Suara Rakyat Vs DPR
Demo menolak revisi Undang-Undang KPK, pemilihan ketua baru KPK, dan pengesahan tahap pertama revisi RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana terus berlangsung secara bergelombang. DPR dianggap tidak mau mendengar suara rakyat atas berbagai persoalan yang menjadi keprihatinan bangsa.
Kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilu langsung ternyata banyak mengecewakan rakyat. Terjadi deklinasi idealisme para wakil rakyat sehingga mereduksi, bahkan mengingkari harapan-harapan rakyat.
Mandat yang diberikan oleh rakyat seolah menjadi cek kosong, yang bisa semaunya diisi sesuai kemauan sekelompok atau segolongan orang yang tidak mewakili keinginan dan aspirasi rakyat. Anggota Dewan yang terhormat tidak banyak mendengar, lebih sibuk dengan agenda-agenda politiknya sendiri.
Diskrepansi dalam praktik politik di DPR banyak menimbulkan kekecewaan, yang cepat atau lambat bakal meruntuhkan kepercayaan rakyat kepada para wakilnya. Adagium "suara rakyat adalah suara Tuhan" terkubur dalam-dalam ketika rakyat melihat pelbagai kenyataan politik yang sarat kepentingan kelompok dan golongan.
KPK adalah anak kandung reformasi yang lahir akibat maraknya praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) oleh rezim penguasa saat itu. Namun, sejak itu, upaya pelemahan KPK terus berlangsung. Kini, sosok-sosok yang mendapat amanah di kursi legislatif dan eksekutif berkolaborasi mempereteli pasal dan ayat dalam Undang- Undang KPK, dengan argumentasi memperkuat KPK. Mereka kejar target-kejar tayang sebelum anggota Dewan masa bakti 2014-2019 itu selesai bertugas.
Ibarat bumi dan langit, kita membandingkan suara rakyat dengan suara wakil rakyat. Para anggota Dewan yang terhormat sudah salah memotret, salah menerjemahkan, salah menangkap suara rakyat, atas berbagai hal tentang penegakan hukum, dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Akibatnya, saat ini muncul parlemen jalanan, parlemen suara rakyat yang sesungguhnya, bukan parlemen wakil rakyat, yang dengan segala predikat dan atributnya memperoleh kehormatan duduk di Senayan.
Budi Sartono Soetiardjo
Graha Bukit Raya, Cilame, Ngamprah, Bandung
Revisi UU KPK
Saya hanya seorang pensiunan dosen, umur saya 82 tahun, sudah lemah dan sakit- sakitan. Namun, saya kecewa berat mengetahui bahwa revisi RUU KPK telah diterima dan disahkan DPR dalam rapat 17 September 2019.
RUU tersebut banyak cacatnya yang justru melemahkan KPK sebagai lembaga antikorupsi. Apalagi, korupsi kian marak bahkan setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan.
Contoh, UU KPK mengharuskan izin tertulis kepada Dewan Pengawas sebelum penyadapan dan lalu menunggu jawaban, bagaimana penyadapan (yang notabene harus berlangsung rahasia dan cepat) dapat dilaksanakan? Koruptor keburu kabur.
Masih banyak pasal lain yang melemahkan KPK. Jalan satu-satunya adalah rakyat bangkit membela KPK dengan jalan menolak revisi UU KPK tersebut.
KPK milik rakyat, yang memberantas korupsi oleh pencuri uang rakyat. Mari kita bergerak melalui demo-demo (yang tertib), membuat petisi-petisi menolak RUU KPK terus-menerus, sampai DPR dan pemerintah bersedia mencabut RUU tersebut.
Saya sendiri mau ikut tanda tangan petisi, tetapi saya tidak kuat ikut demo. Oleh karena itu, saya mengikuti dari rumah dengan berdoa, semoga Tuhan menolong rakyat Indonesia melalui pengukuhan KPK sebagai lembaga antikorupsi, sampai korupsi dan terutama mental korupsi hilang dari bumi Indonesia.
Tuhan memberkati. Amin.
AM Djuliati Suroyo
Prof Emeritus Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar