Pembunuhan terhadap Komandan Pasukan al-Quds, Korps Garda Revolusi Republik Iran, Jenderal Qassem Soleimani, memunculkan rentetan dampak. Ketegangan antara AS, pembunuh Soleimani, dan Iran tidak berhenti dengan penembakan rudal oleh Iran terhadap pangkalan militer AS di Irak: Pangkalan Udara Ain al-Assad di Provinsi Anbar, Irak barat, dan di Erbil, ibu kota semi-otonomi Kurdistan.
Akan tetapi, melebar ke mana-mana. Iran bertekad untuk mengusir kehadiran kekuatan AS, tidak hanya di Irak (yang sudah disepakati oleh Parlemen Irak meskipun tidak mengikat), tetapi juga di seluruh kawasan Timur Tengah. Meskipun hal tersebut memang tidak mudah. Namun, tekad Iran tersebut menunjukkan bahwa ada dendam dan rasa kebencian yang sangat dalam di hati Iran terhadap AS.
Belakangan ini, bahkan, Iran juga menyatakan akan membuat perhitungan terhadap negara-negara Uni Eropa (Perancis, Inggris, dan Jerman) yang dianggap membebek saja terhadap kemauan AS. Upaya Jerman, Perancis, dan Inggris untuk mempertahankan Perjanjian Nuklir Iran, setelah ditinggal oleh AS, hingga kini tidak membuahkan hasil.
Kebanyakan perusahaan Eropa tunduk kepada sanksi yang dijatuhkan Donald Trump terhadap Iran karena khawatir akan mendapat kesulitan berbisnis di AS. Sekalipun Pemerintah Jerman dan Perancis berulang kali menegaskan, perusahaan-perusahaan tetap bisa berinvestasi di Iran dan tidak perlu khawatir dengan sanksi AS. Namun, siapa yang bisa menjamin itu?
Karena Iran tidak melihat keuntungan apa-apa dari prakarsa Eropa, Iran mulai menjauhkan diri dari Perjanjian Nuklir. Sekarang, setelah serangan AS terhadap Qassem Soleimani, Iran bahkan menyatakan sudah "tidak terikat lagi" dengan perjanjian yang dicapai dengan susah payah pada tahun 2015 itu.
Alhasil, peta konflik di Timur Tengah kini menjadi semakin rumit. Ada konflik AS versus Iran; Arab Saudi dan monarki Sunni lainnya di kawasan Teluk; Israel dan Lebanon yang dipengaruhi Iran; dan meningkatnya pengaruh Rusia di Suriah. Selain itu, ditambah dengan usaha Turki untuk mempertegas pengaruh dan kehadirannya di kawasan itu.
Di sisi lain, ada kekuatan luar yang tidak terlalu terlibat, tetapi mungkin paling layak diperhatikan, yaitu China. China memiliki kepentingan ekonomi, diplomatik, dan strategis yang terus berkembang di Timur Tengah. Memang, China tidak terluput dari eskalasi ketegangan di kawasan itu. Akan tetapi, China dapat muncul sebagai penerima manfaat jangka panjang utama.
Naga waspada
Studi yang dilakukan oleh RAND Corporation (Andrew Scobell dan Alireza Nader, 2016) menunjukkan bahwa China semakin aktif di Timur Tengah. Apalagi setelah AS di bawah Donald Trump menyatakan mulai menurunkan komitmennya terhadap kawasan itu, kecuali terhadap Israel.
Menurut studi itu, China mengadopsi strategi "naga waspada" terhadap Timur Tengah, di mana China enggan menggunakan sumber daya diplomatik atau militer yang substansial untuk melindungi energi yang tumbuh dan kepentingan ekonomi lainnya. Dengan strategi itu, China berusaha untuk tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan AS.
Dengan menerapkan strategi "naga waspada", China menunjukkan kewaspadaan dalam keterlibatannya dengan Timur Tengah. Mereka berupaya melindungi kepentingannya yang terus berkembang dengan tidak memihak pada konflik dan kontroversi; termasuk dalam konflik antara AS dan Iran dewasa ini atau antara Arab Saudi dan Iran. Beijing menekankan untuk terus menjaga hubungan bisnis yang ramah dan hubungan diplomatik serta keamanan yang pragmatis.
Studi yang dilakukan RAND Corporation itu mengungkapkan bahwa China memiliki empat kepentingan di Timur Tengah. Pertama, keamanan energi dan pertaruhan ekonomi menjadi kepentingan tertinggi China. Kedua, China berupaya menyeimbangkan pengaruh AS di Timur Tengah, tetapi tidak secara aktif menentang AS. Ini berarti China mempertimbangkan dan peduli pada postur geostrategisnya di Timur Tengah.
Ketiga, ingin memastikan ketenangan dalam negeri, yang melibatkan peredaman kritik masyarakat internasional terhadap kebijakan China, terutama yang berkaitan dengan Muslim China dan kaum Uighur Xinjiang. Keempat, China bertujuan untuk meningkatkan status kekuatan besarnya di kawasan.
Dalam hal kepentingan energi, misalnya, kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan minyak China. Perkembangan ekonomi China yang demikian pesat sejak tahun 1990-an hingga 2000-an ini meningkatkan kebutuhan minyak dari Timur Tengah, termasuk dari Iran.
Pada 2015 China menjadi importir global minyak mentah terbesar, dengan hampir setengah dari pasokannya berasal dari Timur Tengah. Sekitar 20 tahun silam, China hanyalah, katakanlah, pemain pinggiran di Timur Tengah. Namun, sejak 2010, perekonomian China tumbuh demikian dahsyat dan menjadi kekuatan ekonomi dunia.
Pada tahun 2000 PDB China 1,2 triliun dollar AS dan pada 2010 telah naik lima kali lipat menjadi 6,1 triliun dollar AS. Seiring dengan pertumbuhannya, China juga menjadi pendorong utama pertumbuhan permintaan minyak di seluruh dunia. Pada tahun 2000 China mengimpor minyak mentah senilai 13,7 miliar dollar AS; pada 2010 jumlah itu meningkat menjadi 127 miliar dollar AS (Jon B Alterman, 2019, CSIS).
Ketegangan antara AS dan Iran menguntungkan China, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Apalagi dengan mulai memanasnya hubungan antara Iran dan Uni Eropa serta kurang "bersatu-katanya" antara AS dan Uni Eropa tentang sanksi terhadap Iran. Aliansi Barat yang retak jauh lebih sedikit mengancam China daripada yang bersatu.
Ketegangan antara AS (plus Uni Eropa) dan Iran, yang ditingkatkan oleh kasus pembunuhan terhadap Qassem Soleimani, semakin membuka peluang dalam banyak hal bagi China. China melihat peluang luar biasa di Iran, dengan lokasi geografis utama, populasi berpendidikan dan berjumlah besar, serta ekonomi yang relatif beragam. China menghadapi sedikit persaingan berinvestasi di Iran.
Sementara itu, Iran sejauh ini adalah pihak yang lebih lemah dalam hubungan bilateral ini. China mewakili lebih dari 30 persen pasar impor dan ekspor Iran, tetapi Iran mewakili kurang dari 1 persen dari pasar ekspor dan impor China. Iran jelas membutuhkan China, tetapi China memiliki alternatif selain Iran.
Pendek kata, ada pertemuan kepentingan di antara kedua negara. Iran selalu memandang China sebagai teman baik di dunia. China adalah "mitra strategis" yang paling penting (belum tentu sekutu strategis) Iran. China tidak hanya dapat memperkuat ekonomi Iran dan kemampuan pertahanan, tetapi juga kepentingan Iran dalam arena internasional juga. Secara keseluruhan, China bagi Iran tidak hanya dipandang sebagai kekuatan besar pemasok senjata ke Teheran, tetapi juga negara Asia yang independen dan berkembang dalam tatanan dunia baru (Masoud Rezaei, 2015).
Pendekatan China terhadap Timur Tengah (termasuk Iran), setidaknya untuk saat ini, murni bersifat transaksional. Beijing siap menyediakan uang, baik untuk pembelian minyak maupun proyek investasi dan infrastruktur. Sebagai imbalannya, mereka memperoleh pasokan energi yang dibutuhkan serta kehadiran yang lebih besar di wilayah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar