Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson bulan lalu menempuh langkah menskors parlemen. Jadwal efektif parlemen yang diskors adalah 10 September-14 Oktober 2019. Namun, Mahkamah Agung (MA) pada Selasa lalu menyatakan langkah Johnson itu melanggar hukum.
Tak ada lagi pilihan bagi Parlemen Inggris selain memulai masa sidang pada Rabu (25/9/2019). Johnson yang sedang di New York, Amerika Serikat, guna menghadiri Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat MA mengeluarkan putusan itu buru-buru pulang ke London.
Putusan MA diambil secara bulat oleh 11 hakimnya. Dalam putusannya, MA mengutip preseden pada abad ke-17 dan menyebutkan bahwa PM tak bisa menskors parlemen untuk menghindari pengawasan kebijakan pemerintah.
Langkah menskors parlemen sebenarnya bukan hal luar biasa. Namun, kali ini langkah Johnson menskors parlemen dicurigai bertujuan agar anggota lembaga legislatif itu tidak memiliki waktu memadai untuk "melawan" rencana pemerintah yang akan hengkang dari Uni Eropa (UE) pada 31 Oktober meskipun tak ada kesepakatan antara Inggris dan UE. Dengan menskors parlemen dan baru dibuka pada 14 Oktober, penentang Brexit tanpa kesepakatan (no deal) akan kekurangan waktu menggalang kekuatan menghadapi Johnson.
Putusan MA itu menunjukkan bahwa isu Brexit disadari oleh banyak kalangan di Inggris sangat serius dan sungguh menentukan nasib negara di masa depan. Upaya menghambat proses demokratis berupa mengkritisi, memeriksa, dan mungkin "menentang" rencana pemerintah yang akan menempuh Brexit tanpa kesepakatan merupakan sesuatu yang tak bisa diterima. Sampai-sampai, MA merasa perlu "terlibat" lewat putusannya yang menguntungkan kubu penentang Johnson.
Parlemen sebelum ini telah mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan PM Inggris mengupayakan perpanjangan negosiasi hingga akhir Januari 2020 jika pada 31 Oktober tak tercapai kesepakatan antara Inggris dan UE. Namun, Johnson mengatakan tak akan mengajukan permintaan itu ke UE.
Setelah referendum Brexit berlangsung pada 2016 dan dimenangi pendukungnya, politik Inggris sangat dinamis, antara lain ditandai pengunduran diri PM Theresa May. Johnson yang termasuk garis keras Brexit diserang bertubi-tubi oleh penentangnya, termasuk sesama anggota partai Konservatif, yang tak setuju dengan pendekatannya. Brexit tanpa kesepakatan dinilai hanya merugikan rakyat Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar