Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 25 September 2019

EPILOG: Pohon yang Luka (PUTU FAJAR ARCANA)

SUPRIYANTO

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas

Sejak tahun 2014, afo sudah sekarat. Lengan sebelah kanannya nyaris lumpuh. Jika angin lereng Gunung Gamalama bertiup, hanya tangan-tangan lunglai yang melambai. Mungkin juga ia sedang mengeluhkan tubuhnya yang sudah tampak rongsok, di sana-sini seperti dimakan rayap.

Bulan Juni 2019 lalu, saya mendengar kabar, afo benar-benar pergi. Akar-akarnya yang membusuk tak mampu lagi menyangga tubuhnya yang renta. Afo roboh menimpa lingkaran pagar tembok yang sebenarnya dibangun khusus untuk melindunginya.

Tak ada yang benar-benar berduka, kecuali Mama Imba Robo (60), perempuan dari Desa Tangole, Ternate, Maluku Utara. Ia tersedu-sedu meratapi jasad afo yang terbujur kaku. Mama Imba tak lain adalah keturunan pemilik kebun cengkeh di Desa Air Tege Tege, Ternate. Sejak kecil ia sudah berkenalan dengan afo, yang waktu itu usianya sudah mencapai 1,5 abad lebih.

Bongki Maulana Ibrahim dari Ternate Heritage Society, yang menemani saya "membesuk" afo II, bercerita bahwa nenek moyang pohon cengkeh yang pertama, afo I, sudah lama lapuk. "Sudah lama mati. Kini tinggal afo II, yang kita sedang lihat ini," kata Bongki.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pohon cengkeh afo yang berusia lebih dari 200 tahun hidup di Desa Air Tege Tege, Kecamatan Ternate Tengah, Ternate, Maluku Utara, Selasa (3/7/2012). Cengkeh dan pala merupakan komoditas andalan warga di lereng Gunung Gamalama, Ternate.

Percakapan ini saya rekam lima tahun yang lalu, tepat di bawah kaki afo II. Kini dua pohon cengkeh tertua di dunia benar-benar tiada. Keduanya memang sudah beranak pinak ke seluruh Nusantara, bahkan keturunannya tersebar jauh sampai ke Zanzibar di Afrika.

Rempah-rempah, terutama cengkeh, pada suatu masa pernah mendorong peperangan yang seolah tak kunjung selesai. Di tanah Maluku Utara, pada awal abad ke-16, datang Antonio de Abreu, orang Portugis yang memimpin ekspedisi ke Asia Tenggara. Tahun 1511, dengan tiga kapal kecil, ia sampai ke Kepulauan Banda dan kemudian membawa pulang bunga dan buah pala. Rekannya, Franscisco Serrao, setahun kemudian tiba di Maluku dan kembali dengan berton-ton bunga cengkeh.

Sejak itulah misteri kepulauan penghasil rempah-rempah dunia terkuak. Tak lama sesudahnya datanglah bangsa Spanyol, Inggris, dan Belanda. Semuanya dengan misi menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Berbagai sumber saat itu menggambarkan rempah-rempah dianggap sebagai emas hitam. Harganya bahkan digambarkan jauh lebih tinggi dari emas.

Pulau Ternate dan Tidore, serta beberapa pulau, seperti Bacan, Halmahera, dan Banda, menjadi pulau-pulau yang paling diperebutkan. Peninggalan beberapa benteng Portugis, Spanyol, dan Belanda di Ternate, misalnya, bisa menjadi bukti bahwa Maluku Utara, terutama Ternate, dijadikan target utama mencengkeramkan kekuasaan. Nafsu menguasai Ternate didorong kuat untuk memperoleh hak monopoli perdagangan rempah (cengkeh) dunia.

KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO

Seorang petani sedang menyirami bibit cengkeh afo di Marikurubu, Ternate, Maluku Utara, 12 Juni 2013. Seiring turunnya primodona cengkeh, jumlah pembibit cengkeh di Ternate juga cenderung berkurang.

Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berdiri tahun 1602, resmilah kolonisasi dimulai. VOC diberi hak luar biasa oleh Kerajaan Belanda, di antaranya hak memiliki tentara, memiliki mata uang sendiri, dan bernegosiasi dengan negara lain, bahkan hak untuk menyatakan perang.

Setelah bertahun-tahun mengeruk rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya, karena harga pasaran cengkeh dan pala dunia sedang anjlok, Kompeni memerintahkan penebangan pohon cengkeh dan pala. Penebangan itu dengan tujuan mengendalikan pasokan rempah-rempah di tingkat perdagangan dunia.

Celakanya, pada abad modern, perilaku yang sama dengan aksentuasi sedikit berbeda terjadi lagi. Ketika Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) berdiri, harga cengkeh berada di bawah kendali kroni Orde Baru. Sebuah laporan menyebutkan, BPPC membeli cengkeh dari petani seharga Rp 250 per kilogram.

Kemerosotan harga itu membuat sebagian petani marah, lalu menebangi pohon cengkeh mereka. Cengkeh yang tadinya menjadi komoditas nomor satu, bahkan disamakan dengan emas, merosot pada titik terendah. Nyaris tidak memiliki harga sama sekali.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warga di Pulau Ay, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, memisahkan cengkeh dari batangnya, Sabtu (30/6/2012). Cengkeh dan pala merupakan komoditas perkebunan yang menjadi sumber mata pencarian di pulau ini.

Realita sejarah ini menunjukkan kepada kita bahwa rempah-rempah, terutama lada dan cengkeh, pernah menjadi komoditas misterius yang diburu oleh semua bangsa di dunia. Sejarawan JJ Rizal menuturkan, jauh sebelum cengkeh diburu oleh orang-orang Eropa, bangsa China dan Mesir telah memanfaatkan cengkeh dan rempah lainnya sebagai bahan kosmetik dan pengawetan jenazah.

Seluruh pasokan pala dan cengkeh ke Mesir dan China dilakukan dari Kepulauan Nusantara, terutama Ternate, Tidore, Banda, dan pulau-pulau kecil lain. Di pulau-pulau inilah tumbuhan ini tumbuh secara alami, yang kemudian dikenal sebagai tanaman endemik.

Bentangan sejarah rempah Nusantara terlalu banyak menyimpan cerita duka. Selain peperangan antara Sultan Baabullah, penguasa Ternate (1570), dan Portugis, perang juga berkecamuk antarbangsa Eropa yang ingin menguasai jalur perdagangan rempah. Perang terlama terjadi antara Inggris dan Belanda dalam memperebutkan Pulau Run (1665) di Kepulauan Banda.

Peperangan itu berakhir dengan Perjanjian Breda, di mana Inggris mendapatkan New Netherland (New York) dan Belanda menguasai Run. Ketika saat ini New York berkembang menjadi megapolitan, Run belum juga ke mana-mana. Penduduknya hanya menikmati listrik selama 4 jam dalam sehari.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pulau Run dilihat dari udara, Kamis (27/4/2017). Di pulau seluas 330 hektar tersebut, sebagian besar lahannya merupakan perkebunan pala. Hanya sekitar 4 hektar yang berfungsi sebagai permukiman.

Bangsa Eropa sudah lama pergi dari Nusantara. Namun, nasib rempah-rempah (cengkeh dan pala) tak kunjung membaik. Menurut data, harga cengkeh saat ini berkisar antara Rp 35.000-Rp 95.000 per kilogram di tingkat petani. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), untuk periode Januari-November 2018, ekspor cengkeh dari Indonesia mencapai 76,97 juta dollar AS alias naik 211,44 persen dari periode sama tahun lalu  24,71 juta dollar AS.

Barangkali kematian afo memberi isyarat kepada kita bahwa rempah-rempah tak hanya menyangkut tata niaga, tetapi penghormatan kepada pohon yang seolah diturunkan dari surga. Pala dan cengkeh, begitu juga rempah-rempah lain, seperti kayu manis, adalah tumbuhan serba guna, penuh khasiat. Ia berperan mulai dari di dapur sebagai bumbu masak, kosmetika untuk kecantikan, mengharumkan saus untuk rokok, sampai kemudian menjadi penjaga kesehatan tubuh manusia.

Jika dahulu peran rempah yang besar itu mendorong monopoli dan kolonialisme, di masa-masa sekarang seharusnya khasiat rempah membangun kesadaran pentingnya menjaga keselarasan hubungan antara manusia dan alam. Afo tak perlu pergi dalam penderitaan yang sungguh, tetapi meninggalkan dunia dalam nuansa penuh penghormatan….

Kompas, 25 September 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger