"Dengan mencari hal-hal positif, menjadi jelas bahwa apa yang kita definisikan sebagai 'problem' dapat diselesaikan dengan melihat ke depan, menuju masa depan yang kita impikan, daripada melihat ke belakang, pada hal-hal yang rusak dan perlu perbaikan."
Kutipan di atas adalah kutipan dari penggagas pendekatan appreciative inquiry (AI) dalam pengembangan organisasi, David Cooperrider.
Menjelang pemilihan umum 17 April 2019, sangat menarik membaca buku yang ditulis oleh Jane Magruder Watkins, Bernard Mohr, dan Ralph Kelly (2011) berjudul Appreciative Inquiry: Change at the Speed of Imagination.
Mereka tidak bicara politik dan tidak menyinggung Indonesia. Akan tetapi, ketika membacanya, saya membayangkan Indonesia sebagai suatu organisasi mahabesar, yang sangat memerlukan pendekatan AI ini untuk terus mempelajari, memahami, dan menemukan dirinya sendiri. Tidak saja untuk dapat bertahan, tetapi untuk terus menjadi makin kuat.
Laptop murah
Para penulis mengambil latar belakang masyarakat yang berubah secara radikal akibat kemajuan teknologi. Meminjam ulasan Friedman, mereka menjelaskan evolusi globalisasi sepanjang waktu. Globalisasi pertama (1492 hingga 1800-an) tampil melalui imperialisasi, negara-negara merambah dan mendominasi negara lain. Globalisasi kedua (1800 hingga 2000-an), perusahaan-perusahaan mengglobal mencari pasar dan pekerja.
Globalisasi ketiga–yakni sekarang ini–ditandai dengan individu-individu dan kelompok-kelompok kecil yang mengglobal. Apabila era globalisasi sebelumnya didominasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika, yang terakhir ini diisi oleh siapa pun. Mungkin saja kita menemukan remaja sederhana dari Indonesia atau Vietnam menghadirkan inovasi, yang kemudian mendunia lewat laptop murah yang dibelinya.
Kemajuan teknologi memang membawa perubahan yang tidak dapat dikembalikan ke masa lalu. Para milenial adalah generasi yang tidak pernah punya pengalaman hidup tanpa komputer sehingga sangat fasih dan tak dapat membayangkan hidup tanpa komputer dan internet. Mau tidak mau generasi sebelumnya yang perlu beradaptasi karena informasi, bahkan dunia, ada di dalam komputer dan langsung didapat melalui satu klik.
Penyesuaian diri juga perlu dilakukan dengan lebih memahami kaum milenial yang menunjukkan ciri-ciri positif ataupun negatif yang khusus karena mereka lahir dan bernapas di dunia digital. Inovatif, menyukai tantangan, ingin membuat perubahan, kalau bisa memproduksi hal baru yang keren.
Anak-anak muda nyaman saja bekerja secara cepat dalam konteks yang terus berubah, tetapi mereka mungkin juga tidak sabar dan tidak dapat diharapkan untuk betah lama di satu organisasi.
Defisit atau kekuatan?
Dalam era ketika segala sesuatu–khususnya manusia–tidak dapat diharapkan untuk berpikir dan berperilaku secara konstan terprogram, kita tidak bekerja dengan peta yang sudah sangat pasti. Kita bekerja dengan kompas yang hanya dapat memberikan gambaran umum mengenai arah. Yang diusulkan AI adalah eksplorasi dan dialog berkelanjutan untuk menemukan kekuatan dalam dunia yang terus bergerak.
Hal sangat mendasar adalah, apabila kita fokus pada defisit atau kekurangan, kita cuma akan menghadirkan semakin banyak gambar atau citra negatif dan kemudian keplepekan (overwhelmed) dengan citra dan suasana batin tentang hal-hal yang negatif, buruk, salah. Yang akan hadir adalah rasa tidak nyaman, kebosanan, kemarahan, tuntutan, sarkasme, ketidakpercayaan, apatisme, pesimisme, dan penyalahan.
Tambahan lagi, ketika fokus pada kesalahan atau kekurangan, kita juga akan cenderung mencari-cari siapa yang (dapat dianggap) bersalah. Bagaimana pula apabila yang terjadi adalah pengambinghitaman? Yang dikuatkan pada akhirnya bukanlah pembenahan positif, melainkan makin bertambahnya masalah.
Cara memahami, cara berada
Sebelumnya, dalam konsep pengembangan organisasi, AI dianggap sebagai pendekatan atau metodologi untuk pengembangan organisasi. Tampaknya, untuk kebutuhan sekarang, AI tidak sekadar metodologi atau pendekatan. AI adalah juga cara memahami dan cara berada.
Maksudnya, kerangka AI melihat masalah dan solusi tidak sebagai dua hal terpisah, tetapi sebagai keutuhan koheren. Cara positif untuk belajar dan melihat akan menghadirkan energi positif dan pada gilirannya akan mendesakkan realisasi yang juga positif.
Watkins, Mohr, dan Kelly (2011) memberikan ilustrasi. Bayangkan suatu organisasi ingin menyembuhkan diri dari luka akibat isu SARA. Organisasi ini dapat melakukan penyelidikan sedetail mungkin mengenai persoalan SARA yang pernah terjadi untuk memperoleh kejelasan apa, mengapa, dan bagaimana menghapuskan soal SARA ini.
Pilihan kedua adalah organisasi dapat memilih mempelajari best practices dari peristiwa-peristiwa istimewa hubungan lintas SARA yang harmonis, indah, saling menghormati yang pernah terjalin, untuk dapat menghadirkan bayangan mengenai kondisi ideal yang dicita-citakan.
Yang dipilih AI adalah yang kedua karena pertanyaan-pertanyaan mengenai mimpi, hal positif, dan best practices yang diajukan akan membawa suasana batin organisasi menuju hal yang dicita-citakan. Citra dan imajinasi positif akan menghadirkan suasana batin positif dan selanjutnya menghadirkan gerakan untuk merealisasikan yang positif.
Menghidupkan kembali masa lalu mungkin terasa seolah lebih aman karena seperti dapat diprediksi dan dikendalikan. Sayangnya, kita sama sekali tidak dapat kembali ke masa lalu. Dunia terus bergerak dan cara-cara yang kita ambil di masa lalu tidak lagi relevan untuk menyelesaikan persoalan di masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar