Walau ia sempat mencuat kembali pada 2018 (1,39 juta ton), kenaikan tersebut lebih dipicu oleh kemunculan ganja sintetis. Mulai pula bermunculan zat adiktif baru yang sebagian dipasarkan via dunia maya (darknet). Badan PBB untuk Urusan Narkotika (UNODC) mewanti-wanti munculnya pola baru regenerasi pasar narkotika (World Drug Report, 2018).
Jane Mounteney et al (2018) membagi sejarah penyalahgunaan narkotika menjadi tiga zaman keemasan. Pertama ialah era populernya methamphetamine (MDMA) yang dikemas dalam bentuk pil/tablet pada kurun waktu 1985-2000 dan lazim dikenal dengan nama ekstasi. Periode ini ditandai dengan penggunaan masif ekstasi di bar dan diskotek seiring menjamurnya musik disko yang mengentak (house music).
Pola penanganan umumnya bersifat preventif dengan metode harm reduction (pengurangan dampak buruk). Periode ini memudar seiring beralihnya pengguna ke MDMA berbentuk bubuk dan kristal. Kematian terkait penggunaan ekstasi seperti kasus remaja Leah Sarah Betts di Inggris turut memberi andil pada perubahan tersebut (Blackman, 2004).
Era kedua (2000-2010) ditandai pemakaian MDMA dalam bentuk selain pil. Dua bentuk MDMA yang populer pada era ini adalah "ice" dan "shake". Kartel Meksiko merupakan pihak yang pertama kali memopulerkannya ke kalangan geng-geng bermotor di Amerika Serikat pada akhir 1990 (Finkencnauer, 2001). "Ice" memiliki kandungan MDMA yang tinggi sebab Kartel Meksiko memiliki akses terhadap prekursor dan punya sumber daya modern guna mengolah bahan baku tersebut. (Shukla et al, 2012).
Ketika AS mulai menggencarkan pengawasan prekursor sebagai fase lanjut War Drugs (Perang Narkotika) pada awal 2000, suplai "ice' mulai terhambat masuk ke pasar domestik AS (US National Intelligence Report, 2012). Beberapa pihak mulai membuat sendiri kristal MDMA berbahan pseudoefedrin, litium baterai, dan pelbagai zat lain ke dalam sebuah botol plastik lalu dikocok (shake).
Karena lebih mudah, akhirnya metode "shake" tersebut menyebar ke pelbagai penjuru dunia dan di beberapa tempat, seperti China dan Eropa Timur, disempurnakan dengan cara "memasak" prekursor di dalam sebuah wadah (one-pot method). Luaran produksi metode terakhirlah yang akhirnya sampai di pasar Asia, termasuk Indonesia, dan dikenal sebagai sabu (Maxwell & Brecht, 2011).
Hingga 2011, ekstasi dan sabu merupakan zat yang paling banyak disalahgunakan (Laporan Dittipid Narkoba Polri, 2007-2011). Namun, Survei Penyalahgunaan Narkotika BNN pada tahun 2013 dan 2015 memperlihatkan pendulum berayun kembali pada ganja sebagai zat dengan pengguna terbanyak. Era ketiga ini (2010-2015) ditandai pula munculnya varian zat psikoaktif baru (NPS) yang dibuat secara sintetis di laboratorium-laboratorium canggih.
Akibat masifnya perang terhadap narkotika (War on Drugs) yang dikomandoi AS, kartel-kartel zat haram mulai memproduksi ganja sintetis berbahan dasar turunan 5-fluoro-ADB yang 100 kali lebih toksik ketimbang ganja konvensional (Hasegawa et al, 2014). Di Indonesia, zat tersebut dikenal dengan sebutan "Tembakau Gorila".
Era 4.0
Gencarnya penutupan tempat-tempat produksi narkotika di pelbagai negara memicu penggunaan taktik baru pemasaran global via dunia maya. Daftar situs Alpha Bay, misalnya, memuat 40.000 vendor dan 200.000 pelanggan narkotika sebelum ditutup paksa pada pertengahan Juli 2017. Masifnya penggunaan cryptocurrency dibarengi aplikasi keamanan berlapis seperti Tor software juga menjadi ciri khas era ini (Aldrich & Askew, 2017). Sebuah survei lembaga pemantau narkotika di Eropa pun mengulas pertumbuhan mencengangkan darknet, dari 44 juta dollar AS dalam kurun 2011-2015 menjadi 300 juta dollar AS pada tahun 2016 saja (EMCCD Report, 2018).
Ciri lain regenerasi pasar 4.0 adalah mulai dipindahkannya pusat-pusat produksi ke wilayah yang sejatinya belum pernah terpantau dalam peta narkotika dunia. UNODC mencatat tumbuhnya pusat-pusat produksi MDMA baru di Afrika Utara, Asia Tenggara, dan Oseania justru setelah operasi War on Drugs. Laboratorium-laboratorium baru ini sangat berbahaya sebab memiliki kapasitas produksi dan jaringan distribusi 2-3 kali lipat ketimbang pendahulunya. Fenomena "dibunuh satu, muncul dua" ini dinamakan "Hydra Effect" (Sanho Tree, 2016).
Pembukaan pabrik baru tersebut tentu mengakibatkan peningkatan jumlah produksi. Inilah faktor pencetus membanjirnya jumlah dan jenis ke negara-negara pasar narkotika, termasuk Indonesia. Kasus penemuan sabu biru (blue ice) pada jaringan mantan anggota DPRD Langkat, Sumatera Utara, serta munculnya kokain yang melibatkan sejumlah artis dan orang terpandang di Indonesia menegaskan hipotesis di atas.
Disrupsi pola peredaran narkotika berbasis teknologi informasi tak dapat dihadapi dengan metode interdiksi konvensional belaka. Institusi penegak hukum perlu memikirkan dibentuknya pusat penanggulangan kejahatan narkotika (narcotics cyber crimes center) ditunjang perekrutan sumber daya manusia yang kompeten dan profesional di bidang teknologi informasi.
Revisi aturan hukum serta metode pendekatan kesehatan masyarakat (public health approach) mestinya dikedepankan guna mengurangi ekses sosial ekonomi tindak pemberantasan narkotika. Penuh sesaknya penjara kita salah satu penyebabnya adalah masih kentalnya pendekatan keamanan (security approach) yang digunakan hingga saat ini (ICJR, 2018).
Solusi di atas butuh dukungan anggaran yang memadai. Namun, ironisnya pagu indikatif anggaran BNN tahun 2019 malah turun Rp 220 miliar ketimbang tahun sebelumnya (WikiDPR.org, 2018). Komitmen pemerintah mengantisipasi era baru regenerasi narkotika bakal diuji di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar