"Google and Facebook aren't just companies. They're countries. We can't allow them to bully newspapers out of business." Senator John Kennedy, anggota Komite Yudisial Senat Amerika Serikat, menyatakan hal ini pada 3 Juni 2019.
Hari itu, bersama senator Amy Klobuchar, Kennedy mengajukan rancangan The Journalism Competition and Preservation Act kepada Senat Amerika Serikat. Sebuah inisiatif yang relevan untuk industri media di Indonesia saat ini.
Dalam hal apa Google dan Facebook merupakan "negara"? Dalam hal dominasi mereka terhadap tata-kelola internet global, penetrasi bisnis, dan operasi politik yang menembus batas teritorial dan nasionalitas serta besaran skala ekonomi mereka yang menandingi skala ekonomi negara-negara. Dalam hal kemampuan, mereka mampu melakukansurveillance layaknya lembaga intelijen negara serta memengaruhi pengguna internet di seluruh dunia.
Dalam hal kemampuan, mereka mampu melakukansurveillance layaknya lembaga intelijen negara serta memengaruhi pengguna internet di seluruh dunia.
Dalam kerangka inilah, Google dan Facebook tidak bisa lagi dipandang sebagai perusahaan. Mereka adalah perusahaan raksasa dengan cakupan operasional dan rentang pengaruh di luar batas-batas "normal". Maka perlu penyesuaian regulasi untuk mengatasi dampak-dampak yang timbul.
The Journalism Competition and Preservation Act lahir dalam kerangka itu. Lokus pengaturannya adalah distribusi dan monetisasi konten jurnalistik yang melibatkan perusahaan pers di satu sisi serta perusahaan platform mesin-pencari dan media sosial di sisi lain.
David melawan Goliath
Ada beberapa hal penting dalam The Journalism Competition and Preservation Act. Pertama, tentang pentingnya perusahaan pers bernegosiasi kolektif dengan perusahaan platform. Di bawah Undang-Undang Anti-Monopoli Amerika Serikat, perusahaan pers tidak dapat secara kolektif bernegosiasi dengan Google dan Facebook.
Begitu mencoba bernegosiasi secara kolektif, perusahaan pers akan dituduh sebagai kartel. Sementara jika bernegosiasi sendiri-sendiri dengan Google atau Facebook, perusahaan pers umumnya berada dalam posisi tak berdaya. Ibarat David melawan Goliath.
Google, Facebook memang berstatus perusahaan. Namun, mereka memiliki kemampuan finansial, kapasitas teknologi dan jangkauan operasi lebih kuat dibandingkan gabungan perusahaan pers sekalipun. Google dan Facebook adalah pemegang monopoli distribusi konten jurnalistik yang sesungguhnya. Maka, perusahaan pers perlu pengecualian untuk bernegosiasi secara kolektif dengan mereka meskipun hal ini bertentangan dengan UU Anti-Monopoli.
Google, Facebook memang berstatus perusahaan. Namun mereka memiliki kemampuan finansial, kapasitas teknologi dan jangkauan operasi lebih kuat dibanding gabungan perusahaan pers sekalipun.
The Journalism Competition and Preservation Act hendak memberlakukan pengecualian itu selama empat tahun. Negosiasi terutama dimaksudkan untuk melindungi hak-hak penerbit atas pemanfaatan konten jurnalistik. Isu utamanya adalah bagaimana agar penerbit media dan platform digital dapat berbagi konten jurnalistik, pendapatan iklan, dan data-perilaku pengguna secara adil.
Kedua, dominasi sekaligus ambiguitas posisi perusahaan platform terkait dengan distribusi konten jurnalistik yang dihasilkan penerbit media. Dalam satu dekade terakhir, jumlah pembaca berita secara online di Amerika Serikat meningkat 200 persen.
Namun, pendapatan perusahaan media online justru merosot tinggal separuh. Ini terjadi karena beritaonline umumnya dibaca melalui mekanisme akses tidak langsung (indirect access) melalui perantaraan platform mesin pencari atau media sosial, perantara utama distribusi berita. Namun, mereka juga "wasit".
Mereka menentukan bagaimana pembaca dapat mengakses dan berinteraksi dengan berita mediaonline. Perusahaan platform juga secara sepihak menentukan syarat-syarat untuk media online yang menginginkan beritanya muncul dalam daftar pencarian.
Dalam praktiknya, media-media onlinekemudian berkompetisi untuk meraih indeks dan trafik yang diciptakan perusahaan platform. Wasit jadi penentu dalam arena persaingan antarmedia online.
Masalah berikutnya, perusahaan platform bukan hanya menjadi wasit, tetapi juga pemain. Mereka juga berburu trafik, pendapatan iklan dan data-perilaku-pengguna di lahan yang sama. Sebagai wasit sekaligus pemain, perusahaan platform mengendalikan dan menguasai distribusi konten dan iklan.
Sebagai wasit sekaligus pemain, perusahaan platform mengendalikan dan menguasai distribusi konten dan iklan.
Ambiguitas juga terjadi dalam konteks persaingan memperebutkan belanja iklan digital. Perusahaan platform di satu sisi menempatkan diri sebagai rekanan yang secara teknologi memperantarai penerbit untuk meraih iklan dalam skema iklan programatik. Sebagai rekanan, dalam kasus Inggris, perusahaan platform memperoleh hingga 40 persen dari nilai transaksi iklan yang didapat penerbit.
Di sisi lain, perusahaan platform adalah pemain yang menguasai porsi terbesar belanja iklan digital. Ambiguitas sebagai rekanan sekaligus kompetitor membuat perusahaan platform perkasa terhadap penerbit media (The Cairncross Review, 2019).
Ketiga, persoalan ketidakadilan dalam monetisasi konten jurnalistik. Para penerbit berpandangan perusahaan platform telah meraih keuntungan ekonomi dan politis atas konten yang mereka produksi. Konten tersebut umumnya diagregasi dan disebarkan tanpa memperhitungkan isu merek dagang, atribusi produk, hak cipta, dan pembagian keuntungan yang transparan. Perubahan perilaku bermedia masyarakat menghadirkan disrupsi yang menggerogoti daya hidup media konvensional. Pamor media konvensional terus meredup.
Perubahan perilaku bermedia masyarakat menghadirkan disrupsi yang menggerogoti daya hidup media konvensional. Pamor media konvensional terus meredup.
Sebaliknya, platform digital terus tumbuh dan mendominasi pasar media.
The Journalism Competition and Preservation Act adalah upaya untuk mengerem laju kesenjangan tersebut. Bukan dengan mengabaikan kontribusi platform digital terhadap demokratisasi ranah komunikasi dan informasi, melainkan dengan menciptakan iklim usaha yang memungkinkan platform digital dan penerbit media hidup berdampingan dan saling menghidupi.
Undang-undang itu bertujuan menciptakan iklim usaha yang sehat dan adil di bidang media. Problemnya adalah praktik duopoli Google dan Facebook atas persebaran konten jurnalistik dan belanja iklan digital.
The Journalism Competition and Preservation Act didukung News Media Alliance, asosiasi media beranggotakan lebih dari 2.000 penerbit di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal.
Keempat, fakta menunjukkan media-sosial belum dapat menggantikan posisi media konvensional sebagai ruang publik yang beradab. Tanpa mengesampingkan peranan deliberatifnya, media sosial justru berkembang menjadi forum yang mengesampingkan standar kepantasan dan etika publik.
Media sosial berkembang bukan hanya sebagai sarana artikulasi kebebasan, melainkan juga sarana penyebaran prasangka dan kebencian. Media konvensional memang memiliki banyak kelemahan. Namun, kelemahan itu dikendalikan oleh sistem hukum dan etika yang telah terlembagakan. Sementara untuk media sosial, pelembagaan belum memadai.
Media sosial berkembang bukan hanya sebagai sarana artikulasi kebebasan, melainkan juga sarana penyebaran prasangka dan kebencian.
Dalam konteks ini, merehabilitasi daya hidup media konvensional penting untuk mempertahankan ekosistem demokrasi. Persoalan daya hidup media (media sustainability) menjadi sama pentingnya dengan persoalan penegakan etika pers. Menciptakan iklim bisnis media yang sehat menjadi bagian penting dari proyek demokrasi bangsa.
Perbedaan kepentingan
The Journalism Competition and Preservation Act menarik untuk dipertimbangkan dalam konteks Indonesia. Namun, kita juga perlu memperhatikan keberatan terhadap regulasi semacam ini. Upaya mengurangi kesenjangan platform dan penerbit telah dilakukan Uni Eropa dalam Undang-Undang Hak Cipta (EU Copyright Directive) 2001.
Dengan judul publisher's right, Pasal 11 UU Hak Cipta Uni Eropa menyatakan platform media-sosial, agregator-berita atau mesin-pencari wajib memperoleh izin penerbit sebelum memanfaatkan konten jurnalistik milik penerbit, sebagian atau keseluruhan. Termasuk dalam hal ini penyajian nukilan-berita (news snippet) oleh mesin-pencari.
The Guardian pernah menyatakan, "Pemberlakuan hak penerbit dalam Pasal 11 UU Hak Cipta Uni Eropa dapat menegaskan status legal karya jurnalistik bermutu tinggi milik penerbit". Pasal 11 itu memfasilitasi penerbit untuk menuntut kompensasi ekonomi atas konten jurnalistik yang dimanfaatkan platform mesin-pencari, agregator-berita, dan media-sosial.
Pada sisi lain, perusahaan platform mengkritik undang-undang tersebut. Google menilai UU Hak Cipta itu kontraproduktif bagi ruang publik dan mengurangi akses masyarakat atas konten jurnalistik. Pemberlakuan pajak atas nukilan-berita teragregasi (snippets tax) kepada agregator dikhawatirkan mereduksi insentif untuk agregator dalam menghadirkan layanan-layanan yang memberikan cara baru bagi penerbit untuk menyebarkan berita secara cepat.
Google menilai UU Hak Cipta itu kontraproduktif bagi ruang publik dan mengurangi akses masyarakat atas konten jurnalistik.
Keberatan juga muncul dari para penerbit kecil. Mereka merasa diuntungkan oleh keberadaan platform mesin-pencari dan media sosial. Mereka memperoleh trafik, dapat mendistribusikan berita dengan murah, serta efektif berinteraksi dengan khalayak. Bagi penerbit kecil, trafik tampaknya lebih berharga dibandingkan bagi-hasil monetisasi karya jurnalistik oleh plaftorm (The Cairncross Review 2019).
Inisiatif pelembagaan daya-hidup media massa perlu menjadi titik-pijak untuk memulai hal yang sama di Indonesia. Kita lumayan terlambat dalam urusan ini. Namun, kritik dan keberatan yang muncul juga harus dipertimbangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar