Meski cukup berhasil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki indikator sosial ekonomi—seperti mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran serta perbaikan Indeks Pembangunan Manusia—Bank Dunia menilai capaian lima tahun terakhir pemerintah itu tidak cukup untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, inklusif, dan berkesinambungan (Kompas, 3/7/2019).

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Pekerja pengalengan ikan mengemas ikan lemuru di pabrik pengalengan milik PT Pasific Harvest di Muncar, Banyuwangi, Rabu (8/5/2019).

Produktivitas nasional yang rendah sebenarnya bukan persoalan baru-baru ini saja, tetapi sudah lama jadi momok dan salah satu alasan Indonesia tumbuh di bawah potensi. Pertumbuhan yang sekarang tak cukup untuk bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi negara maju 2045.

Produktivitas berkaitan erat dengan daya saing. Rendahnya daya saing dan produktivitas menjadi disinsentif bagi investor dan penghambat kemajuan industri serta sumber dari berbagai penyakit ekonomi yang kita hadapi dewasa ini. Salah satu pemicu rendahnya produktivitas nasional adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga membangun SDM unggul, kompetitif, produktif, dan berdaya saing menjadi keharusan.

Dalam survei IMD World Talent, daya saing tenaga kerja kita memang terus membaik, tetapi kalah cepat dari tuntutan persaingan global dan juga dari negara-negara pesaing terdekat. Meski sejumlah terobosan telah ditempuh, seperti alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan dan menggalakkan pendidikan vokasi, hasilnya belum seperti diharapkan.

Secara umum, profil kita belum banyak berubah. Dari 136,18 juta angkatan kerja per Februari 2019, menurut BPS, hampir separuh masih lulusan SD dan lulusan perguruan tinggi hanya 13 persen. Tak heran jika isu kesiapan angkatan kerja menghadapi era digital dan Industri 4.0 serta kekurangan belasan juta tenaga ahli menghantui kita beberapa tahun ke depan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Aktivitas penyortiran biji kopi robusta di pabrik milik PT Asal Jaya, Dampit, Malang, Jawa Timur, Rabu (10/1/2018).

Ketidaksiapan juga membuat negara kita rentan diserbu tenaga kerja profesional asing manakala pasar bebas kawasan sepenuhnya dibuka. Selama belum ada terobosan terkait ketersediaan SDM berkualitas ini, seberapa ekstensif pun langkah deregulasi dan perbaikan iklim investasi dilakukan, tak akan cukup untuk memacu industri dan ekonomi.

Lewat Nawacita II yang menetapkan pembangunan SDM sebagai fokus pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi diharapkan bisa membuat perubahan, melalui berbagai terobosan dan koreksi kebijakan, untuk meletakkan dasar pembangunan SDM jangka panjang ke depan.

Meningkatkan produktivitas tenaga kerja hanya bisa diwujudkan dengan menciptakan lapangan kerja yang baik dan berkualitas dalam jumlah besar. Kuncinya, lewat pendidikan, pengembangan keterampilan, dukungan kebijakan publik, memperbaiki iklim usaha, dan perbaikan regulasi terkait ketenagakerjaan. Tak bisa hanya pemerintah sendiri. Harus ada kerja sama lebih padu dengan perguruan tinggi, industri, dan masyarakat. Lebih penting lagi, meningkatkan produktivitas nasional juga tak cukup hanya dengan meningkatkan kualitas SDM. Harus ada upaya serius menumbuhkan budaya produktif secara nasional menjadi gerakan nasional yang melibatkan semua komponen dan tak sebatas wacana.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO