Menarik mendiskusikan Indeks Demokrasi 2019 (Democracy Index 2019) yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia masuk kategori negara dengan demokrasi cacat. Jauh di bawah Timor Leste dan Malaysia.
Mereka mengukur perkembangan demokrasi negara-negara di dunia ke dalam empat tipe rezim, yakni sangat demokratis (full democracy), demokrasi cacat (flawed democracy), rezim campuran (hybrid regime) dan rezim otoriter (authoritarian regime).
Indeks tersebut menyimpulkan, 22 negara dianggap sudah sangat demokratis, 54 negara masih dianggap cacat demokrasinya, 37 negara dicengkeram oleh rezim campuran, dan sisanya 54 negara dikuasa rezim otoriter.
Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara. Sedangkan Timor Leste menempati urutan 41 dan Malaysia urutan ke 43. Mengapa capaian demokrasi kita di bawah Timor Leste dan Malaysia? Ada apa dengan perkembangan demokrasi kita lima tahun terakhir?
Indonesia menempati peringkat 64 dari 167 negara. Sedangkan Timor Leste menempati urutan 41 dan Malaysia urutan ke 43.
Tiga indikator mundur
The Economist Intelligence Unit menilai perkembangan demokrasi sebuah negara dari empat hal, yakni: proses pemilu dan pluralisme; fungsi pemerintah; partisipasi politik; budaya politik dan kebebasan sipil.
Demokrasi Indonesia dari sisi proses pemilu dan pluralisme memperoleh skor tertinggi (7,92) dibanding dengan tiga indikator lain yang nilainya lebih rendah. Meski pemerintah telah bekerja dan bekerja, skor fungsi pemerintah tergolong kurang baik, hanya 7,14. Sisanya indikator partisipasi politik juga rendah (6,11), budaya politik (5,63) dan kebebasan sipil (5,59).
Persoalan partisipasi politik yang nilainya tidak menggembirakan ini bertolak belakang dengan tingkat partisipasi publik tertinggi pada Pemilu 2019 lalu. Hampir 81 persen pemilih datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan haknya. Tingginya angka partisipasi tersebut merupakan rekor dalam sejarah pemilu di era reformasi.
Persoalannya adalah, mengapa dinilai kurang bagus oleh EIU sehingga berpengaruh pada skor akhir Indeks Demokrasi Indonesia, hanya 6,48?
Ada dua kemungkinan secara metodologis. Pertama, survei Indeks Demokrasi 2019 the Economist tidak berbasis data faktual seperti basis penilaian yang digunakan oleh Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). The Economist lebih menggunakan "persepsi" para ahli untuk mengisi kuesioner yang tentu saja bisa berbeda dengan hasil IDI yang lebih berbasis fakta. Kedua, bisa saja terdapat pemaknaan yang berbeda (bisa juga subjektif) mengenai situasi dan kondisi demokrasi yang sedang dialami oleh sebuah negara, termasuk Indonesia.
Sebagai ilustrasi, meskipun partisipasi politik pada Pemilu 2019 sangat tinggi, 81 persen —naik 11 persen dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2014 (70 persen), dan naik 6 persen dibandingkan Pilpres 2014 (75 persen)— terdapat fenomena ganda.
Baca Juga: Hasil dari Demokrasi
Apa itu fenomena ganda? Angka partisipasi dipengaruhi oleh pembelahan sosial-politik di satu sisi, dan kuatnya "politik identitas" sebagai instrumen dalam pertarungan politik di sisi lain. Kontestasi politik senantiasa menyeret "hawa nafsu" yang kurang rasional.
Kontestasi politik senantiasa menyeret "hawa nafsu" yang kurang rasional.
Narasi demokrasi terkungkung oleh sentimen dua kubu yang terbelah. Masyarakat luas dan pemilih dikerangkeng oleh wacana "Kita dan Anda" sebagai bentuk antagonisme sikap dan tindakan politik yang selalu antagonis, berlawanan dan dianggap "musuh".
Persoalan itu pula yang menyebabkan nilai budaya politik Indonesia dalam Indeks Demokrasi EIU skornya kecil, akibat narasi politik yang ambivalen atau hipokrit. Ambivalensi itu terlihat dari terjadinya kemunduran cara berpolitik, khususnya dalam memilih isu dalam kontestasi politik akibat menguatnya isu populisme yang hampir digunakan oleh semua elite, baik pihak yang memerintah maupun pihak oposisi (lawan politik).
Populisme kiri dan kanan menguat dalam wujud orasi politik dan janji politik dalam kampanye. Padahal, dalam kehidupan demokrasi populisme dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi manakala populisme yang dominan adalah populisme berjiwa agama (kanan) di satu sisi, dan populisme kiri berjiwa ideologi/propaganda serta primordialisme yang anti demokrasi.
Ide dan gagasan politik lebih bersifat retorik dalam bingkai orasi-orasi politik oleh para elite yang lebih bertujuan untuk memobilisasi massa dan dukungan politik. Kontekstualisasi gagasan dalam proses elektoral yang mengharuskan keniscayaan perlunya dukungan politik tidak diiringi oleh kampanye cerdas (smart) yang lebih mengajak pemilih untuk mengisi ruang publik dengan gagasan-gagasan yang progresif.
Merosot jauh
Dengan situasi itu, kita perlu sadar bahwa budaya politik demokrasi kita sudah jauh mengalami kemerosotan. Selain karena akibat transaksi politik dan pragmatisme politik, budaya hujat, anti-perbedaan dan tidak saling menghargai telah merampas politik damai sebagai ciri dari bangunan budaya politik demokrasi.
Demokrasi tidak membiarkan anarki seperti yang disebut oleh Robert A Dahl, tetapi basis budaya demokrasi adalah budaya "ketaatan" terhadap sistem dan aturan main (rule of law), bukan pemaksaan kehendak dan kehendak sendiri yang paling benar. Fenomena saling hujat, sarkasme politik dan tindakan saling melaporkan satu di antara lainnya menyebabkan kebebasan berserikat dan kebebasan sipil di Indonesia terkotori.
Harus diakui ada situasi "kurang nyaman" untuk menyuarakan kebenaran, meskipun kebenaran itu pada hakikatnya pahit dan getir. Ruang publik terkotori oleh pikiran-pikiran sesaat bahwa yang melawan rezim atau pihak yang berkuasa adalah lawan yang harus dipersoalkan. Sebaliknya juga demikian, yang berbeda dengan kelompoknya juga dianggap sama, perlu "dimusuhi".
Suasana demikian oleh The Economist disebutnya sebagai akumulasi keadaan yang dapat menyebabkan demokrasi mengalami resesi (recession of democracy), sebuah istilah baru yang menggantikan istilah lama dalam menyebut kemunduran demokrasi—decline of democracy.
Istilah resesi demokrasi lebih meminjam istilah ekonomi seperti resesi ekonomi yang dapat dimaknai ada kemunduran atau stagnasi (tidak mengalami perubahan situasi).
Tidaklah heran dengan akumulasi dari keempat indikator yang digunakan oleh The Economist, peringkat demokrasi Indonesia tertinggal dari Timor Leste, Malaysia dan Filipina.
Meski demikian masih ada untungnya, peringkat Indonesia masih lebih bagus dari beberapa negara lain di ASEAN seperti Singapura dan Thailand, juga negara di kawan lain seperti India, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Pesan bagi Indonesia
Indeks Demokrasi 2019 yang dikeluarkan oleh The Economist perlu ditangkap pesannya oleh Indonesia, selain sebagai alat deteksi atas perkembangan demokrasi yang sedang terjadi, sekaligus sebagai peringatan.
Pertama, pesannya sangat jelas dan tegas bahwa demokrasi di dunia sedang mengalami kemunduran atau stagnasi. Kemunduran demikian bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara belahan bumi lain seperti di AS dan Uni Eropa.
Kedua, resesi demokrasi dimanifestikan oleh sebuah kondisi, yang dugaan saya ukurannya meminjam konsep resesi ekonomi, yang secara umum diakibatkan oleh sebuah keadaan yang dapat menimbulkan krisis atau situasi tidak stabil.
Indikator krisis politik itu antara lain ditandai oleh adanya peningkatan tekanan pada pemerintahan yang populer; protes akan lebih banyak terjadi; pengaruh lembaga-lembaga non-pakar yang lebih disukai rezim; hilangnya isu-isu besar skala nasional oleh kepentingan politisi; dan pengaruh pakar/penasehat "terselubung" dalam pemerintahan. Juga ada gejala kesenjangan yang semakin lebar antara elite politik dan partai di satu sisi, dengan pemilih di sisi yang lain, serta maraknya hoax.
Demokrasi yang stagnan ibarat ekonomi tanpa pertumbuhan. Di sini ada persoalan bahwa stagnasi demokrasi akan berakibat pada kurang maksimalnya fungsi pemerintahan demokratis, yang idealnya dituntut untuk hadir dalam setiap persoalan masyarakat.
Salah satu persoalan yang perlu digaris bawahi ialah resesi demokrasi di Indonesia dipicu oleh faktor kebebasan sipil yang tidak mengalami perbaikan. Keadaan itu perlu diubah oleh pemerintah agar perkembangan demokrasi kita ke depan tidak mengalami krisis dan bahkan defisit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar