Lembaga pendidikan Al Azhar di Kairo, Mesir, menggelar konferensi internasional tentang pembaruan pemikiran Islam pada 27- 28 Januari lalu yang dihadiri puluhan ulama dan cendekiawan dari mancanegara.
Barangkali sudah sekian puluh konferensi internasional yang telah digelar Al Azhar secara intensif untuk meluruskan pemahaman terhadap Islam, sekaligus upaya pembaruan Islam agar sesuai tantangan zaman yang terus berubah dengan sangat cepat.
Ada 29 rumusan konferensi internasional Al Azhar tersebut yang telah dipublikasikan secara luas di media Mesir dan internasional, bahkan juga di berbagai media sosial.
Di antara dari 29 rumusan tersebut, pertama, jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad.
Perang itu bertujuan menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis.
Kedua, yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintahan sah suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perseorangan.
Ketiga, negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al Azhar—diwakili para ulama kaum Muslim—hari ini menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita.
Keempat, khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka. Namun, tidak ada ketetapan dalam teks Al Quran dan hadis Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu seperti sistem khilafah.
Kelima, pembaruan adalah pekerjaan rumit, hanya bisa dilakukan oleh orang yang ilmunya mendalam. Siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu agar menjauhinya, sehingga tajdid(pembaruan) tidak berubah menjaditabdid (pengaburan).
Rumusan-rumusan tersebut terlihat sebagai upaya Al Azhar melawan penyimpangan terhadap pemahaman Islam yang bisa merusak epistemologi Islam yang benar, khususnya setelah serangan teroris 11 September 2001 di New York dan Washington DC, AS oleh Tanzim Al Qaeda, dan lalu disusul dengan lahirnya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Bahkan NIIS sempat mendeklarasikan negara khilafah dari kota Mosul, Irak, pada tahun 2014 oleh pemimpinnya saat itu, Abu Bakar al-Baghdadi. NIIS dan gerakan radikal sejenisnya memang mengusung konsep negara khilafah untuk menggantikan sistem negara bangsa di dunia Islam saat ini.
Dalam upaya mewujudkan konsep tersebut, NIIS dan sejenisnya mengusung dan mengobarkan ideologi jihad suci. Para ulama dan cendekia loyalis NIIS dan gerakan radikal lalu membangun penafsiran sendiri terhadap teks-teks Al Quran dan hadis yang sesuai dengan kepentingan politik mereka.
Al Azhar pun segera mengusung ideologi Islam wasatiyah atau Islam moderat dalam upaya melawan ideologi Islam radikal dari Tanzim Al Qaeda dan NIIS serta gerakan radikal sejenisnya.
Dalam waktu yang sama, Al Azhar juga menghadapi gerakan liberalisasi atau westernisasi di komunitas Muslim yang memiliki konsep dan persepsi tentang masa depan Islam yang berbeda dari konsep Al Azhar.
Gerakan liberalisasi itu cukup bergeliat terakhir ini sebagai antitesa terhadap gerakan Islam radikal. Al Azhar dan gerakan Islam liberal kini sama-sama gencar mengusung jargon pembaruan, tetapi berbeda konsep dan metodologi.
Al Azhar mengusung konsep pembaruan yang berpijak pada khazanah keislaman yang amat kaya, atau persis dengan kaidah yang terkenal diusung oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia, yaitu al-Muhafadhotu 'ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (menjaga tradisi-tradisi lama yang baik sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik).
Hal serupa dilakukan Jepang ketika melakukan modernisasi pada era Dinasti Meiji (1868-1912 M), dengan tidak mencampakkan kekayaan khazanah yang baik pada era sebelum Dinasti Meiji.
Keberhasilan modernisasi Jepang justru disebabkan oleh suksesnya memadukan kekuatan khazanah dan ilmu-ilmu modern sehingga mereka berhasil meraih kemajuan tanpa tercerabut dari akar-akar kultur dan khazanahnya.
Adapun gerakan liberal yang mengusung konsep pembaruan Islam cenderung ingin merombak khazanah Islam karena menganggapnya sebagai produk manusia yang hanya sesuai dengan zamannya dan kini menjadi faktor kemunduran umat Islam.
Polemik cukup sengit antara Grand Sheikh Al Azhar, Prof Dr Ahmad Thayyib, dan Rektor Universitas Kairo Prof Dr Muhammad Usman al-Khasyt di forum konferensi internasional itu mencerminkan pertarungan antara Al Azhar dan gerakan liberal tentang konsep pembaruan Islam.
Sheikh Ahmad Thoyyib saat itu langsung menimpali dan mengkritik konsep pembaruan yang diusung Usman al-Khasyt karena tidak bertolak dari turats/khazanah keislaman dan bahkan cenderung ingin mengubur turats.
Al-Khasyt berpersepsi, turats Islam adalah produk manusia dan menjadi bagian dari ilmu humaniora yang bisa dirombak total dan diganti dengan ilmu-ilmu modern.
Model polemik antara Grand Sheikh Al Azhar dan rektor universitas Kairo itu sesungguhnya bukan hal baru di Mesir, melainkan sudah sering terjadi sejak awal abad ke-20 Masehi.
Salah satu polemik yang terkenal saat itu adalah antara lembaga Al Azhar dan Sheikh Ali Abdel Raziq (1888-1966 M) dengan karya bukunya Al-Islam Wa Usul Al-Hukm tentang pemisahaan agama dan negara. Ada pula polemik antara Al Azhar dan cendekiawan Mesir Dr Taha Hussein (1889-1973 M) yang karya-karya bukunya cenderung melecehkan turats Islam.
Polemik tersebut menunjukkan bahwa Al Azhar adalah penjaga dan pelestari turats Islam, dan sekaligus sebagai lokomotif pembaruan terhadap turats itu sendiri yang sesuai dengan kaidah-kaidah Islam yang sudah baku.
Ini tantangan terberat bagi Al Azhar saat ini yang harus menghadapi dua kubu, yaitu kubu Islam ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ini juga tanggung jawab sejarah bagi Al Azhar.
Apabila menilik sejarah, embrio Al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimid pada tahun 972 M, bermula dari Masjid yang kemudian berkembang pesat menjadi lembaga pendidikan dan dakwah. Pengaruhnya tidak hanya di Mesir, tetapi juga di seantero dunia Islam dan bahkan komunitas Muslim di Eropa, Amerika, Australia, dan Asia Timur.
Ini tantangan terberat bagi Al Azhar saat ini yang harus menghadapi dua kubu, yaitu kubu Islam ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Al Azhar lahir dan berkembang di saat era kejayaan Islam (abad 7-14 M) dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam saat itu. Al Azhar segera bertransformasi dari sebuah masjid menjadi basis pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu pengetahuan Islam, seiring perkembangan pesat ilmu pengetahuan Islam.
Ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang pada masa kejayaan Islam itu, kini disebut turats Islam atau khazanah Islam. Fungsi Al Azhar sebagai basis pendidikan ilmu-ilmu keislaman itu, lalu bertransformasi lagi menjadi lembaga yang memiliki sistem kuat membangun tradisi kaderisasi ulama dan cendekiawan Muslim melalui jenjang pendidikan di lingkungan Al Azhar yang sangat ketat.
Dari sistem dan tradisi kaderisasi tersebut, lahirlah ulama dan cendekiawan Muslim andal dari rahim Al Azhar, bak mata air yang tak pernah kering selama lebih dari 1.000 tahun terakhir ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar