REUTERS/AMMAR AWAD

Poster bergambar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terpampang di sebuah gedung di Jerusalem, Minggu (7/4/2019). Israel baru saja menggelar pemilu. Perubahan konstelasi politik Israel bisa menempatkan blok Arab sebagai oposisi jika partai Biru-Putih dan partai Likud berkoalisi membentuk pemerintahan persatuan nasional.

Di luar dugaan, aliansi partai Arab mencatat hasil menggembirakan di pemilu Israel. Mereka bisa jadi oposisi yang mendorong solusi dua negara dalam isu Palestina.

Berdasarkan penghitungan sementara hasil pemilu, Selasa (17/9/2019), empat partai utama Arab yang tergabung dalam aliansi Joint List diperkirakan memperoleh 12 dari 120 kursi di Knesset (parlemen Israel). Dari perolehan kursi, mereka berada di posisi ketiga di bawah partai Biru-Putih dan partai Likud pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Perolehan aliansi partai Arab itu sama atau hampir sama dengan perolehan di pemilu 2015 (13 kursi). Namun, perubahan konstelasi politik Israel bisa menempatkan blok Arab sebagai oposisi jika partai Biru-Putih dan partai Likud berkoalisi membentuk pemerintahan persatuan nasional.

Seperti dilaporkan harian ini, Kamis (19/9), penghitungan sementara memperlihatkan koalisi partai Biru-Putih dan partai Likud sama-sama tidak mencapai kursi mayoritas (minimal 61 kursi). Perolehan kursi masing-masing dari kedua blok itu diperkirakan mentok pada 55 atau 56 kursi karena keluarnya partai Yisrael Beiteinu (9 kursi) pimpinan mantan Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman dari koalisi Likud.

Dalam konstelasi seperti itu, Lieberman memegang kendali dan menentukan arah pembentukan pemerintahan baru di Israel, apa pun skenario yang muncul. Ia bisa berayun ke kanan bersama koalisi Likud atau bergerak ke tengah-kiri bersama koalisi Biru-Putih atau juga menyatukan dua koalisi besar itu. Ini sebabnya Lieberman dijuluki kingmaker.

Lalu, bagaimana dengan posisi blok partai Arab, Joint List? Aliansi partai-partai Arab yang memiliki platform beragam— mulai dari Islamis, nasionalis sekuler, hingga komunis—berbasis dukungan sekitar 1,8 juta warga Arab Palestina atau 20 persen dari penduduk Israel. Mereka adalah warga Palestina atau keturunannya yang bertahan di tanah mereka saat eksodus pengungsian pasca-terbentuknya negara Israel 1948.

Mereka mendapat status kewarganegaraan penuh, termasuk hak memilih, tetapi hidup dalam atmosfer diskriminatif. Mereka kerap dipandang sebagai ancaman keamanan. Netanyahu melabeli mereka teroris dan pengkhianat.

Namun, pandangan negatif penuh kebencian itu menjadi energi yang mendorong banyak warga Arab menggunakan suara di pemilu. Angka partisipasi di banyak kota warga Arab melonjak 10 persen dibandingkan pemilu April lalu. Hasilnya, perolehan kursi pun naik, dari 10 kursi pada pemilu April menjadi sekitar 12 kursi. Perolehan ini bisa menjadi bekal penting Joint List menjadi kekuatan oposisi di parlemen.