Membaca berita tentang Wamena, hati terasa pilu. Ada ribuan warga yang mendaftar evakuasi ke Jayapura. Di pengungsian, sebagian tak ada keluarga dan hidup darurat.
Mereka, sebagian besar warga asal daerah lain, seperti Sumatera Barat, dengan damai memilih hidup di Wamena. Mereka membuka usaha dan disertai dengan perasaan tenang. Apa yang mesti ditakuti, toh mereka masih berada di wilayah Republik Indonesia, rumah bersama yang diandaikan akan memberi ketenteraman dan pengayoman.
Namun, impian tersebut hancur ketika pecah unjuk rasa Senin 23 September 2019 yang berujung rusuh. Tak saja rumah dan fasilitas umum dibakar, kendaraan pribadi dan milik negara, ruko dan tempat usaha pun ikut menjadi korban aksi kerusuhan yang konon dipicu ucapan rasis, tetapi belum ditemukan buktinya.
Kota Wamena yang berada di pegunungan tengah Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, merupakan satu di antara sejumlah kota besar dan ternama di Papua. Melihat prospek ekonomi yang berkembang, sejumlah warga dari berbagai latar belakang etnik datang ke sana mengadu nasib, hal yang kita apresiasi dalam konteks mengembangkan rasa kebangsaan.
Maka, sungguh satu tragedi yang sangat besar manakala kerusuhan Senin minggu lalu pecah. Dari temuan investigasinya, Komnas HAM mengungkapkan terjadi kejahatan kemanusiaan dalam rusuh di Wamena (Kompas, 28/9/2019). Warga sipil, tenaga kemanusiaan seperti dokter, dan anak-anak diserang dan dilukai hingga tewas.
Sungguh kejadian yang amat memprihatinkan. Dalam soal ini, Presiden Joko Widodo menegaskan, jangan menggeser kerusuhan di Wamena menjadi konflik etnik. Sebagaimana kita baca, ada kelompok kriminal bersenjata ambil bagian dalam kerusuhan.
Kini, saat ribuan warga menunggu giliran diangkut oleh pesawat Hercules TNI AU ke Jayapura, kita bisa membayangkan di satu sisi perpisahan dengan Wamena dan di lain sisi kondisi pengungsian yang penuh keterbatasan dan kehidupan hari esok yang belum jelas.
Kita hargai TNI AU yang menyediakan Gedung Serbaguna Megantara di Jayapura untuk menjadi tempat penampungan bagi pengungsi, juga Kodim 1702 dan Polres Jayawijaya yang menyediakan markas untuk pengungsi, demikian pula sejumlah gereja.
Namun, adanya sinyal jelas dari pemerintah pusat untuk penanganan selanjutnya sangat ditunggu. Haruslah seiring antara pembangunan kembali fasilitas layanan publik, pasar, dan toko untuk pemulihan ekonomi, dan pemulihan rasa tenteram dan ketertiban bagi warga.
Peristiwa rusuh di Wamena menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur dan sisi ekonomi belum cukup untuk menciptakan kedamaian di Papua. Seri lawatan Presiden Joko Widodo ke Wamena dan kota-kota lain di Papua belum juga berhasil memenangi hati dan pikiran rakyat Papua. Ini berarti masih ada hal lain yang hingga kini belum berhasil disentuh oleh Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar