IHA VIA AP

Penumpang asal Inggris yang menggunakan jasa biro travel Thomas Cook mengantre di Bandara Antalya, Turki, 23 September 2019. Awal pekan ini, perusahaan agen perjalanan ini berhenti beroperasi karena fenomena disrupsi.

Perusahaan agen perjalanan Thomas Cook berhenti beroperasi. Akibatnya, 600.000 pelancong yang sedang menggunakan jasanya terjebak di berbagai negara.

Awal pekan ini dunia disuguhi drama berakhirnya operasional sebuah perusahaan agen perjalanan berusia 178 tahun asal Inggris. Thomas Cook, nama perusahaan itu. Dahulu begitu berjaya. Pada abad ke-19, Thomas Cook dikenal sebagai penyedia layanan tur bagi warga elite Inggris ke berbagai belahan dunia. Lewat Thomas Cook, kaum berduit cukup sekali pesan untuk mendapatkan tiket kapal dan hotel. Dengan sekali bayar, mereka tinggal terima beres.

Model bisnis ini berlanjut mulus hingga setidaknya dua dekade silam. Pesan ke Thomas Cook, pelancong akan mendapatkan tiket pesawat dan kamar hotel di banyak negara. Seperti ditulis harian ini, pada Selasa (24/9/2019) Thomas Cook berkembang sangat besar, sampai memiliki beberapa maskapai penerbangan. Jumlah karyawannya di 16 negara mencapai sekitar 22.000 orang.

Namun, lebih kurang sepuluh tahun terakhir, internet mengubah segalanya. Pelancong tidak perlu lagi membayar paket tiket transportasi dan kamar hotel di kantor agen perjalanan yang berlokasi di tepi jalan.

Dengan situs penyedia layanan pemesanan, siapa pun bisa mendapatkan kamar hotel dengan harga kompetitif. Lewat situs itu, pelancong juga bisa memesan tiket pesawat, kapal laut, hingga kereta cepat antarnegara. Tawaran diskon dan poin menambah minat pelancong untuk mengakses situs pemesanan ketimbang datang ke kantor agen perjalanan, seperti Thomas Cook, atau menelepon petugas mereka.

Dikutip dari The New York Times, Rafat Ali, pemimpin perusahaan media Skift, penyedia layanan riset dan pemasaran bagi industri travel, menyebutkan bahwa Thomas Cook tak berhasil menguasai digital. Padahal, bisnis pemesanan tiket dan kamar hotel semakin bersifat daring. Upaya Thomas Cook membangun aliansi dengan sebuah perusahaan penyedia jasa pemesanan via internet pada 2017 tak memberi hasil memuaskan. Thomas Cook tetap bergantung pada 600 kantornya di pinggir jalan di seluruh dunia dan pemesanan via telepon.

Dalam kondisi penuh tekanan itu, Thomas Cook menanggung utang besar, 1,7 miliar pound sterling (sekitar Rp 29,9 triliun). Upaya negosiasinya pada pekan lalu untuk memperoleh pendanaan darurat 250 juta dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 3,5 triliun) gagal sehingga awal pekan ini pun dunia disuguhi drama berakhirnya operasional Thomas Cook.