UNESCO saat memperingati Hari Anti-Impunitas untuk Kekerasan terhadap Wartawan, November 2019, memaparkan fakta meningkatnya intensitas kekerasan terhadap wartawan.
Secara kuantitatif, aksi kekerasan terhadap wartawan naik 18 persen di sejumlah negara dalam lima tahun terakhir. Persoalan tampaknya kian kompleks di balik kekerasan ini.
Jauh-jauh hari, persoalan ini pernah dikemukakan Nerone (1990), bahwa ada dua kategori besar kekerasan terhadap wartawan: personal assaultdan popular assault. Kedua klasifikasi ini menggambarkan kompleksnya persoalan di balik kekerasan tersebut, baik pada tingkat individual maupun tingkat yang komunal atau bahkan sistemik.
Banyak kasus
Di Indonesia, kita pun tidak pernah kehabisan contoh kasus. Dari data yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 53 kekerasan terhadap para wartawan Indonesia sepanjang 2019. Bentuknya beragam, mulai dari kekerasan fisik, kriminalisasi, hingga intimidasi lisan. Kekerasan tersebut melibatkan banyak pihak, antara lain masyarakat awam, aparat negara, organisasi, bahkan akademisi.
Dari data yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 53 kekerasan terhadap para wartawan Indonesia sepanjang 2019.
Rumitnya modus serta beragamnya pelaku dan pemicu menyisakan fenomena kekerasan terhadap wartawan sebagai puncak gunung es di atas sengkarut berbagai persoalan di negeri ini. Kalau kita cermati, persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dilepaskan dari bangunan konstruksi diskursif tentang identitas profesional wartawan. Konstruksi tersebut terkait dengan sejauh mana keberadaan wartawan dalam kekhasannya sebagai pelaku profesi jurnalistik yang dipahami dan diakui.
Seperti halnya wartawan yang pada umumnya membangun konstruksi tentang identitas profesional mereka di atas pengakuan terhadap orientasi normatif yang seharusnya mereka ikuti (Hanitzsch dan Vos, 2017), demikian pula masyarakat.
Masyarakat akan menyosokkan identitas wartawan di atas wacana normatif yang mereka pahami dan narasi yang mereka kembangkan tentang praktik jurnalistik wartawan. Ada hubungan yang saling memengaruhi antara wacana normatif dan wacana tentang praktik jurnalistik.
Prosedur etik
Secara ideal, konstruksi identitas seorang wartawan dibangun di atas privilese normatif peran dan tanggung jawab yang dimilikinya. Sebagai "penutur kebenaran", misalnya, kinerja wartawan selalu dikaitkan dengan serangkaian prosedur etik menyangkut verifikasi fakta atau bahkan post-hoc fact checking untuk menjamin presisi informasi dan mencegah reportase yang sarat kepentingan.
Prosedur etik jurnalistik ini sekaligus menjadi pembeda normatif bagi identitas profesional wartawan dengan profesi bidang informasi lain.
Persoalan tidak akan muncul ketika wartawan dan masyarakat memahami dan mengakui keberadaan etik jurnalistik yang membangun identitas profesional wartawan. Meski demikian, dalam berbagai kesempatan kita menemukan kecenderungan sebaliknya bahwa prosedur etik jurnalistik ini terlewatkan.
Persoalan tidak akan muncul ketika wartawan dan masyarakat memahami dan mengakui keberadaan etik jurnalistik yang membangun identitas profesional wartawan.
Kecenderungan laten inilah yang kemudian kerap mengawali proses diskursif selanjutnya menuju deprofesionalisasi (Witschge & Nygren, 2009) sebagai persoalan utama dalam konstruksi atas identitas wartawan. Deprofesionalisasi di sini dipahami sebagai memudarnya identitas profesional wartawan akibat hilangnya kepercayaan masyarakat.
Deprofesionalisasi kian kronis manakala pada tingkat wacana tentang kinerja jurnalis muncul berbagai bentuk narasi malapraktik yang diikuti dengan narasi penolakan terhadap wartawan. Pada titik ini, konstruksi atas identitas profesional wartawan menjadi rentan. Bahkan, bukan tidak mungkin keberadaan wartawan dianggap sebagai musuh.
Dalam konstruksi diskursif seperti inilah deprofesionalisasi menjadi pemicu kekerasan terhadap wartawan.
Dalam pengandaian di atas, deprofesionalisasi dengan demikian perlu dibaca sebagai representasi dari persoalan lingkungan sosial bermedia.
Kita dapat mengidentifikasi dua persoalan sebagai lingkungan sosiostruktural dan lingkungan sosiokultural yang perlu diperhatikan.
Belum konsistennya penegakan perangkat perlindungan terhadap wartawan adalah satu contoh dari lingkungan sosiostruktural yang ikut merangsang terulangnya kekerasan terhadap wartawan.
Seperti yang kerap disebut, meskipun prinsip lex generalis dan lex specialiskerap dikumandangkan, kasus pelanggaran kode etik oleh wartawan lebih banyak didekati melalui regulasi yang bersifat umum.
Kian kuatnya pengaruh sudut pandang instrumental dalam proses produksi dan informasi merupakan contoh dari lingkungan sosiokultural yang ikut berpengaruh.
Sudut pandang instrumentatif ini dalam banyak kesempatan kerap mereduksi informasi sekadar untuk memenuhi hasrat ingin tahu. Dalam lingkungan kultural seperti ini sangatlah dipahami ketika kode etik jurnalistik menjadi kian relatif dan fungsi sosial berita sebagai karya jurnalistik kehilangan popularitasnya.
Komisi keselamatan
Kolaborasi sejumlah lembaga pers untuk mendirikan Komisi Keselamatan Jurnalis pada April 2019 adalah langkah strategis untuk mendekati persoalan sosiostruktural yang melingkupi persoalan depersonalisasi di atas.
Sudah cukup banyak usaha, termasuk yang bersifat litigatif, dilakukan komisi ini untuk ikut menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan kerangka kode etik jurnalistik.
Diharapkan usaha memperbaiki lingkungan bermedia dari sisi sosiostruktural diperkuat dengan langkah-langkah nonlitigatif pada wilayah sosiokultural untuk membangun literasi tentang hukum dan kode etik jurnalistik.
Banyak lembaga memiliki posisi strategis tentang literasi publik yang bisa diikutsertakan dalam langkah-langkah kolaborasi ini. Selamat Hari Pers Nasional 9 Februari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar