Kritik sporadik terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sering melupakan bahwa, Tim Perumus RKUHP, di samping misi-misi lain, sesungguhnya dibebani misi utama yang berat yaitu melakukan proses dekolonialisasi kodifikasi hukum pidana yang sudah lebih dari 100 tahun usianya, yakni sejak 1 Januari 1918, yang secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di bumi Nusantara ini.
Proses dekolonialisasi harus dimaknai sebagai proses untuk membongkar dan meniadakan karakter kolonial KUHP yang secara mendasar ditanamkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang secara terstruktur, sistematis dan masif memberlakukan kopi KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) 1886 di wilayah Hindia Belanda.
Langkah TSM tersebut dilakukan melalui penerapan asas konkordansi, yurisprudensi, doktrin dan proses pendidikan hukum. Dengan demikian para dosen di Fakulas Hukum dan para penegak hukum cepat atau lambat harus menyadari bahwa sebenarnya yang diajarkan dan ditegakkan sampai saat ini adalah sistem hukum pidana yang secara mendasar bersumber dari nilai dan norma kolonial, baik struktur, substansi maupun kultur kolonialnya.
Pasca-kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, atas dasar Ps. II Aturan Peralihan UUD 1945 yang kemudian diikuti oleh UU No 1 Tahun 1946 Jo UU No 73 Tahun 1958 — sekalipun diwarnai dengan nama Peraturan Hukum Pidana (Indonesia) dan semangat untuk disesuaikan dengan "kedudukan RI sebagai Negara Merdeka" dengan polesan di sana sini — namun tidak dapat dibantah bahwa bangunan utama KUHP tetap berlandaskan filosofi kolonial. KUHP tetap didominasi Aliran Klasik abad 18 yang menonjolkan keadilan retributif yang bernuansa pembalasan terhadap perbuatan pelaku tindak pidana (daad-strafrecht), yang semata-mata berorientasi ke belakang (backward looking).
Dalam perjalanannya memang ada pengaruh positif dari riset empiris kriminologis untuk juga mempertimbangkan kedudukan pelaku tindak pidana yang berkembang di abad 19 yang memunculkan Aliran ˜Neo-Klasik" yang secara sporadis kelihatannya menunjukkan hukum pidana sudah berkarakter "Daad-dader Strafrecht".
Demikian juga pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (viktimologi) dan kesadaran HAM dalam sistem peradilan pidana setelah Perang Dunia II, yang memunculkan berkembangnya pendekatan keadilan restoratif, yang mulai juga mengedepankan peranan korban kejahatan dan masyarakat dalam sistem peradilan pidana. Namun tetap harus disadari bahwa filosofi pembalasan dalam sistem keadilan retributif tetap mengemuka secara sistemik.
Bukan amendemen tambal sulam.
Atas dasar penelaahan historis (historical antecedent) di atas, Tim Perumus RKUHP lebih dari 40 tahun lalu telah bertekad bahwa yang harus dilakukan adalah proses dekolonialisasi dalam bentuk rekodifikasi terbuka, bukan amendemen atau revisi bersifat tambal sulam (patchwork approach), baik yang bersifat filosofis, teoretis, maupun praktis, meliputi baik yang berkaitan dengan asas hukum pidana maupun tiga permasalahan hukum pidana (perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi baik pidana maupun tindakan).
Beberapa karakter di bawah ini di samping usaha untuk menetralisasi, mengoreksi, dan memitigasi dampak ikutan akibat berlakunya KUHP kolonial, diadaptasi dengan selalu memperhitungkan batu penguji (testing stones) keindonesiaan di era globalisasi (Pancasila, UUD NRI 1945, HAM dan Asas-asas Hukum Umum yang diakui masyarakat beradab). Di samping itu fungsi hukum senantiasa dilihat baik sebagai alat rekayasa sosial, mekanisme pengintegrasi maupun sebagai mekanisme pengendalian sosial.
Di bawah ini beberapa contoh karakter dekolonialisasi yang merupakan refleksi asas-asas tersebut di atas. Pertama, asas keseimbangan kepentingan yang bersifat "triad" , yaitu kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu. Kedua, keserasian antara prinsip kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Ketiga, ketelitian dalam proses kriminalisasi. Keempat , penonjolan alternatif pidana penjara. Kelima, penghormatan pada nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Keenam, perlindungan terhadap ideologi negara dan simbol negara.
Ketujuh, pengaturan pidana mati bersyarat. Pidana mati bukan hanya persoalan politik dan HAM, tetapi juga masalah kultur dan religi. Kedelapan, pengaturan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal sebagai "tafsir resmi" KUHP. Kesembilan, perumusan berbagai tindak pidana sebagai tindak pidana aduan dan tindak pidana yang dirumuskan secara materiil untuk mencegah penyalahgunaan. Kesepuluh, perumusan yang jelas tentang hakikat pidana, tujuan pemidanan dan pedoman pemidanaan.
Semua kritik dan masukan dari masyarakat tentu sangat dipertimbangkan walaupun tidak semuanya dapat disetujui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar