Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Juli 2019

Angka Keramat dan Zonasi//Zonasi atau Pemintakatan//Tanggapan Polda Metro Jaya//Tidak Peduli (Surat Pembaca Kompas)


Angka Keramat dan Zonasi

Setiap kali menjelang tahun ajaran baru, para orangtua kini dibuat ketar-ketir, waswas ketika menghadapi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang berbasis zonasi.

Sejak Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Sistem Zonasi dalam penyelenggaraan PPDB terbit, keriuhan—tepatnya: kekisruhan—muncul. Formula 90 persen siswa dalam zonasi, 5 persen siswa berprestasi, dan 5 persen siswa mutasi menjadi pangkal soal. Karena kondisi dan hambatan setiap daerah tidak sama, membuat formula tersebut sulit diterapkan bahkan memunculkan masalah baru.

Atas perintah Presiden, Mendikbud merevisi formula itu menjadi 80 persen dalam zonasi, 15 persen siswa berprestasi, dan 5 persen siswa mutasi. Sebuah kebijakan yang terkesan trial and error. Sistem zonasi bagus, tetapi kurang mempertimbangkan aspek kebinekaan dan keberagaman kondisi setiap daerah.

Penetapan persentase semestinya ada landasan berpikirnya. Paling tidak berdasarkan pada kajian, riset, atau survei lapangan yang obyektif. Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 menjadi kontraproduktif ketika angka-angka "keramat" tersebut diimplementasikan.

Persentase batas atas-batas bawah lebih relevan dipilih guna meminimalkan kekisruhan dalam implementasi sistem zonasi, terutama untuk daerah-daerah yang masih belum siap sarana-prasarana pendidikan ataupun kualitas sumber daya manusia, di antaranya para guru.

Budi Sartono Soetiardjo Graha Bukit Raya, Cilame, Ngamprah, Bandung

Zonasi atau Pemintakatan

Sekarang ada pro dan kontra terhadap zonasi dalam admisi siswa baru di SMA dan SMK. Zone dapat dialihejakan menjadi zona atau dipadankan dengan mintakat, yang tersua di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jadi, zonasi yang sedang naik daun itu sepadan dengan pemintakatan.

L Wilardjo Klaseman, Salatiga, Jawa Tengah

Tanggapan Polda Metro Jaya

Menanggapi surat pembaca Saudara Ramses Sianipar di harian Kompas (26 Juni 2019) tentang biaya perpanjangan SIM C dan tanda terima di pelayanan SIM Keliling di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, saya, Iptu Toni Widayat, SH, MM, selaku Pamin Simling telah bertemu Sdr Ramses dan menjelaskan duduk soal.

Biaya Rp 130.000 terdiri atas: biaya pendapatan negara bukan pajak (PNBP) SIM C Rp 75.000, biaya pemeriksaan kesehatan Rp 25.000, dan asuransi jiwa Rp 30.000.

Soal tanda terima pembayaran yang belum diperoleh telah kami jelaskan, yang bersangkutan memahami penjelasan tersebut. Hari Kamis, 27 Juni 2019, kami telah menyerahkan langsung tanda terima kepada yang bersangkutan.

Toni Widayat, SH, MM Inspektur Satu Polisi

Tidak Peduli

Sudah lama Gerbang Tol Cikampek "berubah" menjadi Gerbang To_ Cikamp_k, tetapi tak ada yang peduli (lihat juga foto di Kompas, 8/6/2019).

Saya risi melihatnya. Memang sih hal sepele, tetapi itu indikator kecerobohan dan sikap tak peduli bangsa. Padahal, dari hal kecil dan dianggap remeh itulah karakter suatu bangsa dapat dinilai.

Tidak mungkin PT Jasa Marga tak punya uang untuk memperbaiki huruf yang copot itu. Apalagi jalan tol dibangun di mana-mana. Karena itu, rambu atau petunjuk apa pun yang rusak wajib untuk segera diperbaiki termasuk huruf L dan E yang hilang.

Pantas saja SDM kita harus dibangun 2020-2024. Semoga dengan demikian perilaku masa bodoh dapat diubah menjadi masa "cerdas" (cepat tapi akurat, energik tapi beretika, rasional terukur, dinamis dan disiplin, antusias bergotong royong, siap ide baru).

Suyadi Prawirosentono Selakopi Pasir Mulya, Bogor

Kompas, 1 Juli 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger