Perjalanan politik Indonesia sejak 17 April 2019 menapaki babak akhir. KPU menetapkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden terpilih 2019-2024.
Persaingan politik untuk menjadi presiden-wakil presiden Indonesia 2019-2024 terbilang keras. Berita bohong, fitnah, dan hoaks menyertai perjalanan politik 2019. Kemenangan Jokowi-Amin pada pemilu presiden sekaligus menjadi testimoni historis, bahwa Indonesia bisa lolos dari jebakan berita bohong yang muncul di era pasca-kebenaran.
Penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua dalil yang dibangun tim hukum Prabowo-Sandi, yang dipimpin Bambang Widjojanto. Tudingan bahwa Pemilu 2019 berlangsung curang dinilai oleh MK tak punya alasan hukum. Jokowi-Amin meraih 55,45 persen dukungan dengan selisih sekitar 16,9 juta suara.
Kita bersyukur jalan terjal politik Indonesia bisa dilalui. Kita garis bawahi ajakan Jokowi-Amin, bahwa tidak ada lagi kubu 01 atau kubu 02. Bangsa Indonesia yang majemuk tak mungkin dibangun oleh satu kelompok saja. Secara eksplisit, Jokowi mengajak Prabowo dan Sandiaga, rivalnya dalam pemilu presiden, untuk bersama-sama membangun bangsa. "Kami terbuka untuk siapa saja," kata Jokowi.
Penetapan oleh KPU tidak dihadiri Prabowo atau Sandiaga. Prabowo hanya mengutus Habiburohman, tim hukum Prabowo-Sandi. Publik menyayangkan ketidakhadiran Prabowo, sebagai pertanda masih belum mulusnya rekonsiliasi. Hadir dan tidak hadir dalam penetapan KPU merupakan hak politik Prabowo. Namun, penetapan Jokowi-Amin sebagai presiden-wakil presiden terpilih tetaplah sah.
Publik tentu berharap seperti tahun 2014, Prabowo hadir dalam pelantikan presiden dalam Sidang Umum MPR 20 Oktober 2019 dan mengucapkan selamat kepada presiden terpilih. Pidato kemenangan dan pidato penerimaan kekalahan adalah tradisi dalam negara demokrasi yang matang.
Meski semua dalil tim hukum Prabowo ditolak MK, termasuk posisi Ma'ruf Amin, kita mendorong Amin lekas melepaskan jabatan sebagai Dewan Pengarah Syariah di dua bank serta melepaskan juga posisi sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah ditetapkan sebagai wapres terpilih. Langkah cepat harus diambil agar tak muncul lagi kontroversi. Kita garis bawahi pernyataan Jokowi, yang mengatakan, "Kami terbuka untuk siapa saja."
Namun, ajakan itu jangan diartikan akan dibentuk kabinet rekonsiliasi yang gemuk dengan sejumlah menteri muda yang hanya mengakomodasi kekuatan politik. Demokrasi tetap membutuhkan kekuatan penyeimbang, kekuatan di luar pemerintah. Persatuan Indonesia harus diutamakan, tetapi tak berarti hukum dicampakkan begitu saja demi rekonsiliasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar