Seorang pemimpin partai politik ditangkap dan digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa. Usianya tergolong muda. Dinamis. Lumayan cerdas. Retorikanya menarik. Ide-idenya sarat isu perubahan. Masyarakat pun punya harapan: ia menjadi pemimpin bangsa yang tangguh.
Namun, mendadak ia harus jadi tersangka dalam kasus suap di lembaga pemerintah. Kasus terjebaknya kaum muda dalam pusaran korupsi sudah terjadi berulang kali. Politikus-politikus muda rontok berguguran.
Pasti ini mengecewakan publik yang menaruh harapan besar pada kaum muda bisa jadi pemimpin bangsa. Masyarakat kita masih menggenggam nilai, etika, dan moral di atas segalanya. Pemimpin, siapa pun mereka, harus tunduk pada prinsip nilai, moral, dan etik publik. Ini berkaitan erat dengan kepercayaan: pemimpin yang baik harus selalu berperilaku terpuji.
Nilai, etika, dan moral merupakan horizon atau orientasi publik di dalam menentukan ukuran baik-buruk, benar-salah, dan mulia-nista terhadap para pemimpin, baik dalam konteks penyelenggaraan negara/pemerintah maupun kemasyarakatan. Terhadap pemimpin yang berbudi dan berperilaku baik, masyarakat menaruh kepercayaan sekaligus merasa aman.
Percaya untuk tidak akan dibohongi atau dikhianati. Aman dari berbagai ancaman dan ketakutan terkait dengan penyelewengan atau pencurian hak-hak publik. Hidup sudah sangat susah, jangan sampai kehadiran pemimpin justru menambah kesusahan publik.
Sejak gerakan Reformasi 1998 bergulir, publik berharap negeri ini dipimpin tokoh-tokoh muda yang bisa dipercaya, kapabel, idealis, serta punya integritas dan dedikasi.
Harapan itu juga berkaitan dengan munculnya para politisi muda yang oleh publik dianggap "terbebas" dari virus mental Orde Baru (Orbaisme) yang represif dan korup. Pemimpin-pemimpin muda dianggap punya pikiran jernih dan segar. Mampu menjadikan Indonesia lebih punya harga diri atau bermartabat. Salah satu ukurannya, bersih dari korupsi.
Namun, rakyat harus kembali menelan kekecewaan. Banyak pemimpin muda yang masuk parpol dan kekuasaan, ternyata tidak atau belum membawa dampak signifikan. Tidak hanya dalam hal peningkatan kesejahteraan, tetapi juga keadaban publik. Bahkan, sebagian dari mereka pun tenggelam dalam arus kekuasaan yang korup.
Bayangan ideal publik atas kecemerlangan civil society (masyarakat berperadaban) pun retak. Ternyata perilaku pemimpin-pemimpin muda tak beda jauh dengan para senior yang selama ini sudah kenyang korupsi dan sebelumnya mereka kutuk ramai-ramai. Orang Jawa bilang, jebul ora kacek (tak punya kelebihan dalam hal nilai).
Publik pun menggugat, di mana idealisme dan progresivitas pemimpin-pemimpin muda itu? Kenapa mereka hanya progresif ketika ada di jalanan, tetapi jadi lembek dan lumer ketika berada di kekuasaan? Janji mereka untuk menciptakan perubahan dari dalam kekuasaan ternyata tidak terbukti. Kekuasaan pun tetap berada dalam pusaran arus lama: feodal, nepotis, dan korup.
Peran sentral
Ilmuwan politik Ben Anderson (1936-2015) melihat kaum muda memiliki peran sentral dalam menciptakan perubahan. Hal itu bisa dibaca dalam tulisan Daniel Dhakidae tentang Ben Anderson.
Dikatakan Daniel, ketika memulai studi untuk disertasi yang kelak dibukukan menjadi Java, in Time of Revolution, Anderson mengubah haluan dengan hipotesis bahwa revolusi Indonesia bukan diledakkan oleh "kaum intelektual yang tersisihkan" (alienated intelligentsia), bukan oleh kelas tertindas (oppressed classes), melainkan oleh pemuda, dengan penjelasan kultural bahwa ada suatu yang disebut sebagai pemuda consciousness, kesadaran sebagai pemuda yang menggerakkannya" (Daniel Dhakidae, Mengenang Ben Anderson: Membangun Hidup Akademia, Bina Desa, 2016).
Kenapa kesadaran sebagai pemuda (sebagai agen perubahan) itu kini cenderung meredup justru di era yang penuh kebebasan?
Pertama, pada era demokrasi liberal, kaum muda belum berhasil membangun habitat politiknya sendiri. Upaya mereka menciptakan parpol pasca-reformasi kurang dapat dukungan publik. Mereka kalah bersaing dengan tokoh-tokoh senior politik yang sejak era Orde Baru telah memiliki parpol, lengkap dengan mesin politik, infrastruktur, jaringan, akses dana, dan basis sosial. Juga kalah bersaing dengan tokoh-tokoh politik yang telah jadi pemain lama di kekuasaan.
Kondisi ini memaksa kaum muda ngenger (mengabdi) pada tokoh-tokoh politik senior dan panutan, sampai kemudian bisa masuk parpol. Otomatis posisi mereka bukan penentu, melainkan pengikut (pelengkap penyerta). Mau tak mau mereka ikut tabiat arus politik yang berlaku yang tak jauh dari ambisi berkuasa.
Ide-ide kaum muda yang mencoba mengubah keadaan cenderung kurang dapat ruang atau bahkan mentok menghadapi otoritas (pemilik parpol). Kaum muda pun tak punya kemandirian politik.
Kedua, gaya hidup mewah tak mampu dihindari para politisi muda, seiring menguatnya hedonisme biologis dan hedonis psikologis. Mereka hidup tak ubahnya selebritas (pesohor), bergelantungan pada sulur-sulur glamoritas, popularitas, arus kas (chas flow) tinggi, dan penumpukan kekayaan. Mau tak mau mereka menukar nurani dan akal sehatnya dengan semua kemewahan demi memenuhi gaya hidup hedonistik. Korupsi menjadi salah satu jalan untuk mereguk kemewahan itu.
Jagat politik yang lekat dengan korupsi akhirnya jadi mesin pembunuh bagi para pelakunya, termasuk kaum muda yang tak tahan godaan. Ini tak lepas dari pemahaman yang salah atas jagat politik, yakni sekadar lahan cari kemewahan hidup.
Padahal, mereka bukannya tak paham bahwa dunia politik adalah dunia perjuangan ide-ide kebenaran dan kebaikan. Namun, karena didesak kebutuhan berbasis material dan gengsi, mereka pun tak anggap penting nilai-nilai yang mesti diperjuangkan dalam berpolitik.
Menjadi politikus pada akhirnya pilihan nilai, sikap hidup, dan jalan eksistensial bagi seseorang. Pilihan itu butuh kemampuan intelektual, teknis, dan etis. Pada dimensi etis, bukan hanya kesanggupan menggenggam moral yang penting, melainkan juga perilaku asketis. Asketisisme merupakan benteng bagi politikus menghadapi berbagai godaan duniawi yang secara riil melekat di jagat politik.
Dengan politik, orang bisa memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaan, orang bisa memiliki banyak harta benda. Namun, tanpa asketisisme, idealisme, serta kecerdasan emosional dan spiritual, kekuasaan akan menjelma harimau ganas yang menerkam para politikus. Kuncinya kemampuan mengendalikan diri dari nafsu menguasai dan memiliki yang bergolak dan jadi pusaran arus yang mengisap siapa saja, termasuk politikus muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar