Suhu muka bumi naik rata-rata 0,9 derajat celsius sejak akhir abad ke-18, menurut data Badan Antariksa dan Penerbangan Amerika Serikat (AS). Angka tersebut kelihatan kecil, tetapi dampaknya sangat terasa pada bumi. Kekhawatiran dunia atas dampak emisi karbon sebagai penyumbang gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global sangat nyata, terutama di negara maju.
Kenaikan suhu bumi telah menyebabkan perubahan iklim. Dampak kenaikan suhu muka bumi mengakibatkan, antara lain, naiknya suhu lautan hingga di kedalaman 700 meter serta menyusutnya lapisan es di Greenland dan Antartika, glasier di berbagai tempat dan laut es di Antartika. Menyusutnya es di dua kutub bumi menyebabkan naiknya permukaan laut. Juga terjadi lebih banyak badai, intensitas curah hujan lebih tinggi, musim kemarau lebih kering di berbagai tempat.
Pertanian dan penyediaan pangan terganggu, penyakit baru muncul, penyakit lama seperti demam berdarah meluas karena nyamuk sebagai vektor virus demam berdarah jelajah terbangnya bertambah akibat menghangatnya muka bumi.
Kenaikan muka air laut sudah dirasakan masyarakat yang tinggal di pesisir pantai Indonesia. Harian Kompas berulang kali memberitakan tenggelamnya sejumlah rumah di pesisir Jakarta dan pantai utara Jawa.
Wakil Presiden M Jusuf Kalla dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim, sebagai rangkaian Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Senin (23/9/2019), mengatakan, Indonesia sudah merasakan dampak buruk perubahan iklim. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan diperparah oleh naiknya perubahan iklim.
Indonesia dalam KTT Iklim kembali menegaskan komitmennya pada Perjanjian Paris dengan ikut mengurangi emisi gas rumah kaca, hingga 29-41 persen, melalui dukungan masyarakat dunia. Langkah yang akan dilakukan antara lain menanami 12 juta hektar lahan kritis hingga tahun 2030.
Janji pemerintah untuk mengikatkan diri pada perjanjian iklim internasional harus diwujudkan. Dunia akan terus mengawasi. Penolakan minyak sawit kita oleh Eropa dikaitkan, antara lain, dengan konversi hutan tropis basah kita menjadi perkebunan sawit, yang dipandang tak mendukung pengurangan emisi karbon. Praktik pembakaran hutan dan lahan di sejumlah perkebunan di Sumatera dan Kalimantan memperkuat citra kurangnya komitmen lingkungan kita.
Ada atau tidak ada pendanaan dari masyarakat internasional, kita harus membangun mekanisme untuk menanami kembali lahan kritis dan hutan yang gundul karena eksploitasi. Kita dapat mulai mewujudkan komitmen iklim kita dengan lebih serius mencegah kebakaran hutan dan lahan, terutama di lahan gambut. Perlu tindakan tegas atas perusahaan yang membakar lahan dan hutan, kalau perlu hingga pucuk manajemen atau pemilik. Jangan sampai perilaku segelintir orang menyebabkan jutaan orang yang lain menderita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar