Pada akhir Desember 2018, Otoritas Jasa Keuangan meluncurkan aturan tentang pembiayaan kendaraan bermotor dengan uang muka nol persen bagi perusahaan pembiayaan (multifinance). Bagaimana potensi risiko pembiayaan ini?

Sejauh mana kinerja perusahaan pembiayaan? Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terbit 24 Januari 2019 mencatat total pembiayaan hanya tumbuh 5,17 persen dari Rp 414,84 triliun per Desember 2017 menjadi Rp 436,27 triliun per Desember 2018. Itu pertumbuhan yang lebih tinggi daripada bulan sebelumnya, 5,14 persen. Coba lirik rincian berikut. Pembiayaan investasi naik cukup tajam, 14,42 persen, dari Rp 119,04 triliun menjadi Rp 136,21 triliun dengan kontribusi 31,22 persen dari total pembiayaan Rp 436,27 triliun.

Pembiayaan modal kerja naik tipis, 5,30 persen dari Rp 22,83 triliun, menjadi Rp 24,04 triliun (5,51 persen) dan pembiayaan multiguna naik 5,06 persen dari Rp 244,08 triliun menjadi Rp 256,42 triliun (58,78 persen). Pembiayaan lainnya berdasarkan persetujuan OJK naik 3,91 persen dari Rp 128 miliar menjadi Rp 133 miliar (0,04 persen).

Sebaliknya, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah justru merosot signifikan 32,30 persen dari Rp 28,76 triliun menjadi Rp 19,47 triliun (4,46 persen). Di tengah ekonomi yang kurang darah ini, perusahaan pembiayaan masih sanggup meningkatkan laba bersih 20,80 persen dari Rp 13,27 triliun menjadi Rp 16,03 triliun.

Aturan OJK itu tertuang dalam Peraturan OJK No 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang berlaku efektif 28 Desember 2018. Bagaimana potensi risiko pembiayaan kendaraan bermotor (PKB) dengan uang muka nol persen?

Pertama, aturan itu ditujukan kepada perusahaan pembiayaan untuk memberikan PKB dengan uang muka paling rendah nol persen dari harga jual kendaraan. Harap catat, aturan itu hanya berlaku bagi perusahaan pembiayaan dengan rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) 1 persen ke bawah.

Artinya, perusahaan pembiayaan yang memiliki NPF 1-3 persen hanya dapat memberikan PKB dengan uang muka 10 persen dan NPF 3-5 persen dengan uang muka 15 persen, sedangkan NPF di atas 5 persen dengan uang muka 20 persen. Hal itu diharapkan dapat menggeber penjualan otomotif (mobil dan sepeda motor) melalui pembiayaan.

Sementara itu, aturan kredit kendaraan bermotor bagi bank umum masih mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang rasio pinjaman terhadap nilai aset (loan to value/LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit properti dan uang muka PKB.

LTV/FTV adalah rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir.

Kedua, jangan lupa bahwa makin rendah uang muka, makin tinggi angsuran bulanan. Dengan bahasa lebih bening, uang muka nol persen itu berarti angsuran bulanan akan makin tinggi yang justru akan sangat membebani (calon) konsumen. Karena itu, perusahaan pembiayaan hendaknya tak buru-buru menawarkan PKB dengan uang muka nol persen jika tak mau bunuh diri.

Perusahaan pembiayaan perlu mempertimbangkan matang-matang dalam menerapkan aturan itu. Pembiayaan tanpa uang muka itu berarti perusahaan pembiayaan tak punya bantalan (buffer) sama sekali atau berisiko tinggi (high risk). Ketika pembiayaan itu menjadi NPF, perusahaan pembiayaan wajib mengalokasikan cadangan penyisihan penghapusan piutang pembiayaan.

Seperti halnya bisnis perbankan, bisnis pembiayaan juga mengenal kolektibilitas, meliputi lancar (kolektibilitas 1 dengan cadangan 1 persen), dalam perhatian khusus (2, cadangan 5 persen), kurang lancar (3, cadangan 15 persen), diragukan (4, cadangan 50 persen), dan macet (5, cadangan 100 persen). Yang masuk NPF adalah kolektibilitas 3, 4, dan 5.

Manakala terdapat pembiayaan macet, perusahaan pembiayaan wajib mencadangkan minimal 100 persen dari nilai pembiayaan itu. Contoh, jika nilai pembiayaan Rp 100 juta, cadangan minimal Rp 100 juta. Ketika ada 10 unit kendaraan yang macet, cadangan sudah mencapai Rp 1 miliar. Bukankah perusahaan pembiayaan bisa menarik kendaraan jika terdapat tunggakan minimal 90 hari? Itu betul.

Akan tetapi, kini konsumen makin cerdas dan memahami aturan bahwa perusahaan pembiayaan dapat menarik kendaraan sejauh sudah mengantongi sertifikat jaminan fidusia. Celakanya, tatkala perusahaan pembiayaan ternyata tidak memiliki sertifikat tersebut karena hal itu membutuhkan biaya. Alhasil, kendaraan tidak berhasil ditarik yang berarti cadangan itu tetap harus dibuat untuk menekan risiko.

Alternatif solusi
Ada beberapa alternatif solusi untuk tetap mampu memelihara kualitas kredit. Ketiga, perusahaan pembiayaan wajib melakukan mitigasi risiko dengan mengalihkan risiko pembiayaan ke perusahaan asuransi atau mengalihkan risiko atas agunan pembiayaan melalui mekanisme asuransi. Perusahaan pembiayaan juga perlu melakukan pembebanan jaminan fidusia, hak tanggungan atau hipotek atas agunan pembiayaan.

Keempat, untuk menekan potensi risiko macet, perusahaan pembiayaan dapat menggandeng perusahaan (istilahnya fleet) untuk menyalurkan pembiayaan kendaraan dengan lancar. Perusahaan pembiayaan tak perlu lagi melakukan survei konsumen satu demi satu untuk mengetahui kelayakan kemampuan keuangan (financial capacity) dan validitas data konsumen.

Akan lebih menarik ketika perusahaan pembiayaan dapat menawarkan suku bunga pembiayaan yang lebih kompetitif pada perusahaan. Dengan demikian, konsumen akan menikmati angsuran yang lebih ringan.

Sebaliknya, perusahaan pembiayaan akan mampu menjaga NPF dengan jitu karena angsuran bulanan konsumen dapat dipotong langsung dari gaji konsumen perusahaan itu. Langkah itu bisa dikatakan tanpa risiko (risk free) baik bagi perusahaan pembiayaan maupun konsumen.

Kelima, konsumen perseorangan justru perlu meningkatkan uang muka sehingga angsuran bulanan akan makin kecil. Kiat itu akan membuat arus kas bulanan konsumen terjaga. Tentu saja, konsumen diharapkan telah memperhitungkan kewajiban berupa angsuran yang wajib dibayar setiap bulan.

Sungguh, itu semua upaya apik untuk memelihara kualitas pembiayaan dewasa ini. Saat ini, NPF menurun (membaik) dari 2,96 persen per Desember 2017 menjadi 2,71 persen per Desember 2018.

Keenam, perusahaan pembiayaan harus memilih konsumen yang selama ini punya rekam jejak yang baik. Nah, konsumen itu dapat disebut sebagai konsumen inti (prime customer) untuk aneka pembiayaan yang ada. Sejatinya, konsumen inti ini dapat dijadikan sebagai sasaran untuk pembiayaan multiguna yang selama ini mengalami kenaikan 5,06 persen dan memberikan kontribusi paling tinggi 58,78 persen dari total pembiayaan per Desember 2018.

Pembiayaan multiguna itu tak ada bedanya dari kredit tanpa agunan (KTA) yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebut saja, kesehatan, pendidikan, perkawinan, dan liburan.

Untuk itu, perusahaan pembiayaan perlu membidik generasi milenial. Generasi milenial yang juga disebut generasi Y adalah mereka yang lahir setelah generasi X, yakni yang lahir 1980- 2000-an. Lugasnya, mereka yang sekarang berusia 19-39 tahun, yang mencapai sekitar 80 juta orang. Dengan menetapkan generasi milenial sebagai pasar target (target market), perusahaan pembiayaan akan memiliki basis konsumen (customer base) yang lebih luas.

Perusahaan pembiayaan asing
Ketujuh, tetapi perusahaan pembiayaan juga harus menaikkan tingkat efisiensi yang tersurat pada rasio BOPO (beban operasional dibagi pendapatan operasional). Kini BOPO menipis (membaik) dari 81,46 persen menjadi 80,72 persen, sedikit di atas ambang batas 70-80 persen.

Ingat bahwa efisiensi tinggi sebagai salah satu senjata ampuh dalam memenangi persaingan yang makin sengit. Terlebih ketika kelak makin banyak perusahaan pembiayaan asing dengan modal lebih gagah.

Tengok saja, Wuling Motors, agen pemegang merek asal China ini akan mendirikan perusahaan pembiayaan dengan menggandeng mitra lokal. Saat ini terdapat 46 dari 188 perusahaan pembiayaan yang belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp 100 miliar per akhir 2019. Artinya, perusahaan pembiayaan bermodal cekak itu harus melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat ekuitas salah satunya dengan akuisisi (Koran Kontan, 31/1/2019).

Akan tetapi, menurut prediksi penulis, perusahaan pembiayaan asing akan lebih memilih menggandeng perusahaan pembiayaan lokal yang sehat daripada yang kurang sehat dari sisi ekuitas. Mengapa? Lantaran dengan menggandeng perusahaan pembiayaan yang sehat, perusahaan pembiayaan asing akan lebih hemat.

Dari sudut perhitungan keuangan, perusahaan pembiayaan asing tak perlu banyak mengeluarkan biaya modal (capital expenditures). Biaya atau belanja modal merupakan alokasi yang dirancang untuk melakukan pembelian, perbaikan, atau penggantian sesuatu yang dikategorikan sebagai aset perusahaan. Dengan demikian, perusahaan pembiayaan asing akan langsung dapat segera menikmati legitnya madu bisnis pembiayaan di Nusantara.

Namun, kepemilikan saham mayoritas oleh perusahaan pembiayaan asing harus dibatasi maksimal 40 persen sebagaimana halnya perbankan. Alhasil, pelaku bisnis nasional masih diberi kesempatan mengendalikan bisnis pembiayaan dengan lebih leluasa. Dengan aneka alternatif solusi ini, perusahaan pembiayaan dapat memanfaatkan aturan itu dengan cerdas sehingga bisnis pembiayaan kian gemerincing.