Harapan itu muncul jika menyimak pidato pemimpin dua negara yang kini bersitegang, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Iran Hassan Rouhani, dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, AS, pekan ini. Forum tahunan PBB itu menjadi ajang pemimpin, termasuk Trump dan Rouhani, menyampaikan pandangan masing-masing terkait perkembangan terkini serta sikap dan kebijakan luar negeri negara masing-masing.
Dalam pidatonya pada hari pertama sesi debat Majelis Umum, Selasa (24/9/2019), Trump masih melontarkan kecaman keras kepada Iran. Ia mengajak negara lain untuk bersama menekan Teheran. Namun, saat menutup kecamannya kepada Iran, ia berkata, "AS siap menjalin persahabatan dengan semua pihak yang benar-benar mencari perdamaian dan respek. AS tidak pernah percaya ada musuh permanen."
Sehari berikutnya, Rouhani mendapat giliran berpidato di podium yang sama. Ia juga mengecam AS, terutama sanksi negara itu terhadap Iran. Namun, senada dengan Trump, ia juga membuka ruang diplomasi dalam menyelesaikan konflik dengan AS. "Marilah kita kembali pada keadilan, perdamaian, hukum, komitmen, dan janji, dan akhirnya ke meja perundingan," demikian Rouhani menutup pidatonya.
Seperti dikutip harian ini, Jumat (27/9/2019), Rouhani juga menawarkan solusi guna mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan. Ia mengajak negara-negara mitra, yang memiliki kepentingan di Teluk Persia dan Selat Hormuz, membangun koalisi untuk memastikan keamanan energi, kebebasan navigasi, pengangkutan minyak, dan sumber daya lainnya.
Dari sisi positif pidato Trump dan Rouhani, ada harapan menyelesaikan ketegangan di Teluk Persia melalui diplomasi. Opsi ini telah dijajaki melalui mediasi Perancis. Namun, ada ganjalan besar yang menghalangi. Iran, seperti diungkapkan Rouhani, melihat penghalang itu adalah sanksi AS. Teheran bersedia berunding lagi, termasuk membahas ulang kesepakatan nuklir 2015 yang dipersoalkan AS dan belakangan didukung mitra Eropanya, Inggris, Jerman, dan Perancis.
Merunut ke belakang, ketegangan ini bermula dari keluarnya AS secara unilateral dari kesepakatan nuklir Iran— ditandatangani pada era Presiden Barack Obama—dan, sebagai konsekuensinya, menjatuhkan kembali sanksi kepada Teheran. Washington—pada era Trump—mempersoalkan isi kesepakatan yang tak mengatur program rudal dan isu lain terkait keamanan kawasan. Atmosfer permusuhan Iran-AS diperuncing antara lain oleh serangan pada beberapa tanker dan kilang minyak di Arab Saudi—yang sampai kini belum diketahui pelakunya—dan insiden-insiden lain ikutannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar