Pungutan Liar di Pasar
Pungutan liar di Pasar Induk Bumiayu, Brebes, tampaknya sudah menjadi tradisi. Setiap menjelang Idul Fitri, ada pungutan dengan cara menaikkan retribusi/karcis pasar kepada pedagang tanpa sosialisasi atau musyawarah.
Bukankah kenaikan retribusi/karcis pasar harus melalui peraturan daerah (perda) karena Pasar Induk Bumiayu adalah milik pemerintah daerah dan harus disosialisasikan kepada para pedagang.
Saat Ramadhan tahun lalu, saya sudah menginformasikan kepada Bupati Brebes dan Kepala Dinas Pasar Kabupaten Brebes soal adanya "pungutan liar" ini, tetapi tidak ada tindak lanjut. Pungutan itu berulang kembali pada 2019 ini. Apakah praktik pungutan liar ini akan berlanjut pada Ramadhan tahun depan, menjadi budaya?
Mohon penegak hukum Kabupaten Brebes memberikan sanksi hukum kepada penyelenggara pungutan liar ini agar Pasar Induk Bumiayu bebas pungutan liar.
Di sisi lain, masih banyak pekerjaan rumah buat Pemerintah Kabupaten Brebes dan Dinas Pasar Brebes yang harus segera ditangani. Di antaranya memperbaiki kondisi pasar yang sangat memprihatinkan saat musim hujan. Saluran mampat, banjir, bocor, becek, bau, dan licin. Foto-foto kondisi pasar saat banjir sudah dikirim kepada bupati. Hal lain adalah membuat perda untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan pembeli dan pedagang serta menambah personel keamanan pasar.
Semoga kami para pedagang Pasar Induk Bumiayu segera mendapatkan pasar yang bersih dan bermartabat.
ABDUL ROKHMAN
Pedagang Pasar Induk
Bumiayu, Brebes
Memori di Asrama
Itulah yang menyelinap di benak saya ketika membaca nama A Kadarmanto, pengirim Surat Kepada Redaksi Kompas, 15 April 2019.
Tahun 1953-1955, sebagai murid SMP Kanisius di Jalan Diponegoro (d/h Jalan Tuntang) Nomor 90 Salatiga, saya tinggal di asrama asuhan para bruder (biarawan) Belanda.
Penghuni asrama dari seluruh pelosok Tanah Air, termasuk kalau tidak keliru Bpk A Kadarmanto, asal Klaten/Wedi, juga ada Marsono dan Bambang Haryo dari Desa Bayat.
Hampir sepanjang tahun 1959 saya tinggal di Pasturan Wedi bersama Romo Danoewidjojo. Di samping tugas sebagai guru (non-kompetensi) di SMP Kanisius, saya diminta membantu mengawasi pembangunan gedung susteran.
Kalau tulisan saya ini benar, untuk menyambung silaturahmi, harap teman-teman seangkatan menghubungi saya.
FS Hartono
Purwosari RT 004 RW 059, Sinduadi,
Sleman,Yogyakarta 55284
Menanggapi Sumur Minyak
Dalam berita Kompas, 14 Juni 2019, berjudul "Sumur Minyak Ilegal Meledak", ada kalimat: "Kebakaran di lokasi pengeboran minyak ilegal di Bajubang sudah sering terjadi, bahkan kerap menimbulkan korban jiwa". Bayangkan di lokasi itu terdapat lebih kurang 1.500 tempat pengeboran yang sangat rentan bahaya kebakaran atau ledakan.
Eksplorasi atau pengolahan BBM itu tidak seperti masak sayur dan bisa asal-asalan. Minyak mentah/BBM adalah bahan yang sangat mudah menguap dan terbakar. Maka pengolahan BBM di kilang minyak penuh dengan syarat keselamatan kerja, kesehatan, dan lingkungan (EHS: Environment, Health & Safety). Jika tidak, musibah akan terjadi dan bisa melenyapkan semua aset kilang minyak serta memakan korban jiwa dalam sekejap.
Maka kilang minyak harus dalam lokasi berpagar dan dijaga petugas keamanan. Dilarang merokok atau menyalakan api. Tidak boleh ada percikan api pada semua alat pabrik dan harus gas/explosion proof.
Aktivitas pengelasan harus gas free dengan gas test oleh Lab Fire & Safety Dept, siaga 24 jam. Tangki BBM harus dilengkapi penangkal petir dan semua karyawan harus mengenakan perlengkapan keamanan dan menguasai aturan pengamanan. Pembuangan limbah minyak harus melalui perangkap minyak/oil catcher sebelum dibuang ke lingkungan dan masih banyak lagi peraturan lainnya.
BBM bisa menyala karena 1. suhu tinggi melampaui titik nyala/self ignition point, tanpa ada sumber api; 2. tersambar api pada suhu di atas titik bakar/flash point; 3. ada electrostatic current pada aliran BBM saat pemompaan/transpor; dan 4. tersambar petir dalam storage dengan penangkal petir buruk. Semoga berguna untuk tindak lanjut pembenahan.
A SOERITNO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar