Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang diajukan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Resmi sudah, Jokowi-Amin akan menjadi presiden dan wakil presiden RI periode 2019-2024.
Dalam pernyataan persnya, Prabowo menyatakan menghormati keputusan MK.
Meski demikian, ia masih membuka kemungkinan menempuh jalur konstitusional lain. Di kalangan pendukungnya, reaksinya beragam. Sebagian memilih move on. Sebagian lagi bergeming. Mereka kukuh dengan pendiriannya bahwa pemenang pilpres melakukan kecurangan.
Narasi curang sudah dipupuk sejak awal masa kampanye dengan rupa-rupa argumen. Narasi curang pula yang jadi pendorong sebagian pendukung 02 melakukan berbagai aksi menolak hasil pilpres yang berbuntut kerusuhan minggu ketiga Mei lalu. Dan, menyertai kerusuhan itu belakangan bahkan terungkap adanya rencana pembunuhan atas sejumlah tokoh nasional.
Buah strategi
Keteguhan sikap di sebagian pemilih Prabowo-Sandi adalah implikasi wajar dari strategi kampanye. Dalam konteks ini, pasangan 02 memanfaatkan betul modal dasar dari luberan Pilpres 2014 dan juga Pilkada DKI 2017. Karena menghadapi petahana, mereka juga menyoal kinerja ekonomi. Ini pilihan yang masuk akal.
Sebab, di berbagai survei, di bidang inilah tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK paling rendah di antara bidang-bidang lain. Hasilnya, trilogi isu andalan: agama (kriminalisasi ulama dan atau bagian dari PKI), ekonomi (kegagalan dan atau ketakberpihakan di bidang ekonomi) serta etnisitas (dominasi etnis Tionghoa dan atau ancaman aneksasi China).
Narasi curang sudah dipupuk sejak awal masa kampanye dengan rupa-rupa argumen.
Trilogi isu ini dipasarkan dengan pendekatan emosional negatif (terutama rasa marah). Menurut Steenbergen dan Ellis (2006), rasa marah hanya terpicu jika mampu menunjukkan bahwa politisi yang punya wewenang tak mau dan atau tak mampu menangani masalah yang dipersoalkan. Terutama soal ekonomi dan moralitas. Dalam konteks Pilpres 2019, pendukung Prabowo-Sandi merentangkan tanggung jawab petahana secara luas sehingga setiap hal dan di berbagai bidang yang dianggap keliru, ada kesalahan atau malapetaka selalu berujung satu kesimpulan: 'semua salah Jokowi'.
Sebagian pemilih 02 menginternalisasi trilogi isu dengan cara melakukan rasionalisasi pilihan. Sebagaimana disebut Lodge dan Tober (2007), rasionalisasi itu dilakukan dengan memberi penilaian lebih kuat (baca: lebih positif) pada isu-isu yang konkruen dengan yang mereka yakini sebelumnya.
Sekaitan itu, pemilih juga termotivasi mencari informasi yang selaras dengan apa yang mereka yakini dan mengabaikan yang tak konkruen dengan apa yang mereka yakini (conformation bias). Dan, menerima tanpa sikap kritis setiap informasi yang konkruen dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, memeriksa secara cermat dan atau memberi penilaian secara tak adil pada informasi yang tidak konkruen dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (disconfirmation bias).
Kampanye negatif diyakini mampu mendorong pemilih yang sebelumnya lebih condong ke kandidat lawan bergeser preferensinya, minimal jadi golput.
Sebagai konsekuensinya, pemilih yang memiliki keyakinan kuat terhadap sesuatu hal akan bersikap lebih ekstrem ketika dihadapkan pada informasi yang bersifat pro dan kontra karena mereka mengabaikan yang tak konkruen dan menerima begitu saja informasi yang selaras dengan keyakinanyang sudah ada sebelumnya (attitude polarization). Pokok pentingnya, rasionalisasi ini lebih kuat terjadi pada orang-orang yang memahami secara mendalam tentang isu-isu politik daripada yang kurang memiliki pengetahuan dan atau penalaran yang canggih tentang isu-isu politik.
Strategi lain yang diterapkan Prabowo-Sandi adalah menggencarkan kampanye negatif. Ini strategi generik dalam setiap pemilu, dan kubu Jokowi-Amin juga melakukannya. Kampanye negatif diyakini mampu mendorong pemilih yang sebelumnya lebih condong ke kandidat lawan bergeser preferensinya, minimal jadi golput. Kampanye negatif juga diniatkan memengaruhi swing voters agar punya penilaian negatif terhadap kompetitor. Masalahnya, kampanye negatif tak selalu mendorong pemilih menelusuri informasi lebih lanjut dan atau menurunkan partisipasi pemilih.
Temuan Klein dan Ahluwalia (2005), misalnya, menunjukkan pesan-pesan negatif hanya efektif pada pemilih yang memang sebelumnya tak suka terhadap kandidat yang jadi sasaran pesan negatif itu. Temuan Meffert dkk (2006) juga menunjukkan, pesan-pesan negatif juga bisa diresepsi dengan cara sebaliknya. Pemilih justru memberi penilaian buruk terhadap pesan negatif ini dan atau mendiskon (kredibilitas) pesan-pesan itu.
Untuk mencegah pesan negatif dan kabar bohong melampaui titik kritis untuk melenting, Jokowi secara aktif melakukan berbagai aksi simbolik untuk menunjukkan dirinya Muslim taat dan juga dekat dengan ulama.
Meski demikian, pesan negatif bukan berarti tak ada gunanya. Menurut Redlawsk dkk (2010), kegagalan pesan negatif bekerja mempersuasi pemilih lebih dikarenakan tak mencapai apa yang disebutnya sebagai 'tipping point affection". Ketika titik kritis untuk melenting ini tercapai, pemilih akan terdorong untuk mengevaluasi ulang preferensinya. Di sinilah peran utama kabar bohong yang berperan bak 'obat kuat'.
Dalam konteks Pilpres 2019, pesan-pesan negatif lebih banyak bermuatan kabar bohong. Intensitasnya tinggi dan perluasan temanya juga dalam. Derasnya semburan kabar bohong juga buah dari sikap pemilih yang melakukan disconfirmation bias.
Sepanjang pesan itu selaras dengan apa yang mereka yakini dan atau menguntungkan capres mereka, akurasi konten tak lagi dipersoalkan dan karenanya juga dengan cepat dibagikan di berbagai medium komunikasi, terutama medsos dan media percakapan. Tak heran, jika hingga taraf tertentu, kampanye negatif berhasil memengaruhi evaluasi sebagian pemilih atas kandidat capres, terutama Jokowi-Amin.
Untuk mencegah pesan negatif dan kabar bohong melampaui titik kritis untuk melenting, Jokowi secara aktif melakukan berbagai aksi simbolik untuk menunjukkan dirinya Muslim taat dan juga dekat dengan ulama. Di tingkatan pendukung, pemilihnya ikutan memasarkan pendekatan emosional yang negatif.
Mulanya, mendorong terbangunnya rasa cemas yang lebih umum (misalnya: adanya ancaman terhadap demokrasi atau kebebasan). Belakangan, rasa takut dibangkitkan dengan menonjolkan peran dan agenda dari kelompok keagamaan terorganisasi (HTI, FPI dan lainnya) yang menjadi bagian pendukung Prabowo-Sandi.
Dalam situasi seperti ini, mereka memosisikan pilpres bukan lagi soal 01 vs 02 tetapi kontestasi nilai-nilai dan atau pertarungan antara kelompok mereka dengan kelompok yang diposisikan sebagai musuh.
Pada skala tertentu, respons pendukung 01 terhadap serangan opini yang dilancarkan kubu (pendukung) 02 justru mengentalkan keyakinan di sebagian pemilih Prabowo-Sandi bahwa Jokowi dan atau para pendukungnya adalah 'musuh-musuh secara ideologis'. Fakta bahwa cawapres Jokowi seorang ulama dan juga ketua MUI tak menghalangi keyakinan itu.
Sebaliknya, sikap pemilih 02 juga meningkatkan eskalasi kemarahan di sebagian pendukung Jokowi-Amin. Setidaknya ada dua isu yang memicu kemarahan ini. Pertama, presentasi diri sebagian kelompok pendukung 02 bahwa merekalah yang Islamnya paling benar. Dan, penjulukan kafir atau sesat ke setiap orang atau golongan yang tak sepaham dengan pendirian mereka. Kedua, penjulukan sosial. Persisnya, stigma memilih Jokowi-Amin diidentikan dengan istilah 'dungu' dan atau karena butuh nasi bungkus atau uang transpor.
Berbagi kesamaan
Secara umum dapat dikatakan, pemilih 01 maupun 02 berbagi kesamaan dalam sejumlah hal. Pertama, mereka sama-sama meyakini telah melakukan pilihan tepat. Mereka meyakini itu karena merasa didasarkan informasi akurat dan argumentasi kuat. Yang mereka abaikan adanya bias preferensi awal yang memengaruhi cara mereka mengolah informasi yang datang belakangan.
Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir.
Berbekal keyakinan ini mereka merasa memiliki kewajiban mulia untuk 'meluruskan' pemilih lawan yang dinilainya keliru dan atau terperdaya. Penolakan dari pemilih kompetitor menstimuli kemarahan baru. Dan, ini menjadi lebih personal sifatnya karena yang kemudian dipersoalkan adalah sikap dari teman, kolega atau kerabat.
Kedua, sebagai lanjutan dari aktivasi merasionalisasi pilihan, sebagian pemilih yang dapat digolongkan sebagai 'die hard' menjelma menjadi pemuja. Mereka menganggap capres pilihannya sang 'juru selamat'. Disadari atau tidak, baik Jokowi maupun Prabowo meresonansinya. Sekurangnya mereka melakukan hal itu untuk memastikan dan memelihara dukungan dari para pemilihnya.
Terkait ini, para pemuja di kedua kubu sama-sama tak menyukai pemilih kritis yang sekubu dengan mereka, karena pemilih kritis tak sungkan mengkritik capres dan memperolok-olok perilaku para pemuja. Bedanya, pemilih kritis di kubu 01 lebih ekspresif dan terbuka mengumbar kritik dan olok-olok itu, sementara pemilih kritis di 02 lebih sering melakukannya di forum terbatas.
Lebih daripada itu, ketiga, di sebagian pemilih 01 maupun 02 juga tumbuh semangat 'yang penting menang dulu'. Implikasi praktisnya, mereka memaklumi dan bahkan turut memberi pembenaran atas perilaku capres masing-masing meski secara personal bertentangan dengan standar mereka. Pada tingkat gagasan, mereka juga mengadopsi gagasan capres yang mereka dukung meski sebelumnya bisa jadi justru beroposisi terhadap kebijakan itu. Perilaku ini yang menjelaskan mengapa sebagian pemilih tiba-tiba terlihat tak konsisten dengan ucapan/sikap yang selama ini ditunjukkan ke orang lain.
Keempat, ada sebagian pemilih dari kedua kubu yang melakukan pemosisian ulang dalam memaknai kontestasi Pilpres 2019. Ini terjadi ketika rasionalisasi atas pilihan mereka mengalami gangguan. Terpaan berbagai informasi dan atau perubahan sikap capres membuat mereka merasa capres yang didukung bukanlah figur tepat untuk dipilih. Tapi, untuk berbalik arah atau golput, mereka juga tak mungkin melakukan karena berbagai alasan.
Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir.
Dalam situasi seperti ini, mereka memosisikan pilpres bukan lagi soal 01 vs 02 tetapi kontestasi nilai-nilai dan atau pertarungan antara kelompok mereka dengan kelompok yang diposisikan sebagai musuh. Di sebagian pemilih 02, misalnya, belakangan memaknai pilpres sebagai medan pertempuran untuk membela agama atau ulama. Di kalangan pemilih 01, ada yang meyakini pilpres ini pertaruhan menyangkut masa depan keberagaman dalam beragama atau kebinekaan dalam berbangsa.
Cara pandang ini menjadi energi baru dan sekaligus perisai ketika menghadapi informasi yang tak konkruen dengan apa yang sebelumnya mereka yakini. Meski berisiko terlalu berlebih-lebihan, transformasi cara pandang ini bisa juga dianggap sebagai sebuah pembajakan ruang kontestasi. Salah satu implikasinya: pergeseran komando. Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir.
Kenormalan baru
Konsekuesi logis dari 'pembajakan' ruang kontestasi adalah terbukanya ruang bagi kelompok-kelompok kepentingan politik-ekonomi melakukan manuver politik. Mereka tak saja mendistorsi perhelatan demokrasi, tapi sangat mungkin juga malah menginisiasi berbagai aktivitas yang memungkinkan dilakukannya berbagai tindakan non-demokrasi seperti aksi kerusuhan dan pembunuhan.
Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir. Sekurangnya, ada dua sumber yang berpotensi memicu ketegangan ini. Pertama, kelompok pendukung Prabowo yang terorganisasi dan atau tersatukan dengan narasi seputar "membela agama dan atau membela ulama".
Sebagai kelompok kepentingan, pelibatan dalam dinamika politik tak saja berguna untuk mendesakkan agenda politiknya tetapi juga bermanfaat sebagai sarana "merawat" dan "mengembangkan" mesin politiknya. Pada titik ini, pertemuan kepentingan dengan para 'penumpang gelap" yang punya motif ekonomi atau politik dapat saja terjadi.
Pilihan membentuk kabinet "super pelangi" alias mencakup hampir semua peserta pemilu, misalnya, selain tak disukai juga tak menjamin terciptanya kondisi politik yang positif.
Pemicu kedua berasal dari para pemilih 01 dan 02 yang sudah tak merasa terkait dengan pilihannya. Ini terjadi jika pemerintahan Jokowi-Amin mereka nilai sudah terlalu 'pragmatis' dan atau membuka ruang bagi berlakunya pembatasan demokrasi. Mereka memang tak mampu secara langsung menggerakkan massa, tapi mampu memengaruhi pembentukan opini publik, terutama di jalur media massa atau medsos.
Pemicu ketiga berasal dari kontestasi di elite politik sendiri. Titik masuknya bisa saja soal komposisi dan atau 'jatah' dalam kabinet. Tetapi, juga bisa karena proyeksi kontestasi Pemilu 2024 yang terlalu dini. Yang terakhir ini memicu potensi "ketakdisiplinan" baik di tubuh kabinet ataupun di parlemen.
Dus, tak ada jalan mudah bagi Jokowi-Amin. Pilihan-pilihan yang terlalu jauh dari daya terima rata-rata pemilih harus dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar