KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Andreas Maryoto, Wartawan Senior Kompas

Isu kesehatan mental menjadi perhatian berbagai kalangan terkait penggunaan media sosial. Psikiatris telah diminta meneliti secara mendalam untuk memastikan dampak perusakan terhadap kondisi kejiwaan anak-anak.

Penelitian tersebut meliputi lama waktu mereka terpapar layar gawai dan kebiasaan menggunakan media sosial. Langkah ini dilakukan di tengah dugaan kemungkinan hubungan penurunan kesehatan mental dengan konten dari media daring itu.

The Royal College of Psychiatrists dalam sebuah pernyataan yang dikutip beberapa media Inggris mengatakan, pasien-pasien gangguan kesehatan mental harus ditanya tentang berbagai hal terkait yang dikonsumsi selama mereka berada di media sosial, seperti kemungkinan material-material yang merusak. Beberapa contoh material antara lain foto-foto yang merusak dan konten yang mempromosikan perilaku yang tidak benar.

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Banyak konten yang merusak, seperti ujaran kebencian dan berita bohong, tersebar melalui media sosial.

Mereka juga meminta agar diwaspadai perilaku anak-anak yang mengalami depresi, terus memilih untuk mencari hiburan di internet. Berada di dunia maya tidak semata-mata menguntungkan karena malah menyebabkan kualitas tidur memburuk, prestasi di sekolah menurun, perilaku yang menyimpang, dan mengonsumsi hoaks atau fitnah.

Para peneliti mengakui bahwa media sosial tidak otomatis menjadi penyebab. Namun, mereka mengatakan, media sosial telah menjadi bagian terpenting dalam hidup anak-anak sehingga bisa berpotensi merusak dalam sejumlah situasi. Ada beberapa material di internet, terkhusus media sosial, yang sepertinya terlihat baik, tetapi juga bisa merusak, misalnya cara penurunan berat badan yang tidak benar, yang malah bisa memunculkan gangguan kesehatan.

Pemerintah Inggris telah mengategorikan masalah kesehatan mental dalam dunia maya sebagai penyakit, seperti dalam aturan baru yang dikeluarkan. Aturan ini hendak memproteksi anak-anak dalam rimba daring yang tak jelas ujung pangkalnya.

FAJAR RAMADHAN UNTUK KOMPAS

Sejumlah siswa berswafoto dengan atribut antihoaks. Media sosial menjadi tempat tersebarnya berita bohong yang bisa berdampak buruk.

Inggris juga sudah mulai menginisiasi pengenaan pajak untuk melindungi pengguna media sosial dari dampak buruk. Sebagian dari dana pajak ini akan digunakan untuk membuat riset tentang dampak penggunaan media sosial. Dalam waktu dekat, mereka akan meminta perusahaan teknologi untuk memastikan keamanan platformnya bagi kesehatan mental.

Mereka juga telah mengupayakan agar perusahaan teknologi, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, diatur karena beberapa konten, seperti bunuh diri dan menyakiti badan sendiri, kerap menyebar di media sosial. Mereka telah menyerukan agar semua pihak bangun dari tidur panjang yang mendiamkan media sosial dengan melakukan kajian kesehatan mental dan kesejahteraan para remaja dan anak.

Beberapa waktu yang lalu, berbagai kalangan telah membuat panduan tentang media sosial yang sehat bagi anak-anak, seperti pendampingan orangtua saat mereka berselancar di media sosial, meningkatkan kemampuan mereka dalam membuat konten yang baik dan membagikannya, bertemu dengan mereka yang memiliki kegemaran yang sama, serta mengonsultasikan berbagai konten dengan guru atau orangtua.

Sejak membuat akun, orangtua perlu mendampingi sehingga mereka bisa merahasiakan beberapa informasi, seperti tanggal lahir dan alamat, untuk menghindarkan mereka dari tindak kejahatan. Informasi pribadi selayaknya tidak disebar karena rawan dimanfaatkan oleh para kriminal.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga melakukan kampanye antihoaks. Berita bohong banyak tersebar melalui media sosial dan bisa berdampak buruk.

Beberapa saran lain adalah menjadi baik di internet dengan respek terhadap orang lain, sebelum menekan tombol "Enter" perlu berpikir dua kali dengan memperhatikan dampaknya, serta gunakan fasilitas privasi. Orangtua juga perlu menyarankan agar ketika menyetujui pertemanan, perhatikan betul bahwa dia layak menjadi teman.

Meski demikian, saran-saran itu tetap belum ampuh karena orangtua dan guru menghadapi kenyataan anak-anak bisa mengakses media sosial di mana pun berada. Untuk itulah, upaya-upaya proteksi kesehatan mental, baik dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun perusahaan teknologi, masih diperlukan.