Kekhawatiran dalam waktu dekat bisa meletus perang Amerika Serikat-Iran sedikit mereda. AS memilih mengirimkan pasukan ke Arab Saudi, bukan menyerang Iran.
Opsi itu disampaikan Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Jumat (20/9/2019), merespons serangan atas kilang minyak di Abqaiq dan Khurais, Arab Saudi, pada 14 September lalu. Ia mengungkapkan persetujuan Presiden AS Donald Trump untuk mengirimkan pasukan ke Arab Saudi. Jumlahnya tidak sampai ribuan orang. Tugas utama mereka membantu pertahanan Arab Saudi.
Langkah lainnya ialah mempercepat pengiriman perlengkapan militer ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dalam upaya meningkatkan kemampuan pertahanan kedua negara mitra AS itu. Seperti disampaikan Esper, dengan langkah itu, Trump ingin memberi pesan yang jelas, AS mendukung mitranya di kawasan Timur Tengah.
Dari segi respons militer, opsi itu tergolong lunak, sekaligus menegaskan keengganan Trump terseret dalam perang melawan Iran. Pejabat militer di Pentagon, dalam rapat dengan Trump, Jumat lalu, memaparkan sejumlah opsi militer, termasuk serangan udara ke Iran, serta konsekuensi yang terjadi akibat opsi itu. Trump memilih opsi relatif lunak dibandingkan dengan serangan udara yang akan direspons dengan, menurut Teheran, "perang habis-habisan".
Trump pernah hampir memerintahkan serangan udara ke Iran setelah pesawat nirawak AS ditembak jatuh oleh Iran di Selat Hormuz. Rencana serangan itu dibatalkan Trump hanya beberapa menit sebelum dieksekusi. Jika serangan langsung pada obyek militer AS saja ia enggan merespons dengan serangan militer, tidak mengherankan Trump memilih opsi lunak terkait serangan ke Abqaiq dan Khurais.
Trump ingin menyerahkan bola serangan terhadap Iran —jika hal itu yang diharapkan Riyadh—kepada Arab Saudi. Riyadh yang seharusnya memimpin jika serangan dilakukan, demikian kira-kira pertimbangan Trump. Banyak hal lain dalam kalkulasi Trump, seperti rentannya posisi kapal dan pangkalan militer AS di kawasan Timur Tengah dari serangan Iran dan milisi-milisi pendukungnya yang tersebar di Irak, Lebanon, dan Yaman.
Dalam perspektif lebih luas, pada era Trump—seiring bangkitnya China dan penegasan kembali posisi Rusia—AS tak lagi terlalu fokus pada Timur Tengah. Langkah Trump dalam konflik Suriah juga menggarisbawahi hal itu. Saat ini, tak ada lagi kekhawatiran di Washington soal ketergantungan pada minyak di Timur Tengah pula. Stok minyak mereka kini sangat melimpah.
Setelah AS enggan terseret dalam perang melawan Iran, kini tinggal tergantung pada Arab Saudi, apakah mau mengambil tongkat komando perang itu. Mengingat masih keteteran dalam perang di Yaman, Riyadh mungkin juga enggan, seperti AS. Situasi ini sedikit meredakan kekhawatiran bakal meletusnya perang baru di Timur Tengah, sekaligus menegaskan bahwa diplomasi, dan bukan perang, adalah solusi terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar