Indonesia di persimpangan jalan. Apakah Indonesia akan bisa berlari cepat, apakah Indonesia bisa menjadi negara kaya sebelum menjadi tua? Ataukah kita akan jalan di tempat, terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap)? Tidak mudah mengenali jalan yang tepat yang bisa membawa kita mendekat pada tujuan. Tantangan pembangunan di Indonesia semakin kompleks: urbanisasi, disrupsi teknologi, ketimpangan, hoaks, ketidakpastian situasi global, dan lainnya.
Dengan kompleksitas setinggi ini, Indonesia membutuhkan penentuan kebijakan berdasarkan bukti, bukan berdasarkan persepsi, intuisi, apalagi kolusi. Solusinya sering kali tak kasatmata. Kita butuh informasi terkini mengenai konteks dan akar permasalahannya. Intinya kita butuh data yang mencerdaskan bangsa. Data memang bisa mencerdaskan bangsa. Namun, ada prasyaratnya. Data yang tepat digunakan untuk menjawab permasalahan yang tepat, oleh orang-orang dengan keterampilan yang tepat.
Data yang tepat seperti apa? Indonesia adalah negara yang tergolong kaya data. Banyak data telah dikumpulkan, baik oleh BPS maupun organisasi lain. Dengan lebih dari 200 juta sekian simcard, Indonesia adalah republik media sosial, dengan berjuta data tentang kita. Namun, data itu belum mencerdaskan bangsa. Kualitas analisis perumusan kebijakan sangat bergantung kuantitas dan kualitas data yang tersedia.
Dengan kompleksitas setinggi ini, Indonesia membutuhkan penentuan kebijakan berdasarkan bukti, bukan berdasarkan persepsi, intuisi, apalagi kolusi.
Ada empat faktor penting. Faktor pertama, relevansi antara data dan tujuan penggunaan. Data yang diperlukan berbeda untuk tujuan berbeda sehingga butuh direncanakan dengan baik. Data untuk diagnostik permasalahan kemiskinan berbeda dengan data untuk targeting, menentukan siapa yang patut menerima bantuan, juga berbeda dengan data untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan berbagai program kemiskinan.
Faktor kedua, ketepatan waktu. Tantangannya memastikan data dapat menggambarkan situasi terkini. Kadang kala proses kesiapan data memakan waktu lama sehingga ketika disuguhkan sudah tak hangat lagi. Dibutuhkan keterpaduan data dari berbagai sumber melalui survei, real time data capture, media tracking, dan data administrasi yang dikumpulkan berbagai institusi.
Faktor ketiga, reliabilitas data. Dan ini sangat bergantung jumlah sampel yang dibutuhkan agar presisi bisa dijaga serta memastikan sampling framework-nya valid sehingga kesimpulan yang diambil memang dapat memberikan gambaran akurat tentang target populasi.
Faktor keempat, akses data. Data hanya berguna jika digunakan. Sayangnya akses data masih menjadi kendala. Tak semua universitas, peneliti, perusahaan, atau lembaga yang menganalisis data bisa mengaksesnya, karena akses dibatasi oleh biaya atau penghalang lain. Ini menjadi kendala besar.
Pada saat data jadi the new currency, dominasi platform besar bisa menyebabkan winner takes all phenomena dan bisa menimbulkan barrier to entry. Kita bersyukur punya empat unicorn, tetapi kita butuh iklim yang menumbuhkan semua. Tantangan Indonesia terlalu kompleks, untuk itu dibutuhkan urun pikiran, urun tenaga dari banyak anak bangsa, bukan hanya yang kebetulan bekerja di segelintir perusahaan raksasa.
Pada saat data jadi the new currency, dominasi platform besar bisa menyebabkan winner takes all phenomena dan bisa menimbulkan barrier to entry.
Solusinya hanya satu. Pemerintah harus mendorong keterbukaan dan akses data baik data yang dikumpulkan BPS, lembaga negara, maupun platform besar untuk menjawab persoalan-persoalan pelik yang dihadapi Indonesia. Pemerintah butuh memastikan tak ada barrier to entry (hambatan akses) dalam bersama membangun negeri. Data yang tepat saja tak cukup. Butuh digunakan untuk mengatasi masalah yang tepat.
Data yang dihasilkan di Indonesia harus bisa dimanfaatkan untuk Indonesia, untuk kemaslahatan bersama, mengatasi permasalahan-permasalahan pelik bangsa seperti ketimpangan, gizi pendek (stunting), pengangguran pemuda. Penggunaan data jauh dari optimal jika digunakan semata untuk alat marketing mendorong konsumen untuk mau membeli yang ditawarkan. Namun, data yang tepat dan digunakan untuk mengatasi masalah yang tepat membutuhkan pengguna data yang memiliki keterampilan yang tepat. Keterampilan seperti apa yang dibutuhkan? Yang dibutuhkan keterampilan end to end, bukan hanya keterampilan kelas dewa seperti deep learning, melainkan juga literasi digital dan critical thinking.
Bukan hanya Indonesia, dunia butuh lebih banyak ahli matematika, data scientist, statistisi, ahli ekonometri yang menjadikan data bisa bercerita dan bisa menawarkan solusi jitu. Namun, tentu saja tujuan ke depan bukan menjadikan semua orang menjadi data scientist. Yang tak kalah penting adalah literasi digital.
Data yang dihasilkan di Indonesia harus bisa dimanfaatkan untuk Indonesia, untuk kemaslahatan bersama, mengatasi permasalahan-permasalahan pelik bangsa seperti ketimpangan, gizi pendek (stunting), pengangguran pemuda.
Literasi digital bukan hanya kemampuan menggunakan teknologi digital, melainkan juga kemampuan untuk menelaah dan membedakan informasi, yang mana yang sampah, yang mana yang bisa membawa berkah. Tak tenggelam dalam lautan informasi tanpa pegangan.
Menyiapkan keterampilan ini butuh pendekatan yang komprehensif dengan fokus bukan hanya pada universitas, melainkan juga pendidikan anak usia dini (PAUD), bukan hanya pada pendidikan formal, melainkan juga nonformal, bukan hanya pada anak muda, melainkan juga memberikan kesempatan kedua peningkatan keahlian bagi siapa saja.
Studi pemenang hadiah Nobel, James Heckman, menunjukkan return to education satu tahun di PAUD lebih tinggi dibandingkan return to education satu tahun di universitas. Di Jamaika bahkan ditengarai, anak yang mengenyam PAUD punya penghasilan di masa depannya 25 persen lebih tinggi dibandingkan jika dia tidak pernah duduk di bangku PAUD. Tentu saja peranan universitas tetap penting. Universitas bisa jadi inkubator untuk inovator. Suksesnya Silicon Valley, Bangalore tak terlepas dari peranan universitas di sekitarnya. Tantangannya memastikan universitas sigap dan luwes dalam mentransformasi diri merespons perubahan zaman.
Universitas bisa jadi inkubator untuk inovator. Suksesnya Silicon Valley, Bangalore tak terlepas dari peranan universitas di sekitarnya.
Fondasi yang tak kalah penting memberikan kesempatan kedua kepada siapa pun, umur berapa pun untuk mentransformasi diri. Untuk ini semua, revolusi mental terpenting adalah jadi pembelajar sepanjang hayat. Mencari ilmu mestinya dari buaian hingga liang lahat.
Untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat harus siap. Siap mengenali diri tentang bagaimana cara paling tepat untuk merayu diri sendiri agar tetap terus semangat untuk menjadi pembelajar. Menurut Sir Ken Robinson, yang perlu dilakukan adalah mencari irisan antara apa yang kita bisa, apa yang menyalakan semangat di dada, apa yang berdampak baik untuk orang banyak.
\Di era digital kita punya lebih banyak kesempatan dan lebih banyak tantangan dalam belajar. Hampir-hampir tidak ada yang menjadi penghalang akses kita untuk mempelajari berbagai ilmu. Modal utama yang harus kita miliki adalah tekun, telaten, teliti untuk terus menimba. Mari bersama menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar