Bagaimana dampak yang akan terjadi jika tarif pajak di turunkan, terutama tarif wajib pajak (WP) badan. Sampai sejauh mana implikasinya memengaruhi perekonomian nasional jangka pendek ataupun jangka panjang. Karena bagi pemerintah, tarif pajak yang besar akan memudahkan penerimaan negara, tetapi sebaliknya bagi WP (masyarakat) akan memengaruhi komsumsi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Teori Laffer
Teori tarif pajak yang dikembangkan dengan kurva Laffer sangat menarik untuk dikaji. Laffer menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang erat antara tarif pajak (tax rates) dengan penerimaan negara (tax revenue ). Kondisi ini dapat dijelaskan dengan kurva.
Kurva Laffer menjelaskan bahwa pada titik tarif pajak sebesar nol persen, pemerintah tidak mendapatkan penerimaan negara dari pajak, demikian pula pada tarif pajak 100 persen pemerintah juga tak akan mendapatkan penerimaan pajak alias nihil, kondisi ini disebabkan kesediaan untuk membayar pajak dari masyarakat akan menurun sehingga timbul perilaku penghindaran pajak.
Korelasi antara tarif pajak dan penerimaan negara dari pajak terjadi karena perubahan tarif akan dua dampak, pertama arithmetic effect terjadi jika tarif pajak kecil, penerimaan pajak akan rendah dan berlaku sebaliknya jika tarif pajak besar penerimaan pajak tinggi.
Sedangkan yang kedua economic effect ini menjelaskan hubungan multiplier terhadap kegiatan ekonomi, jika tarif pajak dinaikkan akan berdampak negatif pada aktivitas perekonomian sedangkan jika pajak diturunkan akan bersifat positif terhadap aktivitas perekonomian.
Maka atas dasar kurva Laffer tersebut diperlukan titik ekuilibrium sehubungan dengan tarif pajak. Titik keseimbangan ini diperlukan karena hal ini akan menentukan tarif pajak yang tepat sehingga dapat memberikan manfaat maksimal untuk perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang optimal buat penerimaan negara dari sektor pajak.
Kajian komprehensif
Wacana yang digulirkan tarif pajak WP badan (bentuk badan usaha, seperti PT, CV, Firma dan Persekutuan) akan diturunkan menjadi 22 persen kemudian menuju ke 20 persen. Saat ini tarif WP badan yang berlaku betengger di angka 25 persen.
Jika melihat negara tetangga kita, tarif pajak di Singapura misalnya 17 persen (sejak 2016) dan rasio pajak di sana 14,29 persen (Indonesia rasio pajak 11,36 persen). Sementara tarif pajak di Thailand 23 persen dengan rasio pajak sekitar 16 persen dan tarif pajak di Malaysia 25 persen dengan rasio pajak 14,4 persen. Singapura di urutan pertama, dengan tarif pajak terkecil di ASEAN.
Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB). Rasio pajak juga merupakan alat ukur kinerja penerimaan pajak. Berkaca dari Singapura jelas bahwa tarif pajak yang rendah dapat menciptakan penerimaan pajak yang mumpuni.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018 telah mengambil langkah yang menarik karena telah menurunkan tarif pajak untuk usaha kecil menengah (UKM) dari 1,0 persen menjadi 0,5 persen, dengan keyakinan yang positif bahwa ke depannya pajak atas usaha kecil menengah menjadi lebih banyak dapat terkumpul, karena berkembang dan bertumbuhnya usaha dari sektor UKM. Kebijakan ini menuai banyak pujian dari kalangan pelaku UKM.
Namun untuk menurunkan tarif pajak badan diperlukan kajian yang komprehensif dan perhitungan yang cermat, karena jika salah perhitungan akan berdampak menggerus penerimaan negara yang tentunya akan memengaruhi APBN kita sehingga menjadi berkurang dan menghambat proses pembangunan. Semoga hal ini menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah dan pemikir-pemikir perpajakan.
Penulis yakin kita akan mampu menjadi negara yang makmur karena Sang Pencipta mengaruniai Indonesia alam, budaya, dan masyarakat yang hebat. Di samping itu, kita sanggup menjadikan bangsa yang memberikan kontribusi yang baik terhadap aspek penerimaan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar