AFP PHOTO / ROSLAN RAHMAN

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov (kelima dari kiri) berfoto bersama dengan para menteri luar negeri ASEAN dan perwakilannya selama pertemuan bilateral pada Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-51 di Singapura pada 2 Agustus 2018. 

Rusia, sebagai kekuatan besar, bisa dikata agak belakangan menjadi mitra wicara ASEAN. Sekalipun demikian, relasi keduanya telah berada di level kemitraan strategis.

Rusia menjadi mitra wicara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun 1996, lima tahun setelah dialog di antara kedua pihak dimulai pada Pertemuan Menlu ASEAN (AMM) Ke-24 di Kuala Lumpur, Malaysia.

Dibandingkan dengan negara mitra wicara ASEAN lainnya, seperti Australia (mulai 1974), Selandia Baru (1975), Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Uni Eropa (1977), Korea Selatan (1991), dan India (1995), bergabungnya Rusia termasuk belakangan. Sama seperti China, yang juga menjadi mitra wicara ASEAN mulai 1996.

Kenyataan itu memang terkait erat dengan sejarah. Berdirinya ASEAN pada 1967, di tengah perang dingin antara kutub AS-Barat dan Uni Soviet, tak bisa dilepaskan dari upaya membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara.

Zaman telah berganti, Uni Soviet telah tumbang. Rusia, metamorfosis mini dari Uni Soviet, di bawah kepemimpinan Vladimir Putin juga mengalami perubahan kebijakan luar negeri, menjadi lebih pragmatis dan menganggap kehadiran di Asia-Pasifik sebagai hal penting dalam sasaran strategisnya.

Hal serupa juga berubah di kalangan internal ASEAN. Bagi ASEAN, Rusia tak lagi sebagai ancaman, tetapi "penyeimbang" kekuatan-kekuatan regional lain. Masa depan ASEAN, seperti ditulis Kishore Mahbubani dan Jeffery Sng dalam buku Keajaiban ASEAN, juga akan bergantung pada keputusan-keputusan di luar yang dibuat kekuatan-kekuatan besar.

Dalam konteks itulah kelenturan atau fleksibilitas ASEAN berperan besar. Isu fleksibilitas ASEAN ini menjadi salah satu fokus kuliah yang disampaikan Direktur Pusat Studi ASEAN pada Moscow State Institute of International Relations MGIMO University, Victor Sumsky, di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Selasa (2/4/2019).

Dengan kelenturan itu pula, ketika Amerika Serikat dalam buku putih Strategi Pertahanan Nasional tahun 2018 menetapkan Rusia—bersama China—sebagai "pesaing (adversary)" yang menentang keunggulan militer AS, pada tahun yang sama, ASEAN justru menaikkan level relasi dengan Rusia menjadi hubungan kemitraan strategis.

Namun, diingatkan Sumsky yang dikutip dalam berita harian ini edisi Kamis (4/4/2019), eratnya hubungan ASEAN dan Rusia mungkin membuat pihak lain kurang senang. "Jika hubungan ASEAN-Rusia semakin tumbuh ke tingkat tertinggi, AS mungkin saja tidak berkenan," kata Sumsky.

Di situlah kelenturan ASEAN, dengan kekuatan prinsip sentralitasnya, dalam berhubungan dengan kekuatan-kekuatan luar bakal diuji. Tantangan itu semakin tidak ringan mengingat ASEAN berada di pusaran persaingan kawasan yang kini dikenal dengan Indo-Pasifik.