Manifestasi dari redupnya antusiasme dan menguatnya sinisme politik terhadap keadaan politik yang berlangsung adalah berkembangnya ajakan untuk golput (tidak memilih) dalam Pilpres 2019. Golput menguat karena persepsi bahwa dua pasang kandidat yang ada dipandang sama saja dan tidak menggerakkan optimisme bagi keterbukaan politik yang lebih baik.

Apabila meredupnya kepercayaan tentang memilih di pilpres merupakan salah satu jalan merawat demokrasi sebagai penyebab utama dari golput, golput bukanlah persoalan moralitas. golput bukanlah persoalan lemahnya integritas publik dan hilangnya responsibilitas sosial untuk menjaga keadaban publik. Kita harus hormati bahwa sebagian kalangan yang memilih golput adalah kalangan yang memiliki moralitas publik yang kuat, penggerak demokrasi yang kecewa bahwa ekspektasi mereka akan pemajuan agenda-agenda progresif tak terpenuhi saat ini.

Pemahaman politik

Ketika golput tidak bisa dilihat dari problem moral, persoalan golput bisa kita letakkan pada problem pemahaman politik. Bahwa dalam kerja politik untuk menghadirkan perubahan, kebijakan progresif tidak dapat berlangsung sekejap mata. Inisiatif politik untuk mendorong pemajuan isu-isu demokrasi harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan konservatif yang menolaknya baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Tanpa kesadaran akan kompleksitas dan dialektika kekuatan-kekuatan politik, khususnya yang berlangsung di Indonesia, sampai kapan pun dan siapa pun yang berkuasa, kita akan selalu mengulangi siklus emosional yang sama: harapan awal menaik yang segera disertai oleh kekecewaan atau sinisme yang membuncah.

Akademisi ilmu politik asal Inggris, Bernard Crick (1962), dalam karyanya, In Defense of Politics, mengatakan, politik seperti halnya Antaeus dalam mitologi Yunani dapat terus dijaga kemudaan, kekuatan, dan daya hidupnya selama kita menjejakkan dalam realitas kebumian. Kita hidup dalam kondisi yang manusiawi (human condition) dengan kemuliaan dan kedaifannya. Kondisi profan yang selalu dihadapkan oleh ketegangan ganda bahwa idealita yang kita perjuangkan tidak dapat sepenuhnya tergenggam mengingat realisme dunia profan kerap kali menghalanginya.

Sebaliknya tarikan perjuangan mencapai idealisme menjadi hal yang penting agar politik tidak hanya menjadi aktivitas rutin yang banal dan mudah terjebak pada proses pengeroposannya (political corruption).

Secara lebih konkret, terkait dengan refleksi atas kontestasi dan pertarungan antar-kekuatan politik yang ada intelektual progresif mendiang Ralph Miliband (1969) dalam karyanya, The State in Capitalist Society, menjelaskan bahwa kerap kali di negara demokrasi, kalangan aktivis liberal pluralis ataupun progresif sosialis salah mengandaikan bahwa menggenggam kekuasaan di pemerintahan itu ekuivalen dengan menguasai ruang-ruang negara.

Sikap yang kerap kali membawa pada tingginya ekspektasi yang tidak disertai oleh kesadaran akan kerasnya tembok relasi kekuasaan ranah politik.

Dalam konteks Indonesia kekeliruan asumsi ini terletak pada pemahaman yang ceroboh bahwa kemenangan dalam politik elektoral atas lembaga eksekutif adalah identik dengan menguasai seluruh lembaga kenegaraan dan ruang masyarakat sipil, tanpa memperhitungkan resistansi dari faksi-faksi oligarki, baik di dalam maupun di luar kubu pemenang pilpres, ataupun struktur dalam kenegaraan (deep state) birokrasi yang telah eksis sebelumnya.

Kompleksitas persoalan

Sebagai contoh implementasi reforma agraria yang merupakan bagian dari janji-janji dalam Nawacita. Meskipun capaian kebijakan reforma agraria tersebut berangkat dari realitas bahwa meskipun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 pemerintah menargetkan untuk merampungkan legalisasi 9 juta hektar tanah (Kompas, 29/3/2018). Namun, kecaman terhadap pemerintah masih menguat terkait tak terselesaikannya persoalan konflik-konflik tanah antara masyarakat sektor negara dan privat di kalangan aktivis prodemokrasi.

Satu hal yang sering kali terlupa, problem distribusi tanah merupakan persoalan akut yang menyumbang pada ketimpangan sosial kita di negeri kita ini adalah problem historis. Penguasaan lahan yang begitu besar oleh aliansi bisnis-politik yang menyejarah ini membuat pilihan-pilihan politik yang tersedia tidak banyak dan kebijakan yang saksama juga harus mempertimbangkan sisi gradualisme dan kehati-hatian.

Sementara itu, setelah runtuhnya Orde Baru bukankah baru saat ini kita bisa mendiskusikan kembali persoalan tanah dan reforma agraria sebagai kebijakan yang masih terus bergulir.

Contoh lain adalah terkait dengan sikap pemerintah yang dianggap tebang pilih dalam proses pemberantasan korupsi. Dalam beberapa peristiwa muncul persepsi bahwa pada awalnya pemerintah kalah dan tidak berhasil mempertahankan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi. Namun, dalam perkembangannya terlihat dukungan pemerintah yang menguat terkait dengan pemberantasan korupsi.

Selama lima tahun terakhir sekitar Rp 1,6 triliun uang dikembalikan ke negara oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini tentu bukan jumlah uang yang sedikit.  Bahkan, penghormatan terhadap otonomi dan integritas KPK dibuktikan dengan tidak adanya intervensi politik Presiden Jokowi terhadap KPK meskipun beberapa kali KPK menangkap politisi yang menjadi bagian dari aliansi politik pemerintah.

Pemahaman yang melompat dan mengabaikan rumitnya pertarungan
antar-kekuatan sosial dalam panggung kekuasaan inilah yang kerap kali
menciptakan persepsi bahwa begitu mudahnya pihak pemerintah ataupun petahana melakukan pengkhianatan mandat rakyat. Sebuah pandangan
yang saat ini menjelma menjadi tindakan golput. Tentu saja hal ini bukan berarti kita harus memberikan pembenaran terhadap semua tindakan pemerintah.

Yang patut direnungkan sebelum pilpres pada 17 April 2019 adalah kekuatan politik manakah yang paling mungkin memberikan kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat ketika dihadapkan pada realitas kerasnya struktur politik di Indonesia. Pada akhirnya bagi yang memilih golput hendaknya patut dipikirkan bahwa kemenangan dalam pilpres hari ini tidak berarti esok menguasai negara. Sekarang berjuang, bukan berarti besok kita merdeka. Sinisme tidak menyelesaikan masalah. Komitmen atas ideal- ideal politik dengan kesadaran realisme politik yang perlu dipegang sebelum kita menuju bilik suara.