Aspirasi publik seakan tak didengar. Rencana pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) mengundang protes. Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedianya disahkan, Selasa, 24 September 2019, ditunda pengesahannya. Presiden Joko Widodo meminta penundaan pengesahan RKUHP. Dan, DPR pun menyetujui.
Rancangan KUHP dinilai banyak mengekang kebebasan sipil, meringankan hukuman penjara bagi koruptor, membuka ruang intervensi negara dalam kehidupan privat. Itulah persepsi yang berkembang di kalangan pengunjuk rasa. Pada sisi lain, pihak pemerintah merasa terjadi salah persepsi terhadap sejumlah pasal dalam RKUHP oleh publik. Pada titik inilah sebenarnya pangkal masalah. Minimnya pelibatan publik!
Bukan hanya RKUHP yang ditunda pengesahannya. DPR juga menunda pengesahan RUU Pemasyarakatan, yang ditafsirkan publik memberikan kemudahan bagi narapidana korupsi untuk mendapatkan haknya, seperti hak untuk cuti serta hak untuk pembebasan bersyarat. Publik mengonstruksikan revisi terhadap UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemilihan calon pimpinan KPK, pembahasan RKUHP, dan pembahasan RUU Pemasyarakatan saling terkait untuk memberikan kemudahan kepada koruptor.
Beberapa undang-undang yang ditolak pengunjuk rasa telah ditanggapi, kecuali revisi UU KPK. Masih ada jalan konstitusional untuk revisi UU KPK, seperti melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atau melalui penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Toh, faktanya memang ada ketidaksinkronan umur calon pimpinan KPK terpilih dengan usia yang dipersyaratkan UU KPK baru.
Kita mendorong DPR dan pemerintah membangun dialog, membangun komunikasi dengan masyarakat. Hindari kemungkinan terjadinya kekerasan. Semua pihak harus menahan diri. Mendengarkan aspirasi publik adalah keharusan konstitusional dari DPR. Komunikasi dengan elemen masyarakat atau tokoh masyarakat selayaknya dilakukan pemerintah, termasuk Presiden Jokowi sendiri. Presiden Jokowi saatnya juga berkonsentrasi pada pembangunan hukum, bukan hanya infrastruktur.
Meminjam istilah jurnalis senior Jakob Oetama, bangsa ini hidup dalam masyarakat yang tak tulus. Berkomunikasi dalam masyarakat yang tidak tulus tidak mudah. Tingkat kepercayaan rendah. Teks selalu dilepaskan dari konteks. Kondisi itu diperparah dengan menjamurnya tafsir atau opini di media sosial. Kebenaran ditentukan keyakinan si penerima pesan.
Kita mendorong perbedaan pendapat diselesaikan dengan dialog. Perlu komunikasi untuk membangun pemahaman bersama dan membangun demokrasi. Bangsa ini membutuhkan tokoh-tokoh moral berintegritas untuk menyampaikan pesan kebangsaan yang kredibel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar