Rencana tiga pria warga Australia untuk menebar teror di kota Sydney digagalkan kepolisian Australia, Selasa (2/7/2019). Pengungkapan ini cukup mengejutkan karena dalam beberapa tahun terakhir Australia tergolong "adem ayem".
Puncak serangan teror di Australia terjadi pada 2014, saat terjadi delapan serangan teror. Salah satunya adalah penyanderaan 17 orang di kafe Lindt di Sydney. Dalam peristiwa itu, teroris dan dua sandera tewas. Pada 2014-2016 ada sekitar 16 serangan yang berhasil digagalkan kepolisian Australia. Sejak itu tak ada lagi terdengar insiden, sampai dengan Selasa lalu.
Salah satu tokoh utama rencana teror Sydney adalah Isaak el Matari (20). Sejak ia kembali dari Lebanon ke Sydney tahun lalu, gerak-geriknya terus dimonitor intelijen Australia, termasuk dengan siapa saja ia melakukan kontak. Dua pria lainnya yang juga ditahan polisi berkenalan dengan Matari melalui media sosial. Ketiganya diyakini merupakan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Mereka berencana untuk mengimpor senjata dan bahan peledak.
NIIS yang sudah terusir dari Irak dan Suriah itu kini menancapkan dominasinya di wilayah timur laut pegunungan Afghanistan. Sejumlah kalangan memperkirakan NIIS lebih membahayakan daripada Taliban karena kemampuan militernya yang semakin canggih.
Sampai kini NIIS aktif merekrut kombatan-kombatan baru dan terus merencanakan serangan teror di sejumlah negara. Alhasil, semua negara meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi kemungkinan pulangnya warga mereka yang merupakan eks kombatan NIIS.
Terkait hal itu, Pemerintah Australia, Kamis (4/7) ini, meminta dukungan kubu oposisi, Partai Buruh, untuk meloloskan RUU yang bisa mencegah warga Australia kembali ke negaranya, setidaknya selama dua tahun, jika yang bersangkutan diduga menjadi ancaman bagi publik.
Australia merujuk kepada Inggris yang memiliki aturan yang bisa mencegah warganya kembali, bahkan mencabut kewarganegaraan, demi alasan keamanan. Salah satu kasus yang mencuat di Inggris menyangkut Shamima Begum, remaja Inggris yang bergabung dengan NIIS pada usia 15 tahun dan kini terdampar di penampungan pengungsi di Suriah. Begum ingin kembali ke Inggris, tetapi ditolak pemerintah.
Australia menganggap UU seperti itu sangat penting. Alasannya, otoritas akan memiliki waktu cukup untuk menangani individu yang terlibat dalam jaringan terlarang seperti NIIS atau pernah dilatih melakukan terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar