Presiden Joko Widodo berubah sikap. Kalau sebelumnya menutup opsi penerbitan perppu untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, kini Presiden mempertimbangkannya.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) merupakan kewenangan Presiden yang diatur dalam konstitusi. Perubahan sikap Presiden Jokowi disampaikan setelah bertemu dengan elemen masyarakat di Istana Negara, Kamis, 26 September 2019. Presiden mengatakan, "Terkait dengan UU KPK yang sudah disahkan DPR, banyak masukan soal penerbitan perppu. Tentu saja ini kami akan hitung, kalkulasi, dan pertimbangkan, khususnya dari sisi politik," kata Presiden Jokowi, yang dikutip Kompas (27/9/2019).
Pengesahan revisi atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menimbulkan gelombang unjuk rasa. Revisi UU KPK merupakan hak inisiatif DPR. Presiden Jokowi menyetujui revisi terbatas. Aspirasi publik tidak didengar. Pemerintah dan partai-partai sepakat untuk merevisi UU KPK dengan menambahkan salah satunya unsur Dewan Pengawas.
Dewan Pengawas akan menjadi kekuatan baru di KPK. Hal itu disebabkan semua langkah hukum KPK, seperti penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan, harus meminta izin tertulis dari KPK. Bahkan, izin tertulis untuk penyadapan baru diberikan Dewan Pengawas setelah ada gelar perkara.
Substansi revisi KPK memang memperlemah KPK. Independensi KPK untuk melakukan tindakan hukum harus mendapat izin dari Dewan Pengawas. Masalah inilah yang kemudian diprotes mahasiswa dan kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Gelombang unjuk rasa mahasiswa di sejumlah daerah akhirnya memakan korban jiwa. Penggunaan kekuatan eksesif terhadap gerakan mahasiswa sangat disayangkan.
Pada satu sisi, Presiden Jokowi telah mendengarkan aspirasi sejumlah elemen masyarakat soal kemungkinan penerbitan perppu. Perubahan sikap Presiden Jokowi yang menolak perppu, kemudian mempertimbangkan perppu, bisa saja memengaruhi persepsi publik terhadap Presiden.
Perppu merupakan hak konstitusional Presiden. Soal kegentingan memaksa yang menjadi prasyarat, adalah tafsir subyektif Presiden. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah menerbitkan perppu saat DPR menyetujui revisi UU Pemilihan Kepala Daerah yang mengubah pemilihan langsung menjadi pemilihan melalui DPR pada September 2014.
Kita mendorong Presiden Jokowi berbicara dengan pimpinan partai politik soal situasi politik belakangan. Kesepahaman harus dibangun antara Presiden dan pimpinan partai politik. Kesepahaman itu penting karena perppu harus dibawa ke DPR. DPR bisa menolak, bisa menerima perppu.
Persoalannya juga tidak hanya diterbitkan atau tidak diterbitkannya perppu, tetapi substansi dari perppu itu. Waktu pengajuan perppu juga hal lain yang patut dipertimbangkan. Perdebatan soal detail menjadi penting agar bangsa ini tidak terus terjebak dalam kisruh legislasi berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar