Akhir pekan lalu, saat mengikuti lawatan ke Maroko bersama Trafalgar Fam Morroco 2020, senang sekali bisa berada di Marrakech, salah satu kota tertua di negara itu yang sarat jejak sejarah panjang dinamika masyarakat setempat. Kompleks kota tua atau medina di Marakech ini masih cukup terjaga kelestariannya. Ikon utama medina di antaranya adalah alun-alun Jemaa el-Fnaa yang dikelilingi pasar-pasar tradisional atau souk.
Jemaa el-Fnaa luas terbuka dengan lantai didominasi tegel keramik yang sebagian diantaranya berusia setua alun-alun itu sendiri. Saat tengah terkesima dengan pertunjukan tarian ular kobra bersama pawang dengan seruling khasnya di tengah alun-alun, sebuah pesan menyeruak masuk di telepon genggam dan mengusik keceriaan hari itu.
Pesan disertai gambar itu menunjukkan seseorang membawa selembar poster di depannya. Isi poster kira-kira begini, "kalau mau menuntut mundur pemimpin di kotaku, nanti presidenmu pun bisa kuturunkan". Ada juga gambar lain berisi pesan kurang lebih, "kalau tidak suka dengan pemimpin pilihanku, pindah saja ke kota lain". Hmmm….dahi berkerut. Pikiran melayang ke Jakarta dan sekitarnya, yang di awal Januari ini memang tengah menanggung dampak paska banjir.
Ibu Kota dan sekitarnya yang dilanda banjir di hari pertama tahun ini, sampai sekarang dua pekan lebih setelahnya masih belum pulih benar. Terlebih hujan deras masih menyambangi, seperti pada Sabtu (18/1/2020) dini hari. Genangan pun dilaporkan kembali muncul sepanjang Sabtu kemarin di sejumlah lokasi di Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya.
Banjir yang sempat melumpuhkan sebagian Jakarta dan kota-kota tetangga di awal bulan ini ditanggapi beragam. Sebagian warga metropolitan menyalahkan pemerintah, baik DKI, kota setempat, dan pusat yang dianggap tak mempersiapkan antisipasi bencana dengan baik serta penanggulangan setelah kejadian pun dinilai masih gagap. Padahal, banjir sudah jadi ancaman rutin, bahkan sejak sebelum Belanda menguasai dan membangun Batavia.
Saling menyalahkan, mencaci, upaya menuntut pemerintah ke pengadilan sampai unjuk rasa dilakukan sebagian warga. Anehnya, ada pihak yang sebenarnya sama-sama sebagai korban banjir, baik langsung maupun tidak langsung, lebih suka membawa debat soal bencana banjir ke ranah politik. Diskusi dan debat tak pantas, jauh dari menguntungkan apalagi solusi atasi dampak banjir cukup panas terjadi di media sosial maupun di media massa konvensional.
Mencermati hal itu, rasanya sama-sama perlu kembali mengingat kalau kota itu bukan milik pribadi atau golongan tertentu saja. Sejak beribu tahun silam, kota-kota di dunia muncul didukung oleh masyarakat yang lebih majemuk ketimbang desa. Hanya saja kadang karena berbeda pendapat atau sebab lain, ada saja pihak tertentu suka memandang kelompok lain lebih rendah atau bahkan tak pantas berbagi ruang di kota yang sama.
Lamunan tentang Jakarta terhenti ketika seorang perempuan dari suku Berber dengan tato khas di dagu dan di dahi berteriak sambil mengacungkan tangan menawarkan layanan tato henna.
Berber adalah suku asli Maroko. Meski demikian, penuturan Mohammed, pemandu wisata lokal yang juga keturunan Berber, suku mereka itu begitu beragam. Ada yang berkulit lebih terang atau putih, lebih gelap atau hitam seperti sebagian besar orang Afrika, juga ada yang coklat layaknya orang Arab. Ini bisa terjadi karena setelah berabad-abad hidup mereka dipengaruhi Romawi, Persia, bangsa Arab, juga beberapa kali dijajah Perancis, Portugis, dan Spanyol, tentu banyak terjadi percampuran.
Konflik tentu pernah dan selalu akan ada di tengah kota-kota di Negeri Maghribia yang dihuni beragam orang berbeda. Meskipun demikian Maroko cukup dikenal sebagai negara yang toleran. Orang Yahudi hidup damai di negara ini sejak lama. Lebih dari 100 tahun lalu, seorang kulit hitam keturunan budak bernama Ahmed ben Moussa bisa menjadi penguasa Maroko dan tinggal di Istana Bahia di Marrakech. Suku Berber sendiri, kata Mohammed, selalu ada di sana dan mengatakan bangga sebagai orang Maroko meskipun masih saja ada yang salah tangkap dan menyebut mereka barbar atau tak berbudaya atau berbudaya lebih rendah dari kelompok lain.
Mohammed mengatakan, sebagai orang Berber dia tahu ada budaya sukunya yang berbeda dengan yang suku atau kelompok masyarakat lain. Sistem kepercayaannya pun, meskipun menganut agama yang sama, bisa berbeda dengan suku lain. Namun, selalu ada irisan budaya yang sama karena mereka telah lama hidup bersama saling pengaruh memengaruhi. Hal-hal seperti ini yang menelurkan kebudayaan Maroko yang tak lekang dimakan jaman selama beratus tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar