Saya selalu duduk di barisan depan untuk menonton serial televisi The Time Tunnel, yang diputar TVRI tahun 1980-an. Film ini menuntun imajinasi saya untuk seolah-olah menjelajah waktu.
Pada episode pertama, dua tokohnya, Dr Tony Newman (James Darren) dan Dr Dough Phillips (Robert Colbert), melintasi terowongan waktu dan terlempar ke atas kapal Titanic yang sedang berlayar di Samudra Atlantik.
Mesin waktu yang mereka ciptakan dalam satu proyek bernama Tic-Toc Project berhasil melemparkan keduanya ke beberapa tahun sebelum waktu sekarang. Film seri ini mulai diproduksi tahun 1966, sedangkan tragedi Titanic terjadi pada 14-15 April 1912. Sejarah kemudian mencatat, tidak kurang dari 1.514 orang mati tenggelam dalam pelayaran perdana kapal mewah itu.
Dalam episode berikut, Newman dan Phillips kemudian terlibat dalam usaha mencegah pembunuhan terhadap Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, yang terjadi pada 14 April 1865. Mengapa tanggal kedua tragedi ini hampir bersamaan? Mungkin itulah misteri waktu yang tersisa. Dalam sejarahnya, Lincoln ditembak dari belakang oleh John Wilkes Booth saat menonton pementasan drama Our American Cousin di Teater Ford Washington DC.
Dalam dua seri pertama ini, kita diajak kembali menuju 108 dan 155 tahun yang silam. Hebatnya, dalam imajinasi pembuat film The Time Tunnel, selalu muncul gairah yang menggebu-gebu untuk mengoreksi atau sedapat mungkin memperbaiki realitas. Mungkin gairah itu pulalah yang membuat saya terpincut selalunongkrong di teras rumah tetangga untuk menanti jam tayang The Time Tunnel.
Pada sisi lain, sebagai remaja kencur yang belum genap 15 tahun, saya sudah banyak mendengar dan diajak menonton wayang oleh Bapak, terutama tentang kisah-kisah Bhatara Kala.
Setidaknya dalam wayang diceritakan, Bhatara Kala diberi keleluasaan memangsa anak-anak yang lahir pada hari Tumpek Wayang. Selain itu, oleh Dewa Siwa, Bhatara Kala juga diberikan kelonggaran untuk memangsa mereka yang berjalan-jalan tepat di tengah hari pada saat yang sama.
Tumpek Wayang tak lain salah satu hari suci yang jatuh pada pertemuan tiga hari dalam perhitungan penanggalan Bali, yakni Saniscara, Kliwon, Wayang. Saniscara atau Sabtu adalah hari terakhir dalam perhitungan kalender Saptawara; Kliwon hari terakhir dalam kalender Pancawara; dan Wayang menjadi wuku (hari) terakhir dalam pawukon. Oleh sebab itu, Tumpek Wayang sesungguhnya hari-hari peralihan waktu yang keramat dan menegangkan.
Anak-anak yang lahir pada saat Tumpek Wayang (peralihan waktu) dianggap membawa penderitaan dan akan menyusahkan orang lain. Oleh sebab itulah, ajaran dalam tradisi mensyaratkan agar mereka diupacarai dengan menanggap wayang yang mementaskan lakon Sapuh Leger. Secara populer dimaknakan agar mereka terhindar dari pengejaran oleh Bhatara Kala.
Jika The Time Tunnel berusaha menjelajah waktu untuk kemudian memperbaiki realitas tragedi menjadi keselamatan bersama dengan medium teknologi, Tumpek Wayang menyarankan secara mitologis untuk memperbaiki karakter manusia agar terhindar dari "perburuan" Sang Kala.
Keduanya sebenarnya menggunakan kekuatan imajinasi untuk "menaklukkan" waktu. Bukankah mitos dan film (science fiction) senantiasa menggunakan kekuatan imajinasi untuk menjelajah ruang dan waktu?
Hari ini umat Hindu di Indonesia sedang memperingati hari raya Nyepi. Pada 25 Maret 2020 sejak pukul 06.00 sampai keesokan harinya, 26 Maret 2020 pukul 06.00, umat menjalankan Catur Brata Panyepian.
Selain berpantang bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati gni), dan berpuasa (amati lelungan), warga juga benar-benar diharuskan tidak bepergian (amati lelungaan). Keempat kewajiban saat memasuki Nyepi ini tidak saja berlaku dalam dimensi sosial-ekonomi, tetapi juga dalam dimensi spiritual.
Manusia diharapkan mampu mengendalikan api (hawa nafsu) di dalam diri; mematikan sifat-sifat angkara murka, serakah, mengonsumsi hiburan secara berlebihan; serta melakukan tapa brata (berpantang) mereguk kenikmatan duniawi. Keesokan harinya, tepat pada tahun baru, manusia (diharapkan) terlahir kembali sebagai manusia baru yang diliputi sifat-sifat keilahian.
Nyepi sesungguhnya juga soal waktu yang sedang memasuki masa transisi. Tahun 2020 ini, Nyepi menjadi transisi dari tahun Saka 1941 memasuki tahun Saka 1942 dan selalu jatuh padasasih (bulan) kesanga (kesembilan).
Sasih kesanga dalam sistem penanggalan Saka menjadi bulan terakhir karena memiliki nilai tertinggi. Bulan-bulan ini biasanya ditandai berbagai peristiwa yang mengguncang tatanan hidup manusia.
Ketika memasuki sasih kedasa(kesepuluh), sasih jyestha (kesebelas), dan sasih sada (kedua belas), penghitungan bulan dianggap dimulai dari pertama kembali karena angka 10 jika dijumlahkan nilainya satu. Oleh sebab itulah, angka sembilan dianggap sebagai nilai tertinggi.
Sebenarnya Nyepi, The Time Tunnel, dan mitos Bhatara Kala "dikreasi" manusia dengan pembacaan terhadap tanda-tanda semesta untuk kemudian digunakan sebagai medium dalam menjelajah waktu.
Nyepi selalu dihasratkan untuk memberikan kesempatan kepada alam semesta serta segala makhluk di dalamnya mengharmonisasi kembali tali relasi yang telah berlangsung selama berjuta-juta tahun.
Relasi dalam tuntunan ajaran lokal disebut Tri Hita Karana (relasi harmoni antara manusia dan Tuhan, alam/makhluk lain, serta manusia lainnya). Saat Nyepi, harmonisasi itu bahkan "harus" dilakukan secara ekstrem, yakni menghentikan waktu dan mengembalikan tatanan kehidupan ke titik nol.
Hari-hari belakangan ini, kita banyak mendengar imbauan agar kita melakukan social distancing, bahkan berada di rumah, selama masa tanggap darurat serangan virus korona baru.
Di ranah media sosial diluncurkan tagar #dirumahaja untuk memberi peringatan kepada warganet agar berdiam sejenak, "menaklukkan" waktu dengan cara "sederhana" #dirumahaja.
Pemerintah bahkan memberi petunjuk agar masyarakat bekerja dari rumah, yang kemudian populer dengan sebutan work from home (WFH), serta beribadah dari rumah.
Realitas ini mengingatkan kita pada Nyepi, tinggalan tradisi yang dimodifikasi. Jika saat Nyepi orang sama sekali dilarang melakukan kontak sosial dan hanya khusyuk pada diri sendiri, pada saat pandemi Covid-19, kontak sosial diberi jarak serta masih bisa melakukan pekerjaan dari rumah.
Sebenarnya, secara substansial, tidak bekerja atau bekerja dari rumah serta menahan diri tidak bepergian juga bisa digolongkan ke dalam laku ibadah.
Kita sedang melakukan ibadah sosial untuk tujuan memutus mata rantai penyebaran virus korona baru. Memutus keterhubungan dengan orang lain bisa juga bermakna "menghentikan" waktu untuk sementara, untuk membangun kegairahan sosial baru dalam beberapa hari ke depan sampai situasi benar-benar memungkinkan.
Jika imajinasi kita saja cukup kuat di masa lalu, sehingga mampu melahirkan mitologi Bhatara Kala, film seri The Time Tunnel, serta banyak film sci-fi yang mengikutinya kemudian, tentulah dengan internet kita bisa menjelajah waktu dengan lebih leluasa. Keterhubungan itu bisa dijalin dengan berbagai aplikasi di dunia digital sehingga keterpisahan secara fisik tetap bisa dijalin dalam ranah virtual.
Waktu itu seperti Bhatara Kala, yang memburu orang-orang yang lahir pada peralihan hari, dan karena itu kita membutuhkan "upacara" untuk menjinakkannya.
Orang-orang tradisional perlu membunyikan lesung untuk "melawan" upaya Bhatara Kala menelan bulan pada saat terjadi gerhana. Kini, kita orang-orang modern, cukup menahan diri agar tidak berkerumun yang bisa mempermudah penyebaran virus korona baru.
Kuncinya memang terletak pada seberapa besar kemampuan kita dalam mengelola waktu. Jika Nyepi bermakna menghentikan waktu untuk kemudian melahirkan gairah baru dalam kehidupan kultural dan sosial, seharusnya dengan melakukan social distancing, kita berjarak sementara agar tidak menjadi karier dalam penyebaran Covid-19.
Dalam "penghentian" keterikatan sosial itulah sesungguhnya kita diberi kesempatan khusyuk pada diri sendiri. Ini waktu yang baik untuk memikirkan ulang tentang banyak hal, yang barangkali membawa kita terlalu jauh tersesat dari jalan kebenaran.
Begitulah Nyepi selalu diperingati dari tahun ke tahun sejak tahun 78 dalam kalender Masehi. Ia sebenarnya berkelindan erat dengan perayaan tahun baru, tetapi tidak diperingati dalam satu pesta yang megah, tetapi justru kembali ke dalam diri; menyepi untuk menggali potensi diri untuk memaksimalkan kreativitas di hari-hari kemudian.
Film The Time Tunnel yang diciptakan Irwin Allen bisa menjadi semacam titik berangkat bagi dunia sains untuk menjelajah waktu dan memperbarui kehadiran manusia agar terbebaskan dari penderitaan.
Bukankah sesungguhnya kita sudah punya perangkat cukup kuat, mulai dari mitologi, tradisi, imajinasi, sampai sains, untuk melewati hari-hari yang penuh ketakutan dan ketegangan belakangan ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar