Gelombang penolakan masyarakat terhadap fenomena WNI eks Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang minta pulang ke Indonesia begitu kuat. Penolakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan kelompok radikal ini dengan membawa-bawa agama sebagai pembenaran atas tindakan mereka.
Masyarakat masih ingat hingga kini bagaimana aksi bom gereja di Samarinda melukai seorang anak balita berumur tiga tahun, Trinity Hutahean, juga Alvaro Aurelius Tristan Sinaga dan Anita Kristobel. Anak balita yang tak berdosa itu hingga kini harus menanggung sakit dan kerusakan fisik akibat perbuatan para pendukung NIIS ini.
Masyarakat juga masih mengingat bagaimana kejinya perbuatan kelompok NIIS ketika mereka membantai lima polisi di Mako Brimob. Video yang tersebar menunjukkan betapa biadabnya perbuatan mereka ini.
Para korban bom juga masih menderita hingga saat ini dan harus meminum obat sepanjang hidup mereka untuk menghilangkan rasa sakit yang masih mereka rasakan sekalipun peristiwa peledakan bom itu sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Yang jadi kekhawatiran masyarakat adalah ke-600 orang—data belum valid apakah benar 600 karena pihak keamanan juga belum yakin dengan angka ini—bisa menjadi bibit teroris baru yang akan melakukan aksi-aksi kekerasan dengan dalih agama untuk mewujudkan mimpi mereka yang belum selesai.
Terlebih lagi di Indonesia banyak kelompok teroris yang berafiliasi dengan NIIS, seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan kelompok-kelompok sempalannya, yang mungkin akan menarik orang-orang yang pulang ini untuk bergabung dan mewujudkan mimpi khilafah mereka di negeri ini.
Baca Juga: Menolak Kombatan NIIS
Kita masih ingat ketika kelompok NIIS mengeluarkan fatwa "jika kalian tidak bisa berjihad ke Suriah karena aturan yang membuat kalian tidak bisa berhijrah ke Suriah, lakukanlah jihad di negeri kalian masing-masing". Dengan fatwa ini, anggota NIIS di Indonesia melakukan aksi terorismenya di dalam negeri.
Tidak tertutup kemungkinan fatwa yang sama akan dikeluarkan dan bagaimana dampaknya terhadap Indonesia jika jumlah pendukung NIIS yang sudah ada di Indonesia ditambah 600 orang yang akan dipulangkan ini. Kelompok ini akan mendapatkan "amunisi" baru untuk meneruskan jihad dan perangnya.
Kekhawatiran inilah yang membuat gelombang penolakan sangat kuat karena trauma yang belum selesai terhadap aksi-aksi kekerasan yang menelan banyak korban ini.
Belajar dari deportan
Tak dimungkiri memang banyak motif yang mendorong orang-orang Indonesia hijrah ke Suriah. Dari yang ingin hijrah ke Suriah sebagai warga negara atau ingin bergabung dengan kelompok NIIS untuk bersama-sama dengan NIIS berjuang membela kaum Sunni yang dibantai Syiah seperti narasi propaganda mereka. WNI ini tidak hanya bergabung dengan NIIS karena di Suriah ada banyak faksi, seperti faksi yang berafiliasi dengan Al Qaeda, Jabal Nushra.
Motivasi mereka memang sangat bervariasi, dari yang skala radikal rendah sampai ke skala tinggi. Namun, motifnya untuk hijrah ini sebenarnya dilandasi oleh kesadaran penuh dan pilihan sadar bahwa mereka tidak ingin lagi jadi warga negara Indonesia dengan berbagai alasan.
Alasan utama mereka berhijrah hampir seragam karena menganggap Indonesia adalah negara Darul Kufur, yang tidak menerapkan aturan atau undang-undang (UU) Tuhan, tetapi menggunakan UU buatan manusia. Selain itu, banyak praktik bernegara yang melanggar aturan, yakni hukum dirasa lebih tajam ke bawah dibanding ke atas.
Alasan utama mereka berhijrah hampir seragam karena menganggap Indonesia adalah negara Darul Kufur, yang tidak menerapkan aturan atau undang-undang (UU) Tuhan, tetapi menggunakan UU buatan manusia.
Karena menganggap Indonesia sudah penuh dengan kemungkaran dan maksiat, dengan sukarela dan bahkan dengan menjual harta benda yang mereka miliki, mereka melakukan hijrah dan berniat meninggalkan Indonesia untuk selamanya. Sayangnya, mimpi itu karam di tengah jalan karena Pemerintah Turki menangkapi mereka dan mendeportasinya ke Indonesia.
Kementerian Sosial mendapat mandat menampung para deportan ini dan di panti milik Kemensos inilah mereka menjalani rehabilitasi selama 3-4 minggu dan bahkan ada yang lebih dari sebulan. Dari penilaian yang dilakukan kepada para deportan ini, 40 persen menyatakan masih ingin kembali lagi ke Suriah.
Ini menandakan, sekalipun mereka sudah dideportasi dan ditahan di penjara Turki dan menjalani rehabilitasi, semangat (girah) mereka untuk bergabung dengan NIIS atau kelompok lain di Suriah belumlah padam. Hal ini terbukti dari beberapa deportan yang melakukan "jihad" mereka di Indonesia setelah mereka dipulangkan ke rumah masing-masing setelah rehabilitasi.
Young Farmers dan Anggi Kusuma adalah dua deportan yang berencana membuat bom kimia di Bandung untuk aksi "jihad" mereka. Sementara Rullie Rian Zeke dan istrinya, Ulfah Handayani Saleh, adalah dua deportan yang melakukan aksi bom bunuh diri di gereja di Sulu, Filipina selatan.
Tito Karnavian, saat itu masih menjadi Kapolri, ketika peristiwa bom Surabaya menyatakan bahwa otak dari aksi kejam ini adalah Chalid Abu Bakar, salah seorang deportan yang juga menjalani rehabilitasi di panti yang sama dengan Young Farmers, Rullie, dan lainnya.
Ini menandakan, sekalipun mereka sudah dideportasi dan ditahan di penjara Turki dan menjalani rehabilitasi, semangat (girah) mereka untuk bergabung dengan NIIS atau kelompok lain di Suriah belumlah padam.
Ini menandakan, sekalipun rehabilitasi sudah diberikan kepada para pendukung NIIS, semangat jihad mereka tidaklah padam dan bisa melakukan jihad ini tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain.
Para deportan ini belum masuk ke Suriah dan belum terpapar lebih jauh oleh ideologi para kombatan di Suriah, tetapi semangat mereka tak kalah oleh mereka yang sudah hijrah ke Suriah.
Bisa dibayangkan seperti apa ideologi WNI yang sudah menetap lama di Suriah dan terlebih lagi yang sudah bergabung dengan NIIS dan melakukan perang langsung bersama-sama dengan kelompok ini. Tidak berbahayakah kepulangan mereka bagi republik ini?
PR pemerintah
Junaedi, salah seorang WNI yang pernah bergabung dengan NIIS dan menetap di Suriah selama enam bulan, berhasil kembali ke Indonesia dan kembali hidup bersama dengan masyarakat.
Junaedi tak kembali sendirian ke Indonesia. Ia pulang bersama rombongannya yang berangkat bersama-sama dengannya. Kendati demikian, selang enam bulan setelah kepulangan, Junaedi ditangkap Densus untuk menjalani proses hukum atas perbuatan yang dilakukannya.
Belajar dari pengalaman Junaedi, tak tertutup kemungkinan banyak WNI yang juga pernah bergabung dengan NIIS dan kelompok teroris lain di Suriah juga sudah ada yang kembali ke Indonesia.
Mereka yang kembali ini ada yang terdeteksi, seperti Junaedi dan teman-temannya, ada juga yang tidak terdeteksi dan tidak melewati proses hukum. Untuk yang terdeteksi, akan mudah diawasi, terlebih jika mereka sudah melewati proses hukuman.
Pertanyaannya, bagaimana yang sudah kembali, tetapi tak terdeteksi? Apakah pemerintah bisa memantau pergerakan orang-orang ini? Dan apakah WNI eks NIIS yang meminta kembali pulang ini ada yang sudah kembali melalui "pintu belakang" dan tanpa diketahui pemerintah?
Pendataan menjadi sebuah keharusan dan harus segera dilakukan untuk mengetahui berapa sesungguhnya jumlah orang Indonesia yang tersebar di beberapa kamp pengungsi di Suriah. Angka 600 orang adalah angka yang belum pasti karena masih simpang siur.
Dari pendataan bisa diketahui apakah ada yang sudah pulang ke Indonesia, siapa saja mereka, dan apa yang dilakukan di Indonesia. Ini sangat penting mengingat apabila ada yang sudah pulang, pengawasan intensif terhadap orang-orang tersebut harus dilakukan.
Ada hal yang perlu dipahami oleh kita semua bahwa dalam kelompok NIIS ini atau kelompok radikal lain di Suriah, orang-orang yang pernah pergi ke Suriah dan terlebih yang ikut berperang bersama NIIS akan dianggap sebagai "pahlawan" dan figur yang dihormati. Mereka dianggap memiliki keahlian yang mumpuni dan karena itu pantas dijadikan pemimpin.
Pendataan menjadi sebuah keharusan dan harus segera dilakukan untuk mengetahui berapa sesungguhnya jumlah orang Indonesia yang tersebar di beberapa kamp pengungsi di Suriah.
Jika para WNI yang "pulang" didapuk dengan penghormatan yang seperti ini oleh kelompok mereka, bisa jadi dukungan ini akan kembali memompa semangat jihad mereka dan tidak tertutup kemungkinan melakukan aksi-aksi kekerasan di Tanah Air.
Kita juga tak bisa menutup mata akan semangat "mengkhilafahkan" Indonesia oleh organisasi-organisasi yang mengaku "nonkekerasan" yang belum padam hingga hari ini. Organisasi-organisasi ini dan para WNI eks NIIS memiliki kesamaan visi dan misi dan apabila mereka bersatu, akan jadi kekuatan baru.
Kekuatan baru ini tak hanya memiliki semangat sama untuk "mengkhilafahkan Indonesia", tetapi mereka juga sudah dibekali kemampuan tempur dan strategi perang yang dipelajari saat tinggal di Suriah. Keputusan memulangkan atau tidak adalah keputusan penting yang harus dipertimbangkan dengan matang dan menimbang berbagai aspek.
Hak asasi WNI yang hijrah ke Suriah ini memang harus dijamin, tetapi keselamatan warga dari potensi tindakan kekerasan ekstrem dan juga keamanan negeri ini jauh lebih penting untuk dipikirkan.
Karena itu, pemerintah harus memikirkan hal ini dengan sangat hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa. Melakukan pendataan dan asesmen adalah langkah awal yang bisa ditempuh. Pendataan untuk mengetahui jumlah riil WNI yang hijrah dan bergabung dengan berbagai kelompok radikal di Suriah dan asesmen diperlukan untuk mengetahui tingkat radikalisme setiap individu yang ingin kembali itu. Hasil asesmen ini yang menjadi dasar pertimbangan apakah orang-orang ini perlu dipulangkan atau tidak.
Mengingat radikalisme tidak bisa diukur dengan penampilan, karena radikalisme ini adanya di alam pikiran, maka asesmen yang dilakukan harus benar-benar dalam dengan menggunakan berbagai metode dan membutuhkan waktu yang lebih panjang.
Pemerintah tidak lagi boleh terjebak pada tanda tangan selembar pernyataan kesetiaan pada NKRI karena bisa jadi mereka bersedia menandatangani perjanjian atau lembar kesetiaan tersebut hanya untuk kebutuhan pragmatis saja, yang penting pulang. Kesetiaan pada NKRI diukur dengan tindakan, bukan dengan selembar surat pernyataan.
Karena itu, pemerintah harus membangun alat ukur yang lebih baik, yang bukan sekadar seremonial dan ada, tetapi yang benar-benar bisa menjadi jaminan bahwa orang itu benar-benar berubah dan tidak akan lagi melakukan keonaran dengan alasan apa pun.
Mekanisme dan sistem bisa dibangun untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk dari kepulangan WNI eks NIIS ini apabila ingin dipulangkan. Namun, sebelum keputusan itu diambil, langkah penting yang harus dilakukan adalah melakukan pendataan dan asesmen mendalam terhadap setiap WNI ISIS ini agar ada justifikasi logis dan ilmiah kenapa orang-orang ini perlu dipulangkan dan kenapa tidak perlu dipulangkan.
Pendataan untuk mengetahui jumlah riil WNI yang hijrah dan bergabung dengan berbagai kelompok radikal di Suriah dan asesmen diperlukan untuk mengetahui tingkat radikalisme setiap individu yang ingin kembali itu.
Pemerintah sudah cukup sibuk menghadapi kelompok teroris yang kini ada di Indonesia. Dan, kita tidak berharap melihat aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama kembali terjadi di negeri ini. Karena itu, pertimbangan yang hati-hati dan menyeluruh perlu dilakukan dan pemelajaran dari penanganan deportan bisa menjadi bahan acuan dalam menimbang keputusan itu.
Kita tak ingin melihat korban aksi kekerasan bertambah dan seharusnya Indonesia bisa jadi rumah yang aman bagi setiap warganya.
(Dete Aliah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar