Penerbitan obligasi daerah menjadi diskursus publik dalam dua tahun terakhir. Di satu sisi, banyak pihak berpendapat obligasi daerah belum saatnya diterapkan di Indonesia. Selain belum memiliki pengalaman, penerbitan obligasi daerah akan memberatkan keuangan pemerintah daerah di masa mendatang. Di sisi lain, penerbitan obligasi daerah sudah merupakan tuntutan dalam pembiayaan proyek pemda. Faktanya, pendapatan asli daerah tidak cukup untuk mendanai belanja pemda. Sementara transfer dari pusat sebagian besar tersalur pada belanja pegawai yang tidak produktif.
Inefisiensi alokasi transfer dari pusat yang disertai stagnasi pendapatan asli daerah harus dibayar mahal. Pemda mengalami ketergantungan fiskal yang tinggi. Lebih ironis lagi, transfer yang senantiasa naik setiap tahunnya belum mampu menciptakan efek pengganda bagi akselerasi perekonomian daerah. Dengan berbagai kendala itu, beberapa pemerintah provinsi mulai menjajaki penerbitan obligasi daerah sebagai alternatif pendanaan. Secara yuridis, peluang itu dimungkinkan. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan sudah rinci mengatur tentang obligasi daerah.
Per definisi, obligasi daerah adalah salah satu sumber pinjaman daerah jangka menengah dan/atau jangka panjang yang bersumber dari masyarakat. Penerbitannya hanya untuk membiayai kegiatan investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat yang menjadi urusan pemda.
Inefisiensi alokasi transfer dari pusat yang disertai stagnasi pendapatan asli daerah harus dibayar mahal. Pemda mengalami ketergantungan fiskal yang tinggi.
Penerbitannya hanya dapat dilakukan dalam rupiah di pasar modal domestik. Oleh karena itu, jika obligasi daerah bisa dirilis, niscaya akan menjadi alternatif aset finansial bagi portofolio pemodal domestik di luar yang sudah konvensional, seperti tabungan, deposito, emas, valuta asing, dan saham. Konvensionalitas aset finansial inilah yang membuat pasar keuangan kita jauh tertinggal. Peminat obligasi sejatinya masih tinggi. Di tengah penurunan imbal hasil, harga obligasi akan naik karena pasokannya masih terbatas. Alhasil, pendalaman pasar keuangan (financial market deepening) adalah sasaran lain yang bisa diraih.
Berbagai kendala
Dengan pemunculan obligasi daerah, masyarakat memiliki kesempatan berpartisipasi membiayai pembangunan daerah. Transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society akan memperkuat pasar modal. Oleh karena itu, obligasi daerah menjadi instrumen strategis menuju inklusi keuangan di masa mendatang. Sayangnya, sejak diterbitkannya sejumlah aturan di atas belum ada satu pun pemda berhasil menerbitkan obligasi daerah. Salah satu poin yang diklaim menjadi batu sandungan adalah keharusan untuk mencantumkan perkiraan kapasitas dan pendapatan yang bisa diraih dari kegiatan yang dibiayai oleh obligasi daerah.
Prasyarat itu sulit dipenuhi pemda lantaran proyek yang dibangun tak seluruhnya mengalirkan pendapatan. Artinya, proyek yang ditawarkan sebagai aset dasar (underlying) ada, tetapi tak ada jaminan arus pendapatan (revenuestream). Pemilik modal tentunya enggan membeli obligasi semacam ini. Pemda sebagai penerbit obligasi daerah bisa saja memberikan jaminan pembayaran bunga kupon dan pokok obligasinya hingga jatuh tempo. Namun, calon investor pasti akan mengamati laporan keuangan pemda, yakni APBD. Persoalannya kembali lagi pada PAD dan transfer pusat.
Transformasi masyarakat dari savings-oriented society menuju investment-oriented society akan memperkuat pasar modal.
Solusi pemeringkatan obligasi daerah yang akan diberikan oleh lembaga pemeringkat independen belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Analogi terhadap obligasi korporasi sepertinya tak bisa utuh dipakai. Tinggi atau rendahnya peringkat lebih ditentukan oleh jaminan pemda sebagai penerbit obligasi, alih-alih prospek finansialnya.
Hal yang lebih mendasar lagi adalah kriteria penentuan proyek yang akan dibiayai. Obligasi daerah mensyaratkan penerimaan sehingga output yang dihasilkan adalah barang/jasa semi publik. Jika demikian, BUMD semestinya bisa mengerjakan proyek itu sehingga lebih leluasa menerbitkan obligasi layaknya korporasi.
Problematika obligasi daerah tak berhenti sampai di sini. Persoalan lain, apakah ada pasar sekunder yang bisa memfasilitasi perdagangan obligasi daerah. Ketiadaan pasar yang likuid semakin membuat investor tidak tertarik menanamkan modalnya pada obligasi daerah.
Hal yang lebih mendasar lagi adalah kriteria penentuan proyek yang akan dibiayai. Obligasi daerah mensyaratkan penerimaan sehingga output yang dihasilkan adalah barang/jasa semi publik.
Rilis obligasi daerah juga membuka peluang terjadi moral hazard. Beberapa proyek yang sejatinya sudah dibiayai APBN, APBD, atau sumber lain akan diakukan sebagai aset dasar obligasi daerah. Artinya, realisasi obligasi daerah seolah hanya menjadi tuntutan tren demi gengsi kedaerahan. Apa pun modusnya, obligasi daerah tetap memiliki risiko gagal bayar.
Obligasi daerah tak dijamin pemerintah pusat. Konsekuensinya adalah tidak ada lagi istilah too big to fail. Pemda penanggung jawab finalnya. Krisis obligasi daerah (municipal bond) di Puerto Riko pada 2006 memberi pelajaran berharga kegagalan obligasi daerah. Dengan risiko gagal bayar tinggi, pemda, anehnya, belum punya debt management office (DMO) yang andal seperti di obligasi negara. Pemda perlu menyiapkan terlebih dulu DMO dengan segala infrastrukturnya sebelum obligasi daerah resmi dijual ke publik.
Dengan berbagai pertimbangan tadi, eksistensi obligasi daerah terpulang pada kesepakatan politik pemda dan DPRD. Tertundanya emisi obligasi daerah bukan karena belum dapat persetujuan DPRD, tetapi tatkala DPRD baru dilantik, eksekusi penerbitan obligasi bisa jadi mulai dari nol lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar