Seratus hari meninggalnya Djaduk Ferianto diperingati dengan berbagai acara di Yogyakarta.
Ada tahlilan pada 19 Februari, Misa Ekaristi (23/2/2020), dan pergelaran "Ibadah Musikal Seratus Hari Djaduk Ferianto" (25/2/2020).
Kata kunci dari peringatan tersebut adalah melepas ikhlas kepergian Djaduk dengan gembira.
Dari debu menjadi debu.
Yang tiada kembali tiada.
kehidupan hanya sementara
keheningan menjadi rumah jiwa
tidurlah tidur mimpi panjang
tidurlah tidur yang tenang
Lagu itu diciptakan Djaduk Ferianto, dengan lirik ditulis Agus Noor. Lagu tersebut menjadi bagian dari lakon drama "Para Pensiunan 2049" yang dipentaskan Teater Gandrik tahun 2019.
Dalam lakon teater, lagu itu mengiringi orang meninggal. Lagu itu pula yang diperdengarkan kembali dalam acara "Ibadah Musikal 100 Hari Djaduk Ferianto" di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 25 Februari 2020.
Sebelum awak Teater Gandrik membawakan lagu tersebut dengan iringan oleh Kua Etnika, Butet Kartaredjasa memberi pengantar. Dia menceritakan sepanjang tahun 2019 ada peristiwa-peristwa yang tampak ganjil, banyak misteri.
"Dan, hari ini ini saya bisa memaknai keganjilan-keganjilan itu menjadi suatu fakta yang ajaib," kata Butet.
Butet lalu membeberkan serangkaian peristiwa berbeda-beda, tetapi ada satu benang merah, yaitu kematian. Sepanjang tahun 2019, Butet berpentas tiga kali, yaitu musikal "Puisi-pusi Cinta" di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Maret 2019. Lalu, pentas "Kanjeng Sepuh" pada Maret 2019 dan "Para Pensiunan 2049" yang digelar tiga kali, yakni di Yogyakarta, Jakarta (April), dan Surabaya (Desember 2019) atau sepeninggal Djaduk.
"Dalam lakon-lakon itu, saya dalam karakter dengan setting kuburan dan bicara tentang kematian," tutur Butet di panggung, seperti layaknya ia tampil bermonolog.
Di panggung "Ibadah Musikal " itu Butet sedang tampil sebagai "aktor kehidupan" yang sesungguhnya. Ia sedang melakoni peran sebagai diri sendiri. Ia menjadi seorang Butet yang sesungguhnya, yang sedang bergulat dengan perasaan terpisah dari sang adik.
Ia mengakui dalam masa 100 hari itu ia telah sinau atau belajar untuk mengikhlaslepaskan Djaduk, tetapi diakuinya itu tidak gampang. "Saiki aku ngrasaake, uasuuu, angel…(sekarang saya merasakan (sendiri)… sangat susah)," kata Butet, tetap dengan sisipan pisuhan atau umpatan khasnya itu.
Pergelaran "Ibadah Musikal" merupakan bagian dari acara 100 hari wafatnya Djaduk Ferianto yang meninggal pada 13 November 2019 pada usia 55 tahun.
Sebelumnya, pada 19 Februari diadakan tahlilan dan pada 23 Februari diselenggarakan misa 100 hari yang dipimpin Romo Sindhunata SJ di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Bantul, Yogyakarta.
"Harusnya Butet…"
Di balik lakon-lakon panggung yang melibatkan kakak beradik Butet-Djaduk, ada lelakon hidup mereka yang sesungguhnya. Lakon kasih sayang antar-kakak beradik yang mereka perankan sendiri. Drama kehidupan yang mengharukan, tetapi mereka sikapi dengan canda gembira.
Butet bercerita, bagaimana Djaduk sangat cemas ketika kakaknya tumbang saat pentas "Kanjeng Sepuh". Ketakutan serupa diungkapkan Djaduk kepada Romo Sindhunata. Bahkan. Romo Sindhu sempat melihat Djaduk menangis melihat kondisi Butet. Ia sangat khawatir akan kehilangan kakaknya.
"Dan, ketika saya lolos dari maut pada Maret 2019, Djaduk menyambut dengan kegembiraan. 'Horee kakangku ra sido mati… (kakakku urung meninggal)'," tutur Butet menirukan kegembiraan Djaduk.
Selalu ada canda di balik peristiwa sepahit apa pun. Di dalam pergaulan Teater Gandrik, kematian menjadi salah satu bahan candaan. Ia menyebut seniman teater seperti Heru Kissawa Murti (almarhum) atau Susilo Nugroho alias Den Baguse Ngarso paling sering menggunakan kematian sebagai bahan percandaan.
Ada kisah lain ketika "Para Pensiunan 2049" dimainkan Teater Gandrik di Taman Budaya Yogyakarta. Butet memerankan tokoh arwah. Djaduk sebagai sutradara yang juga adik Butet sangat cemas karena saat itu Butet belum lama pulih setelah terkena serangan jantung.
Djaduk pun menyiapkan dokter dan ambulans di luar gedung. Ia bahkan menyiapkan diri sebagai aktor pengganti jika terjadi sesuatu atas Butet di tengah pentas.
"Seakan-akan kematian itu monopoli saya. Maka, ketika November tanggal 13 itu Djaduk meninggal, saya berkabar kepada kawan-kawan, dan semua orang yang mendengar berita itu (bereaksi). "Lho kok Djaduk…kudune (seharusnya) Butet. Butet yang berulang-ulang kepatil (tersengat ) jantungnya, kok, sing mati Djaduk…."
Antre mati
Dalam misa 100 hari Djaduk Ferianto, Romo Sindhunata teringat kala para seniman memperingati kematian komedian Gareng Rakasiwi. Sindhunata mengutip ucapan para seniman yang mengatakan bahwa, "Urip iku urut. Urip iku antri mati".Hidup itu urut. Hidup adalah antre mati.
Romo Sindhu dalam khotbahnya mengutip ucapan filsuf dan sastrawan Jerman, Ellias Canetti (1905-1994), yang sangat membenci kematian. Sastrawan penerima Nobel sastra 1981 itu mengatakan, "Aku mengutuk kematian. Aku menolak kematian dengan segala kekuatanku. Jika aku menerimanya (kematian), itu sama halnya aku ini pembunuh…" begitu pikiran Canetti, seperti dikutip Sindhunata.
"Dipisuhono koyo opo (diumpat seperti apa pun) kematian akan menjemput kita. Itulah kemutlakan.Urip iku urut. Tapi, kita mungkin tidak bisa menerima mengapa Djaduk harus jatuh pada urutan yang begitu pagi. Padahal, hidupnya sedang indah dalam usianya yang muda. Ada sesuatu yang lebih besar dari hidup di dunia ini," kata Sindhunata.
Dalam pembacaan Romo Sindhunata, Djaduk diam-diam telah mempersiapkan dirinya. Petra, istri Djaduk, menceritakan bahwa Djaduk pada hari-hari menjelang kematiannya sering membersihkan rumah.
"Lambang dia sedangreresik (bebersih) dalam. Dia tidak mengatakannya. Tapi, kami menangkapnya, sebagai orang beriman, bolehlah kita membayangkan bahwa dia sedang mempersiapkan, danngresiki (membersihkan) hatinya pula…," kata Sindhunata dalam ibabah ekaristi yang dipadati ratusan sahabat.
Ibadah kebudayaan
Jika misa di Padepokan Bagong Kussudiardjo itu merupakan ibadah ekaristi Katolik, pergelaran di TBY itu dinamai "Ibadah Musikal 100 Hari Djaduk Ferianto".
Butet menyebutnya sebagai ibadah budaya, cara memberi jalan bagi Djaduk menuju ke keabadaian. Kata kunci dari pergelaran itu adalah gembira dan ikhlas melepas kepergian Djaduk. Kegembiraan serupa diungkapkan dalam misa yang ditutup dengan lagu "Semua bunga ikut bernyanyi, gembira hatiku."
"Djaduk boleh pergi, Djaduk boleh meninggalkan kita semua, tapi kalian hendaknya mewarisi apinya, bukan cuma abunya," pesan Butet kepada para sahabatnya.
Para sahabat itu tampil dalam pergelaran. Mereka adalah Kua Etnika, Silir Pujiwati, Syaharani, Soimah, Endah Laras, Ricad Hutapea, Tricotado, Mucichoir, Tashoora, Jazz Mben Senen, Teater Gandrik, James F Sundah, plus duet pembawa acara Alit Jabang Bayi dan Gundhissos.
Tampil pula Sardono W Kusumo yang memberi sambutan atau katakanlah semacam "orasi" tentang Djaduk dalam bentuk mirip monolog. Di panggung, Sardono, yang oleh sahabatnya disapa Mas Don, seakan berbicara kepada Djaduk. Semula ia menghadap ke latar pentas tempat sosok Djaduk terpampang besar. Sadar posisi panggung, ia mengubah posisi dengan menghadap ke penonton.
"Kenapa aku harus ngadep kamu Duk. Aku madep sana juga bisa. Kamu di mana Duk? Oh, di hati kita semua. Jadi, ke mana pun aku menoleh, aku melihat Djaduk semua…," kata Mas Don yang disambut tepuk hadirin.
Sardono sangat menguasai panggung. Ia sedang menari dengan kata-kata yang spontan tertata. Ia bicara tentang kenangan bersama Djaduk dan juga Bagong Kussudiardjo yang ia sapa dengan Mas Gong. Sardono bercerita saat bersama Djaduk di Jepang.
Djaduk menangkap estetika musik teater di Jepang yang cenderung minimalis, terkesan sunyi, kosong. Seperti itu pula lukisan Jepang yangngelangut, sepi, dengan dominasi warna putih dan sedikit sapuan hitam.
"Ini sama ngelangut-nya dengan orang-orang Jawa, ya? Apa semua konsep Jepang itu ngelangut sendiri, meditatif begitu?" kata Sardono menirukan ucapan, tepatnya pertanyaan Djaduk. "Djaduk punya kecerdasan membaca, menangkap secara batiniah gejala-gejala semacam itu," kata Mas Don.
Pengalaman di Jepang itu memperkuat sikap berkesenian Djaduk yang sebelumnya terbentuk kuat di Padepokan ayahnya. Djaduk, dikatakan Sardono, memilih jalan kesenian yang "rame-rame", guyub dalam kebersamaan, dalam kegembiraan.
"Duk, jangan-jangan kamu memang menghayati. Kamu tidak memilih menjadi seniman yang esoteris. Bukan yang individualistis, super abstrak. Tapi, kamu memilih bersama-sama," kata Sardono.
"Dan, jangan-jangan ini ajaran dari Mas Gong (Bagong Kussudiardjo). Sebenarnya yang diperlukan adalah kegiatan untuk mengabdi masyarakat,leladi (melayani) masyarakat. Tidak untuk menjadi seniman hebat. Itu soal nanti secara alami akan menjadi seniman dan ada yang tidak," kata Sardono.
Sardono mengakhiri "khotbah" atau orasinya dengan ngorok alias mendengkur. Karena katanya, seloroh Mas Don, Djaduk dan Bagong Kussudiardjo itu adalah para vokalis yang tidurnya mendengkur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar