KOMPAS/ERIKA KURNIA

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang PS Brodjonegoro, KOMPAS/ERIKA KURNIA

Di sela-sela kesibukan sebagai seorang Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, saya sering memperoleh pertanyaan: kenapa ekonomi Indonesia hanya bisa tumbuh di kisaran 5 persen? Buku teks (textbook) ekonomi makro menjelaskan bahwa besaran pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi potensialnya. Artinya, pertumbuhan ekonomi potensial adalah pertumbuhan ekonomi tertinggi yang dapat dicapai oleh suatu perekonomian tanpa menyebabkan inflasi tinggi. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi potensial menunjukkan kemampuan sisi produksi suatu perekonomian.

Hitungan Bappenas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini hanya berada di kisaran 5,3 persen. Sehingga, tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di rentang 5,0-5,2 persen. Sementara itu, saat ini kita juga disibukkan dengan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar. Neraca perdagangan nonmigas yang dulunya cukup kuat untuk menjadi bantalan defisit neraca migas yang belakangan ini semakin menipis, sehingga semakin sulit untuk diharapkan sebagai bumper defisit migas yang juga semakin melebar.

Berbagai argumentasi untuk menjawab fenomena ini antara lain adalah: kondisi ekonomi global yang melemah akibat perang dagang yang tak kunjung menentu, harga komoditas internasional yang menurun sehingga ekspor Indonesia yang didominasi batubara dan minyak sawit juga mengalami penurunan, dan meningkatnya impor minyak karena produksi minyak Indonesia juga menurun. Kondisi inilah yang sering disebut dengan Balance-of-Payment Constraint Growth (BOPCG), artinya kondisi neraca pembayaran — terutama neraca perdagangan — dapat membatasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang dari suatu negara sehingga tidak  bisa tumbuh lebih tinggi lagi.

Salah satu kunci penting untuk meningkatkan ekspor produk manufaktur tentunya adalah struktur industri dalam negeri yang tangguh.

Dalam kasus Indonesia, tingginya kebergantungan terhadap ekspor komoditas dan rendahnya diversifikasi ekspor produk manufaktur menyebabkan rendahnya elastisitas  ekspor terhadap pertumbuhan global (income elasticity of exports). Dengan bahasa sederhana, pertumbuhan pasar global ataupun pelemahan nilai tukar tidak dapat serta-merta menyebabkan ekspor Indonesia meningkat, karena ekspor yang didominasi oleh barang komoditas dan yang bernilai tambah rendah lebih dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditas, bukan oleh pergerakan pertumbuhan pendapatan dunia.

Contoh dari  negara lain seperti Jepang, kebijakan devaluasi mata uang yen akan serta merta meningkatkan ekspor Jepang yang didominasi oleh produk manufaktur. Demikian juga negara Korea dan China, ekspor kedua negara ini akan meningkat seiring dengan peningkatan permintaan global, artinya income elasticity of exports untuk ketiga negara ini cukup tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Rendahnya inovasi, kualitas investasi, dan hambatan domestik menjadi akar dari permasalahan transformasi struktural.

Mengapa Indonesia tidak bisa meningkatkan ekspor produk manufakturnya? Salah satu kunci penting untuk meningkatkan ekspor produk manufaktur tentunya adalah struktur industri dalam negeri yang tangguh.  Industri pengolahan Indonesia sebenarnya sudah  mulai bangkit di awal 1990-an dan tumbuh dengan pesat seiring pelaksanaan kebijakan deregulasi dan perubahan orientasi pertumbuhan industri ke arah ekspor. Namun krisis ekonomi 1998/1999 secara tiba-tiba mengganggu proses industrialisasi ini dan kemudian membentuk pola baru pembangunan industri pengolahan di Indonesia pasca-krisis, di mana industri pengolahan berubah karakternya yang lebih berorientasi kepada upaya pemenuhan kebutuhan domestik.

Dibandingkan perkembangan industri pengolahan di negara-negara lain yang setara, perkembangan industri pengolahan di Indonesia saat ini mengalami hambatan dalam tranformasi struktural. Dalam delapan tahun terakhir, kinerja industri pengolahan menurun, dan produktivitasnya cenderung stagnan. Partisipasi industri pengolahan nasional dalam pasar ekspor dan jaringan produksi global juga lebih rendah dibandingkan dengan industri di negara-negara lain.

Rendahnya inovasi, kualitas investasi, dan hambatan domestik menjadi akar dari permasalahan transformasi struktural. Industri pengolahan belum mampu menghasilkan produk yang lebih terdiversifikasi dalam struktur ekspor produk Indonesia, dan sebagian produknya masih didominasi kandungan teknologi rendah sampai sedang. Investasi permodalan pada industri pengolahan sebagian besar masih menyasar pasar domestik dan belum berorientasi ekspor. Kondisi birokrasi yang masih berbiaya tinggi, serta kurangnya infrastruktur dan SDM yang berkualitas juga turut berkontribusi atas permasalahan sektor industri nasional.

Hambatan transformasi sektor industri menyebabkan ekonomi Indonesia didorong oleh sektor jasa yang tumbuh lebih tinggi, dan menawarkan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat dibandingkan sektor manufaktur. Perubahan pola konsumsi masyarakat juga terjadi ke arah kebutuhan tersier seperti pariwisata dan produk jasa berkualitas (high-end product).

Di satu sisi, digitalisasi membantu meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam proses produksi modern serta membawa kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen; namun di sisi lain juga membawa tantangan penciptaan lapangan kerja.

Akan tetapi, tantangan besar kita saat ini adalah penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dalam skala masif tak bisa disediakan hanya oleh sektor jasa. Industrialisasi menjadi suatu keharusan bagi Indonesia agar dapat menyediakan lapangan kerja berkualitas, meningkatkan produktivitas ekonomi, yang pada akhirnya dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi potensial jangka menengah dan panjang.

Apalagi, proses industrialisasi ini nantinya akan diiringi oleh proporsi penduduk usia muda dan kelas menengah yang meningkat. Artinya, masih sangat relevan bagi Indonesia untuk memberikan perhatian khusus dan masif untuk pengembangan industri di Indonesia.

Selain itu, adaptasi terhadap dinamika pasar global juga menjadi faktor kunci untuk menjadikan industrialisasi di Indonesia tetap relevan untuk menjadi motor penggerak perekonomian jangka menengah dan panjang. Transformasi teknologi digital yang pesat juga perlu dipertimbangkan dalam menentukan arah industrialisasi ke depan, karena digitalisasi akan berdampak ganda.

Di satu sisi, digitalisasi membantu meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam proses produksi modern serta membawa kemudahan dan kenyamanan bagi konsumen; namun di sisi lain juga membawa tantangan penciptaan lapangan kerja. Peran kebijakan yang tepat akan menjadi kunci penting dari suksesnya industrialisasi Indonesia di era digital.

Strategi transformasi industri

Tak perlu diperdebatkan lagi pentingnya industri pengolahan dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Bagi Indonesia, yang sedang tumbuh menuju negara maju, industri pengolahan selain menyumbang nilai tambah barang-barang yang diproduksi di dalam negeri dan menyerap tenaga kerja, industrialisasi juga akan mendorong peningkatan produktivitas ekonomi dan mendorong pengembangan teknologi di dalam negeri.

Lima tahun ke depan merupakan waktu yang sangat penting (critical time) bagi Indonesia, karena kesempatan emas industrialisasi adalah pada saat Indonesia mengalami bonus demografi.

Berikut strategi kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan. Pertama, mengoptimalkan pemenuhan permintaan domestik yang besar melalui produksi dalam negeri dengan produk berkualitas. Strategi ini dapat menjadi alternatif sumber pertumbuhan sektor industri pengolahan saat permintaan global sedang menurun.

Kedua, mendorong industri manufaktur yang berorientasi pada ekspor, untuk menjamin keberlanjutan industri pengolahan nasional dan meningkatkan skala ekonomi sektor industri (economies of scale). Pengembangan industri berorientasi ekspor ini akan menjadi pemicu untuk sektor industri pengolahan Indonesia dapat berdaya saing tinggi, dengan menghasilkan produk yang berkualitas baik dan memenuhi standar internasional, serta jenis yang semakin beragam.

Produk yang berdaya saing merupakan prasyarat mutlak untuk memenuhi kian kompleks dan beragamnya selera konsumen dunia, dan daya saing itu hanya bisa terwujud melalui inovasi yang dilakukan terus-menerus. Menciptakan ekosistem inovasi yang kondusif sudah seharusnya jadi salah satu prioritas utama pemerintah.

Ketiga, mendorong produksi barang manufaktur yang lebih bernilai tambah tinggi yang menjadi bagian dari rantai nilai produksi manufaktur global, produk-produk unik (unique products), serta produk bermerek yang diakui di pasar global. Sebenarnya Indonesia sudah memiliki barang ekspor unik dan bernilai tambah tinggi, seperti: bola golf, alat musik (piano dan gitar), rambut palsu, bulu mata palsu, serta lensa kontak.

Tujuan ekspor utama Indonesia untuk rambut palsu dan bulu  mata palsu adalah AS, dan Indonesia merupakan pemasok kedua terbesar setelah China di pasar AS. Tanpa disangka, Indonesia adalah eksportir kedua terbesar untuk produk piano (upright piano) setelah Jepang. Pangsa pasar piano Jepang di dunia 44,1 persen dan Indonesia sudah bisa mengisi pangsa pasar produk ini 21,6 persen dari permintaan global. Indonesia juga eksportir terbesar ketujuh produk bola golf dengan nilai ekspor 25 juta dollar AS, dengan tujuan ekspor utama AS, Inggris, dan Australia.

Jadi, kunci dari suksesnya transformasi industri adalah 'kemauan politik' (political will) yang tidak hanya datang dari pemerintah, namun juga dari pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Di lain pihak, Indonesia merupakan produsen mi instan terkenal di pasar internasional, dengan brand yang mendunia karena cita rasa mi instan Indonesia sangat digemari masyarakat lokal dan internasional. Produk-produk makanan Indonesia sangat berpotensi menjadi global brand. Indonesia ternyata juga salah satu pemasok margarin terbesar dunia. Artinya, tak sulit bagi Indonesia mengubah struktur ekspor menjadi berbasis pada produk-produk yang bernilai tambah tinggi dengan produk-produk unik dan produk-produk bermerek global, karena Indonesia sudah mampu memproduksi dan mengekspor barang-barang tersebut.

KOMPAS/CAECILIA MEDIANA

Suasana produksi mie instan Indomie di pabrik Salim Wazaran Maghreb Manufacturing Tiflet, Khemisset, Maroko, Selasa (26/6/2018).KOMPAS/CAECILIA MEDIANA

Keempat, peningkatan investasi untuk inovasi industri. Berdasarkan pengalaman yang lazim terjadi di berbagai negara di dunia, penciptaan inovasi berjalan seiring peningkatan penanaman modal asing (PMA) dan rezim perdagangan internasional yang memfasilitasi impor untuk input antara berkualitas tinggi yang tak dapat diproduksi di dalam negeri. PMA mengenalkan industri nasional dengan teknologi lebih maju, misalnya mesin produksi canggih yang dibawa dari negara lain.

Demikian pula dengan impor barang input-antara berkualitas, di mana di dalamnya terdapat kandungan teknologi maju dari negara lain. Dengan demikian, PMA dan impor barang input produksi yang berkualitas memberikan kesempatan bagi pelaku industri nasional untuk mengadopsi teknologi maju. Pada akhirnya, adopsi teknologi ini akan memfasilitasi terjadinya inovasi tidak hanya pada di level produk tetapi juga di level manajerial dan tata kelola perusahaan yang baik.

Namun efektivitas PMA dalam memfasilitasi alih teknologi tergantung apakah industri domestik memiliki kapasitas untuk menyerap teknologi maju yang dibawa oleh PMA itu, atau yang kemudian sering disebut sebagai 'kapasitas untuk menyerap' (absorptive capacity). Pada dasarnya, kapasitas ini tergantung kualitas SDM yang ada. Sebagai ilustrasi, keberadaan mesin produksi baru tak dapat dimaksimalkan penggunaannya jika tak terdapat SDM yang mampu mengoperasikan, atau belum tersedianya jasa pemeliharaan untuk mesin itu. Masalah struktural seperti ini yang sering membuat tak efektifnya proses alih teknologi dan kemudian menghambat peningkatan daya saing.

Kelima, meningkatkan efisiensi produksi, yang dapat didorong melalui peningkatan kinerja sektor jasa pendukung industri pengolahan, seperti jasa logistik, jasa pemeliharaan, jasa konstruksi, dan beberapa sektor jasa lain. Selain itu, efisiensi produksi juga dipengaruhi ketersediaan infrastruktur dan ketersediaan energi dengan harga kompetitif.

Reformasi institusi dan deregulasi

Keberhasilan kelima strategi di atas memerlukan dukungan kelanjutan reformasi institusi dan deregulasi yang kredibel dan konsisten. Mengingat luasnya cakupan pelaksanaan berbagai strategi di atas, serta kompleksnya hubungan antarinstitusi dan antarlembaga pemerintah, perbaikan pada tata kelola kebijakan menjadi hal yang sangat penting. Reformasi institusi dan kebijakan makro ekonomi yang kondusif akan dapat menjadi pemicu proses transformasi dan keberlanjutan pengembangan industri pengolahan ke depannya.

Kita menyadari bahwa diskusi tentang industrialisasi ini sudah sering dibahas sejak lalu, tetapi implementasinya yang belum terlaksana dengan baik. Lima tahun ke depan merupakan waktu yang sangat penting (critical time) bagi Indonesia, karena kesempatan emas industrialisasi adalah pada saat Indonesia mengalami bonus demografi. Upaya transformasi Industri ini perlu benar-benar menjadi prioritas dalam pembangunan lima tahun mendatang, sehingga target Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) seperti yang tercantum dalam Visi Indonesia 2045 dapat direalisasikan.