Naiknya batas usia perkawinan bagi perempuan menjadi 19 tahun dalam revisi Undang-Undang Perkawinan menjadi era baru pembangunan manusia Indonesia. Pekan lalu pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui merevisi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki kini sama, yaitu menjadi 19 tahun. Sebelumnya, batas usia pernikahan bagi perempuan adalah 16 tahun.
Revisi UU Perkawinan juga menambahkan, dispensasi bagi yang akan menikah di bawah usia 19 tahun harus dimintakan ke pengadilan disertai bukti yang menjadi alasan permintaan dispensasi. Sebelumnya, dispensasi dapat dimintakan orangtua calon mempelai laki-laki dan perempuan kepada pejabat lain. Pengetatan perkawinan anak juga mengatur dalam penambahan Pasal 7 Ayat (3), yaitu pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua calon mempelai.
Perubahan terhadap UU Perkawinan itu sudah seharusnya dilakukan, bahkan seyogianya terjadi jauh sebelumnya. Upaya masyarakat merevisi UU Perkawinan telah berlangsung panjang, termasuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sayangnya, upaya tersebut ditolak MK pada Juni 2015 dengan alasan perubahan lebih tepat dilakukan melalui revisi undang-undang di DPR.
Revisi UU Perkawinan harus segera disusuli peraturan pemerintah untuk mengatur mekanisme pelaksanaannya. Mahkamah Agung (MA) berperan penting dalam memastikan revisi dipatuhi semua pengadilan agama. Pemerintah segera mengatur pencegahan perkawinan usia dini dengan memberikan pengetahuan memadai kepada orangtua dan remaja mengenai kerugian menikah pada usia muda. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan kurikulum kesehatan reproduksi remaja.
Tujuannya agar anak dan remaja memahami tanggung jawab terhadap diri dan masa depannya, termasuk menghindari hubungan seks sebelum menikah. Banyak contoh dari sejumlah negara, membekali cukup pengetahuan yang tepat mengenai kesehatan reproduksi justru menurunkan angka hubungan seks pranikah di kalangan remaja dan menurunkan kasus kehamilan remaja.
Pernikahan pada dasarnya bukan sekadar persoalan usia, melainkan juga kesiapan fisik, psikologis, dan ekonomi calon mempelai. Dua hal pertama biasanya memunculkan berbagai risiko, mulai dari ancaman terhadap kesehatan reproduksi perempuan yang dapat berakibat kematian ibu dan bayinya, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, hilangnya masa kanak-kanak, hingga hilangnya potensi sumber daya manusia unggul karena anak kehilangan kesempatan mengembangkan diri melalui pendidikan di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar