Merebaknya wacana tentang kemungkinan meletusnya perang Amerika Serikat (AS) dengan Iran pasca-tewasnya Qassem Soleimani dan Abu Mahdi al-Mohandis oleh serangan rudal dari pesawat tanpa awak (drone) AS pada Jumat (3/1/2020) mengingatkan kembali wawancara harian Kompas dengan Duta Besar RI untuk Iran Dian Wirengjurit seusai shalat Jumat di masjid KBRI Teheran pada Juni 2013.
Saat itu, harian Kompas mengunjungi Teheran untuk meliput pemilu presiden Iran yang dimenangkan Presiden Iran sekarang, Hassan Rouhani. Di sela meliput pemilu presiden itu, harian Kompasmenyempatkan diri menunaikan shalat Jumat di masjid KBRI Teheran dan bertemu sekaligus wawancara dengan Dubes RI untuk Iran Dian Wirengjurit.
Masjid KBRI Teheran saat itu dipenuhi jemaah shalat, bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga negara lain yang warganya menganut mazhab Sunni, seperti Malaysia.
Keberadaan Masjid KBRI Teheran tersebut memberi pesan tentang keinginan warga Sunni di Teheran yang lebih memilih menyelenggarakan shalat Jumat sendiri karena adanya perbedaan pelaksanaan shalat Jumat antara mazhab Sunni dan Syiah.
Seusai shalat Jumat, Kompas langsung menemui Dubes Wirengjurit. Di luar dugaan, Dubes RI untuk Iran itu membuka pembicaraan dengan menyinggung kasus pengikut Syiah di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.
Kasus kaum Syiah di Sampang adalah kasus penyerangan terhadap kaum Syiah di sebuah desa di Kabupaten Sampang, Madura, pada Agustus 2012. Ia mengungkapkan, telah beberapa kali dipanggil Kementerian Luar Negeri Iran yang menyampaikan protes terhadap kasus pengikut Syiah di Kabupaten Sampang itu.
Dubes Wirengjurit juga menyampaikan, Pemerintah Iran sangat menaruh perhatian terhadap kasus pengikut Syiah di Kabupaten Sampang dan mengetahui kasus tersebut sangat detail sehingga Pemerintah Indonesia tidak bisa menutup-nutupi kasusnya.
Dari perbincangan Kompas dengan Dubes Wirengjurit tersebut, bisa diketahui visi dan ideologi negara Iran pascarevolusi tahun 1979. Negara Iran setelah revolusi 1979 yang berpijak pada ideologi agama, persisnya mazhab Syiah, mengusung misi dan visi melindungi kaum minoritas Syiah di seluruh dunia.
Iran yang menjadi satu-satunya negara Syiah di muka bumi ini dan sekaligus induk kaum Syiah di seluruh dunia merasa memikul kewajiban dan tanggung jawab atas keselamatan kaum Syiah di seluruh dunia.
Maka, tidak heran, dalam upaya menjalankan misi dan visi tersebut secara efektif, Pemerintah Iran membentuk Brigade al-Quds. Tugasnya, melindungi kaum Syiah di seluruh dunia sekaligus mengembangkan pengaruh Iran di mancanegara, terutama negara yang terdapat penganut Syiah.
Brigade al-Quds masuk dalam organisasi Garda Revolusi Iran yang dibentuk setelah kemenangan revolusi Iran tahun 1979. Misinya, menjaga dan mempertahankan revolusi yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini dari kemungkinan kudeta oleh militer reguler Iran.
Mengingat misi khusus dan berat Brigade al-Quds, brigade tersebut masuk kategori unit elite dalam Garda Revolusi Iran. Anggota Brigade al-Quds direkrut dari anggota pilihan Garda Revolusi Iran.
Anggota Brigade al-Quds yang diperkirakan hanya 3.000-5.000 personel tidak hanya mendapat latihan kemiliteran, tetapi juga keintelijenan. Adapun anggota Garda Revolusi Iran disinyalir mencapai 150.000 personel.
Dengan demikian, misi Brigade Al-Quds selain militer juga intelijen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran menempatkan kader-kader intelijen Brigade al-Quds di kantor-kantor Kedutaan Besar Iran di seluruh dunia.
Maka, tidak heran jika Pemerintah Iran, seperti yang dituturkan Dubes Wirengjurit, dapat mengetahui secara detail kasus kaum Syiah di kabupaten Sampang.
Tentu saja informasi tentang kasus kaum Syiah di Kabupaten Sampang tersebut dipasok dari jaringan intelijen Brigade al-Quds yang ditempatkan di kantor Kedubes Iran di Jakarta atau menyusup sendiri ke Kabupaten Sampang.
Jika kasus kaum Syiah di Kabupaten Sampang yang skalanya kecil saja mendapat perhatian besar dan diketahui secara detail oleh Pemerintah Iran, apalagi nasib kaum Syiah di Timur Tengah, seperti di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Afghanistan, yang jumlahnya cukup besar dan memiliki kekuatan politik dan militer. Bahkan, kaum Syiah kini berkuasa di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Sudah rahasia umum pula kalau Brigade al-Quds memasok senjata ke Hezbollah di Lebanon, faksi-faksi Syiah di Irak dan Suriah, kelompok Al-Houthi di Yaman, serta kaum minoritas Syiah Hazara di Afghanistan.
Maka, tidak berlebihan jika elite penguasa dan rakyat Iran menganggap bangkitnya kaum Syiah di Timur Tengah tak terlepas dari jasa dan pengaruh revolusi Iran tahun 1979.
Lebih khusus lagi berkat jasa Brigade al-Quds yang mengemban misi revolusi Iran tahun 1979, yakni perlindungan kaum Syiah di mancanegara dan pengembangan pengaruh Iran di seluruh dunia.
Dengan konteks latar belakang itu, tentu saja figur Mayjen Qassem Soleimani yang merupakan komandan legendaris Brigade al-Quds dari tahun 1998-2020 menjadi pujaan rakyat Iran.
Posisi Soleimani sudah dianggap orang kuat kedua setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. Posisi khusus Soleimani di mata rakyat Iran tecermin dari prosesi pemakamannya di Kota Kerman, Selasa lalu.
Pemakaman itu dihadiri jutaan orang yang berdesak-desakan hingga menimbulkan 50 korban meninggal dunia. Akibat membeludaknya peziarah, pemakaman Soleimani diputuskan ditunda.
Membanjirnya manusia yang menghadiri prosesi pemakaman Soleimani itu dilukiskan setara dengan membeludaknya manusia ketika prosesi pemakaman Pemimpin Revolusi Iran, Ayatollah Imam Khomeini.
Wajar jika kemudian Iran bersumpah akan melancarkan aksi balas dendam atas tewasnya Soleimani karena hal ini sudah menyangkut harga diri rakyat dan negara Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar