Terkait hal itu, para elite politik telah mengumandangkan rekonsiliasi. Namun, gagasan tersebut dikhawatirkan hanya menjadi mantra politik karena diskursus yang terjadi di elite politik tak sampai ke jantung persoalan. Rekonsiliasi dikhawatirkan terjebak pada perangkap bagi-bagi kekuasaan, khususnya dalam jatah kursi kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Perlu diingat, salah satu tujuan utama rekonsiliasi adalah menemukan (kembali) gagasan dan konsep keadilan dalam merawat, memuliakan, serta mewujudkan kehidupan bersama. Oleh karena itu, rekonsiliasi hanya bermakna jika tujuan utamanya adalah konsolidasi ideologi serta dilakukan dengan modal, prosedur, desain, dan langkah yang jelas untuk mewujudkannya. Ini karena rekonsiliasi sekadar modus vivendi (persetujuan sementara) untuk menemukan secara kreatif kesepakatan tentang konsep ketidakadilan.
Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa sangat menyadari bangsa Indonesia bertabur bahasa, budaya, ras, suku, kepercayaan, dan agama yang berbeda. Setiap komponen bangsa punya konsep, gagasan, serta pemahaman yang berbeda tentang rasa keadilan dan kebahagiaan.
Maka, para pendiri bangsa memilih opsi negara kesepakatan yang didasarkan pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi (demokrasi). Kepiawaian dalam seni politik dan kerja amat keras para pendiri bangsa berhasil mengelola serpihan perbedaan menjadi mosaik (kolase) yang indah dan menawan. Sebutan populernya, masyarakat Bhinneka Tunggal Ika.
Tugas mulia tersebut amat rumit, hingga dapat dikatakan para pendiri bangsa berhasil mengakali kemustahilan karena berhasil melakukannya. Pasalnya, berbagai tradisi, religi, budaya, doktrin, serta gagasan partikular yang ada di Indonesia, masing-masing mempunyai konsep eksklusif dalam menafsirkan keadilan dan kebahagiaan. Perangkat gagasan tersebut, dalam bahasa Thomas Kuhn (1960), memunculkan fenomena yang disebut ketidaksandingan atau inkomensurabilitas (incommensurability).
Dalil-dalil bernuansa primordial hampir mustahil dipadukan atau disandingkan karena perbedaan yang dianggap hakiki, komprehensif, utuh, sempurna, serta absolut sehingga dianggap mampu menyelesaikan masalah di dunia dan alam baka. Perbedaan amat mendasar, ibarat siang dan malam. Padahal, kaidah demokrasi, setiap warga negara punya hak berbeda, tetapi juga punya kewajiban berintegrasi.
Konsekuensinya, demokrasi hanya akan jadi tertib politik yang nyaman jika para warga dapat saling rasa-merasakan, saling percaya, berkomitmen terhadap kesepakatan satu dengan yang lain, serta saling mengerti. Nilai-nilai itu harus selalu diperbarui secara kreatif sehingga menemukan format yang andal bagi identitas bangsa sebagai entitas politik. Identitas bangsa hanya dapat permanen jika dibangun, dimufakati, serta didesain bersama oleh semua komponen bangsa yang mempunyai niat baik demi kehidupan bersama.
Gagasan Presiden Jokowi lima tahun ke depan untuk memusatkan agenda pembangunan manusia adalah sasaran amat strategis. Tantangannya bukan sekadar mewujudkan generasi muda yang melek teknologi, melainkan juga paham ideologi.
Lima tahun ke depan, diharapkan pemerintah sudah menghasilkan strategi kebudayaan dan strategi pendidikan yang berperspektif jender sebagai landasan membekali generasi muda Indonesia yang tidak hanya terampil dan pintar, tetapi juga punya kompetensi ideologis sehingga tidak mudah terpapar oleh doktrin eksklusif yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, kabinet mendatang harus diisi oleh tokoh-tokoh yang tak hanya mencerminkan negara yang bineka, punya kompetensi, profesionalitas, serta dukungan kekuatan politik. Pejabat yang membidangi pengelolaan sumber daya manusia, seperti menteri pendidikan, menteri agama, menteri tenaga kerja, dan lembaga lain yang berkaitan, adalah tokoh yang juga mempunyai rekam jejak dan obsesi membangun karakter generasi muda Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar