Hingga kemarin, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paling tidak 169 negara dan wilayah terserang novel coronavirus yang menyebabkan wabah Covid-19, yang mula pertama muncul di sebuah kota China Tengah, Wuhan, pada akhir Desember silam.
Namun, sejak saat itu, wabah ini menyebar ke seluruh dunia. Nyaris tidak ada wilayah dunia yang tidak "disentuh" Covid-19. Hingga kini sekurang-kurangnya sudah 261.800 orang terinfeksi dan 11.136 orang di antaranya meningggal.
Dari jumlah orang yang terinfeksi tersebut, korban terbanyak adalah China, sebagai negara yang pertama terkena, yakni 80.928 kasus dan 3.245 orang di antaranya meninggal. Setelah China, Italia menjadi negara terbanyak kedua yang terdampak, yakni 47.021 kasus dan 4.032 orang di antaranya meninggal.
Lalu, Spanyol, 19.980 kasus dan 1.002 orang di antaranya meninggal; Iran, 19.644 kasus, 1.433 orang meninggal; Jerman 15.320 kasus dan 44 orang di antaranya meninggal; AS, 13.880 kasus dan 200 orang di antaranya meninggal; Perancis, 10.995 kasus dan 372 orang di antaranya meninggal; Korea Selatan, 8.652 kasus dan 94 orang di antaranya meninggal; dan Jepang, 1.668 kasus dengan 40 orang di antaranya meninggal.
Sementara Indonesia, 369 kasus dan 31 orang di antaranya meninggal. Angka kematian di Indonesia terbanyak dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya: Malaysia (1.030 kasus, 3 orang meninggal), Singapura (385 kasus), Filipina (230 kasus, 18 orang meninggal), Thailand (272 kasus, seorang meninggal), Vietnam (85 kasus), dan Brunei Darussalam (56 kasus).
Di kawasan Afrika, Mesir menjadi negara yang paling terdampak (256 kasus, 7 orang meninggal) lalu Afrika Selatan dengan 202 kasus. Bahkan, negara yang jauh di utara Eropa, Norwegia pun memiliki 1.790 kasus dengan 7 orang meninggal. Kawasan Amerika Latin yang paling banyak penderitanya adalah Brasilia (Brasil): 640 kasus dan 7 orang meninggal.
Data tersebut memberikan gambaran jelas bahwa nyaris tidak ada sudut di bumi ini yang tidak dijamah Covid-19. Bahkan, banyak petinggi negara pun terkena Covid-19. Misalnya, tiga pejabat tinggi Iran, termasuk Wapres Masoumeh Ebtekar, Wakil Menteri Kesehatan Iraj Harirchi, serta Kepala Keamanan Nasional dan Komisi Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran Mojtaba Zonnour, terinfeksi.
Mengapa Iran, misalnya, menjadi salah satu negara terbanyak penderitanya setelah China? Ada dugaan karena letak geografis Iran yang ada di tengah—sebelah utara adalah Kaukasus Selatan, sebelah selatan adalah Asia Selatan; dan terletak di antara Asia Tengah sebelah timur dan Asia Barat sebelah barat.
Dengan posisi geografis seperti itu, Iran, sebenarnya, banyak memperoleh keuntungan atau menjadi penting dari segi politik dan ekonomi; juga terjadi interaksi yang intensif di bidang agama dengan negara-negara tetangga.
Dengan letak geografis seperti itu, penyebaran Covid-19 ke negara tetangga sangat mudah. Misalnya, negara-negara tetangga Iran seperti Irak (192 kasus), Turki (359 kasus), Azerbaijan (34 kasus), Georgia (34 kasus), Afghanistan (22), Pakistan (464). Bahkan, melompat ke Oman (48 kasus), Arab Saudi (274 kasus), Qatar (460 kasus), Kuwait (148 kasus), dan Bahrain (278 kasus).
Sulit kerja sama
Tentang persaingan antarbangsa, Hans J Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace (1993) menyatakan, sekalipun terdapat banyak manifestasi, pada dasarnya ada dua bentuk persaingan dalam hubungan internasional. Bentuk pertama adalah kompetisi aktor melawan satu atau lebih aktor, yang melibatkan mekanisme hubunganzero-sum yang berarti bahwa keuntungan satu aktor adalah kerugian aktor lain, yaitu, agar aktor menang, aktor lain harus kalah.
Perang Iran-Irak (1980-1988) adalah salah satu contoh tentang hal tersebut di atas. Meskipun hasil akhirnya bisa berupa kebuntuan atau kehancuran total, yang artinya sama dalam banyak kasus.
Bentuk kedua adalah kompetisi aktor dengan satu atau lebih aktor lebih mengenai akhir yang diinginkan. Diktum klasik Hans J Morgenthau bahwa "politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan untuk kekuasaan" adalah pernyataan terkenal untuk bentuk kompetisi kedua. Meskipun, selain kekuasaan, akhir kompetisi yang diinginkan bisa menjadi "kebebasan, keamanan, (atau) kemakmuran".
Dalam konteks Timur Tengah, menurut Casey L Addis et al dalam "Iran Regional Perspectiveand US Policy", Congressional Research Service (2010), dua negara yang bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di kawasan ini adalah Arab Saudi dan Iran.
Kedua aktor–kedua negara itu–bersaing satu sama lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan, "sebagai dua negara yang paling berpengaruh secara politik dan agama di wilayah Teluk. Arab Saudi dan Iran sudah lama masing-masing berusaha memaksimalkan posisinya, relatif terhadap yang lain dan relatif terhadap pemain luar yang penting" (Eyüp Ersoy: 2012).
Tentu persaingan antara keduanya menjadi persoalan yang sangat serius berkait dengan upaya mengatasi pandemi Covid-19 di kawasan. Padahal, yang dibutuhkan adalah kerja sama. Namun, bagaimana kerja sama bisa terbangun kalau di antara mereka tidak ada saling percaya? Saling percaya adalah syarat utama untuk terwujudnya sebuah kerja sama.
Semestinya, dalam kondisi seperti sekarang, mereka, misalnya, antara Arab Saudi dan Iran, dan juga antara Iran dan negara-negara tetangga di kawasan Teluk, bisa menyingkirkan perseteruan, persaingan, saling curiga, dan saling tidak percaya. Kemudian dibangun kerja sama untuk bersama-sama memerangi pandemi Covid-19. Kerja sama adalah langkah yang paling baik dalam memerangi pandemi Covid-19 ketimbang berjibaku sendiri-sendiri.
Kerja sama itu sangat penting sebab pandemi Covid-19 bukanlah persoalan satu negara, bukan juga persoalan regional, melainkan persoalan global. Karena itu, negara-negara di kawasan, seperti kawasan Timur Tengah dan Teluk, sangat mendesak untuk mencari jalan bagi terbangunnya kerja sama dan koordinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19, bukannya justru pandemi Covid-19 digunakan sebagai alat untuk mengucilkan negara lain yang dianggap sebagai pesaingnya.
Meskipun, setiap negara memiliki kebijakan untuk mengontrol secara ketat perbatasan negaranya untuk mencegah adanya pelintas batas yang akan mempermudah penyebaran Covid-19, seperti yang dilakukan oleh negara-negara Eropa.
Perlu ada kesadaran dari para pemimpin negara di kawasan, bahwa kerja sama dan koordinasi, merupakan tuntutan yang sangat penting dan mendesak saat ini. Dengan demikian, mereka akan harus mencari cara bagaimana menjembatani jurang komunikasi di antara mereka sehingga terbangun jembatan komunikasi, yang bisa menjadi sarana terbangunnya kerja sama dan koordinasi dalam memerangi pandemi Covid-19.
Hal yang sama perlu juga dilakukan oleh para pemimpin negara anggota ASEAN. Pandemi Covid-19 ini benar-benar akan mengetes sejauh mana dan seberapa erat kerja sama antarnegara anggota. Apakah setiap negara anggota memikirkan diri sendiri, keselamatannya sendiri, atau juga bersama-sama memikirkan dan mencari jalan untuk mengupayakan keselamatan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar