalam arena publik, adalah hal yang paling baik. Negarawan Romawi kuno, Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), sepakat dengan Aristoteles. Bagi Cicero, kebajikan tertinggi manusia terletak pada kepemilikan dan penggunaan pengetahuan dalam urusan praktis.
Reputasi buruk
Namun, sekarang politik memiliki reputasi buruk (Andrew Gamble: 2019). Mengapa demikian? Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur telah diselewengkan untuk maksud-maksud tak terpuji, pun dengan cara-cara tak terpuji. Ini terlebih lagi kalau politik lebih diartikan sebagai cara mencari kekuasaan dengan mementingkan diri sendiri.
Memang, politik riil adalah pertarungan kekuasaan. Oleh karena pada dasarnya politik riil adalah pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu, kecenderungannya adalah menghalalkan segala cara (istilah yang selalu dikaitkan dengan Niccolo Machiavelli). Dikatakan menghalalkan segala cara karena memang menggunakan segala cara demi terealisasinya kepentingan diri, kelompok, golongan, partai, agama, dan kaumnya sendiri.
Cara-cara itu kini mewujud antara lain dalam bentuk penyebaran berita bohong (hoaks), berita tak berdasar, fitnah, memutarbalikkan fakta, ujaran kebencian, dan juga memelintir berita, merekayasa dan memanipulasi video. Pemilu, yang semestinya menjadi pesta untuk merayakan perbedaan, telah berubah menjadi panggung yang mengingkari perbedaan. Perbedaan yang sejatinya adalah anugerah Ilahi justru dianggap sebagai musibah.
Inilah contoh paling aktual teror politik dalam demokrasi di negeri ini. Secara teoretis, teror atau terorisme tak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tak ada teror tanpa kekerasan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang ditunjukkan kepada orang lain dengan maksud melukai, menyakiti, dan membuat menderita, baik secara fisik maupun psikis.
Menakut-nakuti seseorang orang agar tak memilih, untuk tak memilih kandidat tertentu atau kalau menjatuhkan pilihan yang berbeda akan menanggung akibatnya "dunia akhirat", atau mengajak untuk tak menjatuhkan pilihan atau golput, atau pagi-pagi sudah menyatakan ada kecurangan atau KPU tidak netral, adalah bentuk lain dari teror. Sangatlah wajar kalau kemudian muncul pandangan atau pendapat politik itu kotor dan berlumuran dosa. Sebenarnya itu keliru, tetapi dapat dipahami. Sepak terjang (sebagian) aktor politik yang sering kali tak memberikan citra positif atas dunia ini ikut menguatkan paham yang keliru ini. Padahal, sebenarnya politik sama dengan bidang-bidang lain dalam kehidupan manusia.
Mengejar kekuasaan dan cara-cara tak bermoral yang sering dianut politisi untuk menang selalu jadi bagian dari daya pikat politik bagi mereka yang berpartisipasi dalam permainan besar. Hal itu juga membantu menjelaskan mengapa masyarakat tak suka politik. Maka, jatuhlah reputasi politik sebagai kebajikan tertinggi.
Drama karakter
Padahal, pada hakikatnya, tujuan politik adalah memperjuangkan terwujudnya bonum commune, kesejahteraan bersama. Dalam rumusan lain, politik adalah perjuangan untuk membuat kinerja kekuasaan mengarah pada kesejahteraan bersama. Politik berarti membangun kesejahteraan yang berkeadilan. Dan, politik itu mulia dan baik manakala politisinya terjun ke dunia politik dengan dedikasi yang tinggi untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat.
Akan tetapi, melihat apa yang terjadi saat ini, jangan berharap bahwa ada politik yang bermartabat. Mengapa? Sebab, politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari seorang pemimpin berkarakter, pemimpin berwatak mulia. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Seperti dikatakan oleh Hannah Arendt, politik merupakan seni untuk mengabadikan diri manusia (Haryatmoko: 2003). Mengabadikan diri merupakan seni untuk dikenang oleh sesama warga negara dan dicatat sejarah karena jasa-jasa dan prestasi dalam membangun kehidupan bersama. Jasa dan prestasi itu menandai kepedulian terhadap kehidupan bersama yang memberi bobot identitas politikus.
Politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan pihak lain melalui wicara dan persuasi; bukan melalui manipulasi, kebohongan, fitnah, ujaran kebencian, teror, dan kekerasan. Dengan kata lain, politik adalah seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Keutamaan moral menjadi prasyarat bahwa seseorang bukan hanya disebut politikus, melainkan negarawan. Karena itu, keterlibatan dalam politik merupakan salah satu ungkapan paling mulia akan amal kasih dan ini memberi keprihatinan akan masa depan kehidupan. Hal semacam itu yang semestinya terjadi pada saat ini.
Hanya saja, dalam politik kebencian itu nyata, demikian juga pesona. Maka itu seperti dikatakan Andre Gamble, politik adalah drama karakter dan keadaan yang tiada akhir. Drama kehidupan manusia, dengan berbagai wajah, seperti yang dikatakan Napoleon Bonaparte, dari yang agung ke yang rendah, gila, konyol hanya satu langkah. Sayangnya, yang satu langkah itulah yang kini banyak dilakukan sehingga yang tertangkap mata adalah yang rendah, yang gila, dan yang konyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar