Dalam sunyi, Maria Sharapova mengundurkan diri dari dunia tenis. Bukan media olahraga yang memberitakan untuk pertama kali, melainkan majalah gaya hidup, Voguedan Vanity Fair, yang menerbitkan esai Sharapova pada 26 Februari 2020. Itu karena Sharapova adalah merek global, bukan hanya milik dunia tenis.
"Ada beberapa karakter dalam diri saya. Ada Maria sebagai petenis, Maria sebagai perempuan biasa, Maria sebagai pebisnis, dan Maria Sharapova sebagai merek," kata Sharapova menggambarkan kehidupan yang telah dijalani selama 32 tahun, 18 tahun di antaranya sebagai petenis profesional.
Perjalanan Sharapova sebagai petenis dimulai ketika dia mulai memegang raket tenis pada usia empat tahun saat mengikuti ayahnya bermain di Sochi, Rusia. Sharapova sebenarnya lahir di Nyagan pada 1987, setahun setelah orangtuanya, Yuri dan Yelena, pindah dari Gomel (sekarang menjadi bagian dari Belarus) karena meledaknya reaktor nuklir di Chernobyl.
"Saya begitu kecil hingga bisa mengayunkan kaki ketika duduk di bangku. Raket pertama yang saya pegang ukurannya terlihat dua kali lebih besar dari tubuh saya," kata Sharapova dalam esainya.
Bakat yang dimilikinya, kemudian menarik perhatian salah satu legenda tenis, Martina Navratilova. Dia melihat Sharapova pada pertandingan ekshibisi di Moskwa. Navratilova, kemudian, menyarankan Yuri membawa anak satu-satunya itu berlatih di luar Rusia. Dengan hanya membawa uang 700 dollar AS, Yuri pun membawa Sharapova ke Florida, Amerika Serikat.
"Saat berusia enam tahun, saya ke Florida bersama ayah. Isi dunia terlihat sangat besar bagi saya. Pesawat, bandara, tanah Amerika: semua sangat besar."
Kepindahan Sharapova kecil ke AS adalah bentuk pengorbanan dia dan orangtuanya. Yuri harus mencari pekerjaan untuk hidup dan mengembangkan bakat putrinya. Adapun Sharapova harus berpisah dari ibunya. Yelena tak bisa menyertai karena terkendala masalah visa.
Setahun setelah pindah ke Florida, barulah Sharapova berlatih di Akademi Tenis Nick Bollettieri (saat ini bernama Akademi IMG) di Bradenton. Akademi ini pernah menjadi tempat latihan nama-nama besar, seperti Andre Agassi, Boris Becker, Jim Courier, dan Monica Seles.
Usia sembilan tahun, Sharapova mendapat beasiswa dari akademi. Pada usia itu pula, dia bertemu kembali ibunya. Demi bisa fokus pada tenis, pendidikan ditempuh dengan carahomeschooling.
Potensinya menarik perhatian Nike saat Sharapova masih berusia 11 tahun (1998), jauh sebelum dunia mengenalnya. Nama Max Eisenbud meroket sebagai agen olahraga terkenal berkat Sharapova.
Perkenalan atlet dan agen, yang kemudian dikenal sebagai hubungan atlet-agen paling sukses itu, terjadi pada 1999. Eisenbud dikirim IMG (perusahaan global yang mengurusi talenta, olahraga, dan ajang lainnya) ke Akademi Nick Bollettieri yang memiliki pusat pelatihan untuk atlet-atlet muda.
Awalnya, peran Eisenbud hanya sebagai penghubung atlet muda dan agen mereka yang berkantor di Cleveland. Agen-agen di Cleveland ini, juga, mengurusi petenis bintang, seperti Pete Sampras dan Monica Seles. Eisenbud melakukan banyak hal, seperti mencarikan sponsor yang menyediakan raket untuk petenis dan menjadi perantara dengan orangtua atlet.
Bermodalkan daftar petenis muda dan jadwal latihan mereka, Eisenbud berkeliling di akademi. Langkahnya terhenti ketika dia melihat latihan gadis 12 tahun berpostur tinggi. Eisenbud melihat intensitas pada diri Sharapova setiap kali dia melancarkangroundstrokes.
"Jika Anda pernah melihat video Tiger Woods memukul bola saat berusia enam tahun, Sharapova juga seperti itu," katanya.
Salah satu pelatih semasa Sharapova kecil, Robert Lansdorp, menyebut hal yang sama. Anak didiknya itu tak kenal rasa takut. Dia, bahkan, membandingkan intensitas Sharapova untuk meraih setiap poin sama dengan Rafael Nadal di putra.
Tertarik dengan talenta gadis itu, Eisenbud mencoba menarik hati Sharapova dan orangtuanya. Dia membantu pengurusan visa orangtua Sharapova serta bernegosiasi dengan Federasi Tenis Rusia.
Yuri akhirnya memercayakan putrinya kepada Eisenbud. Dalam waktu 18 bulan, Eisenbud, yang mantan petenis di perguruan tinggi, menjadi bagian dari agen-agen elite yang berkantor di Cleveland karena mewakili Sharapova.
Meski Sharapova telah menunjukkan potensi menjadi bintang sejak berusia 13 tahun, dengan menjuarai sirkuit internasional yunior, Eisenbud menolak tawaran perusahaan yang berminat menjadi sponsor. Yakin dengan kemampuan Sharapova yang akan terus meningkat, dia meminta timnya tak terburu-buru "menjualnya".
Momen itu akhirnya datang pada 2004 ketika Sharapova yang berusia 17 tahun meraih gelar pertama dari ajang Grand Slam dari Wimbledon. Di final, dia mengalahkan Serena Williams yang akhirnya menjadi rival utamanya.
Seketika itu pula, perusahaan-perusahaan besar menandatangani kontrak dengan Sharapova, di antaranya Motorola, Canon, TAG Heuer, Colgate, Head, dan Porsche. Perayaan ulang tahun ke-18, yang dimeriahkan dengan kehadiran Maroon 5, disponsori Motorola.
Sejak 2005 hingga 11 tahun kemudian, Sharapova menjadi atlet putri dengan penghasilan terbesar, sebagian besar dari endorsement (sponsor, uang tampil, dan lain-lain) versi majalah keuangan Forbes. Harvard Business School, bahkan, membuat cerita Sharapova sebagai salah satu studi kasus untuk mahasiswa.
Minatnya selain tenis, yaitu di bidang desain dan bisnis pun, mulai terlihat. Dia mendesain sepatu untuk perusahaan sepatu dan aksesoris, Cole Haan.
Bekerja sama dengan Nike, Sharapova selalu mengenakan kostum yang didesain sendiri, terutama untuk ajang Grand Slam. Dia mengenakan atasan model tuksedo ketika tampil di Wimbledon 2008, Grand Slam yang mewajibkan atlet mengenakan pakaian dan aksesoris serba putih. Pada AS Terbuka 2006, saat juara, atlet bertinggi 188 sentimeter itu mengenakan little black dress dengan aksen renda dan dihias kristal.
Tekuni bisnis
Minat tersebut akhirnya membuat Sharapova tak hanya berprofesi sebagai petenis. Keinginan itu pertama kali diungkapkannya kepada Eisenbud, pada 2012, setelah menambah gelar Grand Slam dari AS Terbuka 2006, Australia Terbuka 2008, dan Perancis Terbuka 2012. Eisenbud pula yang menjadi guru pertamanya dalam bidang bisnis.
"Saya menikmati kolaborasi dengan Nike dan Cole Haan, tetapi saya ingin membuat keputusan sendiri," kata Eisenbud, kepada CNN pada 2013, bercerita tentang Sharapova.
Ide membuat bisnis permen datang ketika mereka makan siang bersama Jeff Rubin, salah satu pendiri toko permen Dylan's Candy Bar. Rubin berniat mengajak Sharapova bekerja sama untuk merek baru, "Sugar". Rubin pun mencetuskan ide nama Sugarpova.
Setelah pertemuan itu, Sharapova melakukan riset. Berlatar belakang minatnya pada bidang desain, dia menginginkan permen yang berbeda dari yang lain.
"Saya ingin membuat produk yang membuat orang tertarik ketika melihat rak permen di toko. Tetapi, saya tak ingin mereka langsung menghabiskannya setelah membayar. Saya ingin pembeli memperlakukannya sebagai suvenir, sebagai produk yang ingin mereka berikan kepada orang lain," katanya dalam entrepreneur.com.
Dengan modal 500.000 dollar AS dari koceknya sendiri, Sharapova pun meluncurkan Sugarpova pada 2013. Dikemas dengan bungkus berwarna mencolok, bentuk Sugarpova cukup unik, mulai bola tenis, bibir, tas tangan, hingga sepatu hak tinggi. Desain dan pemasaran ditangani firma periklanan dan humas ternama asal Jepang, Dentsu, yang bekerja sama dengan agen pemasaran di Brooklyn, Red Antler.
Tak ingin mengandalkan ketenaran namanya, Sharapova memperdalam ilmu bisnis dengan berbagai cara. Dia berguru kepada Patrick Kenny, konsultan yang membesarkan bisnis para selebritas dan merek terkenal, seperti Jessica Simpson, Dita Von Teese, dan juga The North Face.
Dia juga menambah pengetahuan dengan mendatangi pameran makanan, mengikuti rapat perusahaan-perusahaan terkenal, juga belajar kepemimpinan dan manajemen di Harvard Business School di Boston selama 10 hari.
Sharapova belajar langsung dari para pelaku bisnis di lapangan dengan cara magang di bidang periklanan dan pemasaran Nike di London. Dia juga magang di NBA, di bawah pengawasan komisioner liga bola basket terpopuler di dunia, Adam Silver.
Proyek lainnya adalah di bidang arsitektur. Bekerja sama dengan arsitek, Dan Meis, Sharapova merancang fasilitas olahraga di hotel dan resor.
Kesuksesan itu kemudian dibagikan dalam program "Sharapova Women's Entrepreneur Program" yang diadakan atas kerja sama dengan Asosiasi Nasional Perempuan Pemilik Bisnis (NAWBO) di AS. Kisahnya dibagikan Sharapova untuk menjadi inspirasi bagi para perempuan pemilik bisnis.
Pembelajaran itu dilakukan di sela aktivitasnya di dunia tenis, tetapi terutama saat menjalani skors 15 bulan karena doping meldonium. Skors sejak Januari 2016, seusai mengikuti Australia Terbuka itu, menjadi titik nadir dalam kariernya.
Telah 10 tahun menggunakan obat yang mengandung meldonium untuk mengatasi kekurangan magnesium dalam tubuhnya, Sharapova tak mengetahui bahwa zat tersebut digolongkan doping oleh badan anti-doping dunia (WADA) sejak 1 Januari 2016.
Sejak selesai menjalani skors itu pula, Sharapova tak bisa kembali ke permainan terbaiknya. Dia makin tersisih dari komunitas petenis karena cemooh atlet yang tak setuju atas pemberian wild card kepada Sharapova dari panitia turnamen.
Cedera bahu yang membuatnya harus menjalani operasi pada 2019, setelah yang pertama pada 2008, mempersulitnya bersaing dengan petenis-petenis muda berusia 23 tahun ke bawah. Kerusakan tendon pada bahu kanan menjalar hingga membuat lengan bawahnya bengkak. Rasa sakit, bahkan membuatnya kesulitan memegang raket.
"Dalam enam bulan terkahir, selama 14 jam setiap hari, aktivitas saya adalah untuk menghilangkan sakit. Tubuh saya selalu terhubung ke mesin atau alat-alat lain sebagai bagian dari terapi."
Meski awal 2020 pernah menyatakan tekad kembali ke persaingan level atas—Sharapova terinspirasi Nadal yang masih bisa menjadi petenis nomor satu dunia meski sering cedera—dia akhirnya menyerah pada tubuhnya.
Ketekunan yang telah mengantarkannya menjadi juara Grand Slam, petenis nomor satu dunia, dan pebisnis sukses, kali ini, seolah membawanya ke arah yang salah. Semua yang dilakukan untuk kembali ke arena tenis tak memberi hasil.
Dalam tiga Grand Slam terakhir, Sharapova tersingkir pada babak pertama, termasuk saat melawan Donna Vekic di Australia Terbuka, Januari. Itu menjadi penampilan terakhirnya di lapangan tenis.
Perpisahannya dari dunia tenis diwarnai dengan keberhasilan menjadi atlet putri berpenghasilan terbesar nomor dua (325 juta dollar AS), di belakang Serena dengan 350 juta dollar AS. Semua itu berawal dari talenta, motivasi, dan kerja keras yang pertama kali dilihat Eisenbud di salah satu lapangan Akademi IMG, 12 tahun lalu.
hebat
BalasHapus