Suatu hari Romo Ageng bercerita.
"Kiranya setiap zaman membutuhkan seorang nabi." Begitu, ia mengawali ceritanya. Yang dimaksud dengan "nabi" di sini bukan dalam arti yang sebenarnya, sekurang-kurangnya menurut kamus, yakni orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya (KBBI).
Definisi lain. Nabi adalah seseorang yang dipilih secara langsung oleh Tuhan untuk menerima Sabda-Nya, yang biasanya melalui mimpi atau penglihatan. Seorang nabi memiliki keberanian ilahi. Ia tidak takut terhadap berbagai ancaman atau perlawanan yang akan dialaminya. Ia memiliki karakter luar biasa, pikiran besar, dan jiwa gagah berani (Selvester M Tacoy: 2012).
Tentu, yang dimaksudkan oleh Romo Ageng bukan nabi seperti itu, meskipun harus tetap memiliki sifat sebagai reformator dan negarawan. Melainkan, nabi yang bisa melihat keadaan sosial masyarakat, keadaan dunia senyatanya. Nut zaman kelakone, mengikuti kehendak zaman. Tidak hanya mampu melihat, tetapi bahkan mampu menyusup, menyelam masuk lebih dalam ke tengah masyarakat dunia untuk menemukan inti persoalan yang dihadapi warga dunia, warga masyarakat.
Setelah mengetahui apa yang terjadi, asal-muasalnya, lalu menganalisisnya, membuat diskresi, dan tanpa ragu-ragu mengatakan kepada masyarakat, termasuk juga memperingatkan kepada masyarakat akan bahaya yang akan terjadi. Tidak hanya menunjukkan adanya bahaya-bahayanya, tetapi juga menuntun ke jalan keselamatan atau jalan bagaimana terhindar dari bencana.
Ia tidak menyerah menghadapi tantangan zaman dan tampil sebagai pemenang. Mewujudkan visi dan mendirikannya dalam bangunan yang kokoh. Tindakannya menginspirasi dunia dan menentukan arah sejarah. Mungkin, tindakan semacam itu tidak populer. Dan, jangan-jangan malah akan menjadi korban kenabiannya. Nasihat-nasihatnya mungkin tidak dianggap, ibarat kata berteriak-teriak di padang gurun.
"Jadi, nabi akan selalu lahir dari rahim zaman," kata Romo Ageng lagi.
Sejarah menceritakan, feodalisme yang melahirkan sistem kelas dalam masyarakat—kelas penguasa, ningrat, borjuis, aristokrat, dan kelas bawah yang terdiri atas buruh, petani, dan hamba—dan triumphalisme Gereja di masa lalu, melahirkan tokoh yang bertekad meninggalkan sistem dan cara hidup yang tidak manusiawi, dan mengkhianati keluhuran agama. Dialah Fransiskus Asisi (1181/1182-1226), dari keluarga kaya raya, memilih meninggalkan kekayaan, kenikmatan, keduniawian, dan memeluk kemiskinan untuk melayani sesama.
Tokoh inilah yang pada tahun 1219 bertemu Sultan Malik al-Kamil, keponakan Salahuddin, di Damietta, Mesir, untuk mengakhiri Perang Salib yang sudah berkecamuk lebih dari satu abad. Pertemuan ini yang antara lain menginspirasi pertemuan Paus Fransiskus dan Ulama Besar Al-Azhar Sheikh Ahmad Muhammad al-Tayyib, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (2019).
Di zaman lain, muncul tokoh bernama Victor Marie Hugo (1802-1885). Ia seorang pengarang zaman Romantik Perancis yang sangat terkenal karena karya-karya puisi dan novelnya, termasuk novel The Hunchback of Notre Dame atau Si Bongkok dari Notre Dame (1831) dan Les Miserablesatau Orang Buangan (1862). DenganLes Misarables, Hugo ingin menceritakan sekaligus melancarkan kritik sosial terhadap ketidakadilan yang begitu membabi buta di Perancis pada masa itu.
Padahal, sebelumnya Perancis sudah dikoyak oleh revolusi. Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor. Penyebab utamanya pelecehan orang oleh sistem pemerintahan yang ada: praktik-praktik ancien regime. Malapraktik ini menghancurkan kebebasan mendasar dan kemerdekaan rakyat. Ketidakadilan sosial, ketimpangan, salah urus sosial-ekonomi dan politik, despotisme, krisis keuangan dan perpajakan yang tidak adil yang antara lain memunculkan kektidakpuasan akut yang mendorong pecahnya revolusi.
Revolusi telah menghancurkan dominasi, penekanan, dan pemaksaan dari monarki, feodalisme, aristokrasi, dan Gereja Katolik. Digantikan oleh prinsip-prinsip liberté, égalité, danfraternité; kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Selain itu, di bidang ekonomi menyebabkan penghapusan sistem pajak feodal, pengembangan industri modern, keluarnya sistem perdagangan bebas dan keadilan dalam sistem perpajakan. Revolusi Perancis sosial-budaya telah mengakibatkan penghapusan feodalisme, munculnya masyarakat baru orang-orang tanpa kelas, upaya untuk mendistribusikan pendidikan dan pengajaran, keberadaan kebebasan beragama, dan langkah-langkah yang diambil banyak negara lain.
Pada masa yang hampir bersamaan, di Inggris terjadi Revolusi Industri. Revolusi Industri dimulai pada abad ke-18, ketika masyarakat pertanian menjadi lebih maju dan urban. Kereta api lintas benua, mesin uap (James Watt sebagai penyempurna), listrik (Michael Faraday), dan penemuan-penemuan lainnya mengubah masyarakat secara permanen. Revolusi Industri telah memengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat global.
Revolusi Industri selain membawa kemajuan, juga memberikan dampak sosial yang sangat nyata. Berkembanganya industri di kota-kota besar telah mendorong urbanisasi besar-besaran, petani meninggalkan sawah dan ladang. Mereka memilih kerja di pabrik. Buruh melimpah; upah rendah. Memunculkan golongan pengusaha dan buruh yang kesenjangannya makin lama makin lebar. Kondisi seperti ini sering menimbulkan ketegangan lalu pemogokan kerja. Kemudian memunculkan Revolusi Sosial (1820) dikobarkan penduduk kota yang miskin.
Kondisi seperti itu ditangkap oleh Charles Dickens (1812-1870), seorang novelis yang kemudian antara lain menulis novel Oliver Twist. Meskipun masih mengandung banyak komedi,Oliver Twist lebih memusatkan perhatiannya pada kejahatan sosial dan moral di tempat kerja dan dunia kriminal.
Novel karya Charles Dickens diterbitkan berseri-seri dengan nama samaran "Boz" dari tahun 1837 hingga 1839 di Bentley's Miscellany dan dalam sebuah buku tiga jilid pada tahun 1838. Novel ini adalah karya penulis pertama yang menggambarkan secara realistis dunia bawah tanah London yang miskin dan untuk mengilustrasikan keyakinannya bahwa kemiskinan mengarah pada kejahatan. Charles Dickens fasih bercerita tentang kemiskinan karena ia sendiri mengalaminya. Dengan demikian,Oliver Twist menjadi wahana kritik sosial yang ditujukan langsung pada masalah kemiskinan di London abad ke-19.
Di belahan dunia lain, Amerika, muncullah Harriet Beecher Stowe (1811-1896), pengarang dan filantropis, yang menangkap kondisi masyarakat Amerika, yang rasialis. Lewat karya kondanganya novel Uncle Tom's Cabin atau Life Among the Lowl,novelis perempuan ini mengkritik praktik perbudakan yang keji di negaranya.
Novel Stowe mengisahkan Uncle Tom(Paman Tom), seorang budak kulit hitam yang suci dan bermartabat. Saat diangkut dengan perahu ke pelelangan di New Orleans, Tom menyelamatkan nyawa seorang gadis, Little Eva. Karena bahagia, bersyukur, dan sebagai tanda terima kasih, ayah Eva, kemudian membeli Tom. Eva dan Tom segera menjadi teman baik.
Dikisahkan, kesehatan Eva yang selalu kurang bagus, mulai menurun dengan cepat. Di ranjang kematiannya Eva meminta ayahnya untuk membebaskan semua budaknya. Permintaan Eva itu diterima ayahnya. Ia berencana memenuhi permintaan Eva, tetapi sebelum hal itu terlaksana, ia dibunuh. Tom akhirnya punya majikan baru, Simon Legree yang brutal. Legree mencambuk Tom sampai mati karena menolak untuk memberitahukan keberadaan seorang budak yang melarikan diri.
Bumi Eropa masih bergolak. Di awal abad ke-20 pecah revolusi di Rusia. Revolusi (1917) diawali rasa tidak puas terhadap pemerintah otokrasi Tsar. Rasa tidak puas itu merata hampir di semua golongan masyarakat di kalangan petani yang haus tanah, kaum industriawan baru, jajaran bawahan di angkatan bersenjata, kaum terpelajar yang tertekan, minoritas-minoritas kebangsaan dan keagamaan yang tertindas, serta sebagian besar kaum borjuis dan kaum ningrat. Situasi seperti itu ditangkap oleh Vladimir Lenin (1870-1924), yang kemudian menjadi tokoh politik paling berpengaruh dalam perkembangan Revolusi Rusia.
Sebelum mengobarkan Revolusi Rusia, Lenin mengadopsi pemikiran Karl Marx. Lenin menjadikan pemikiran Marx sebagai bagian integral dalam ideologi revolusioner menyeluruh sebuah gerakan yang akan menjadi sistem kekuasaan totaliter paling dahsyat yang dikenal umat manusia sampai sekarang (Franz Magnis-Suseno: 1999).
Menurut Franz Magnis, pemikiran Marx sebagai sebuah ideologi perjuangan politis, menyemangati sebagian besar gerakan buruh sejak akhir abad ke-19 dan pada abad ke-20, mendasari kebanyakan gerakan pembebasan sosial.
Namun, impian dan cita-cita Lenin yang membawa buah pemikiran Marx, pada akhirnya bangkrut di tangan Mikhail Gorbachev pada pengujung abad ke-20. "Bukankah setiap zaman melahirkan "nabi"-nya sendiri-sendiri, entah itu seorang filsuf, tokoh politik, pejabat, penemu, ilmuwan, pengarang, dan mungkin rakyat biasa sesuai dengan kondisi rahim zamannya," kata Romo Ageng.
"Apakah zaman ini, zaman yang mungkin oleh Ronggowarsito disebutKalabendu dan oleh Ki Narta Sabda disebut Zaman Kali Mataya, karena sepak terjang Covid-19, akan melahirkan 'nabi' baru, Romo?"
Mendengar pertanyaan itu, Romo Ageng menjawab, "Kita lihat saja, apakah zaman ini akan melahirkan tata nilai kehidupan baru atau tidak, termasuk tata nilai dalam bernegara, bermasyarakat, bahkan juga tata nilai dalam beragama. Apakah ibadat-ibadat virtual menjadi jawaban cara beragama zaman sekarang? Kita semua mengalami, pandemi virus ini telah menghilangkan kedekatan antar-manusia. Apakah setelah pandemi ini bisa dikalahkah, hubungan antarmanusia, sekurang-kurangnya manusia Indonesia, menjadi lebih baik, lebih saling peduli, tidak lagi mementingkan diri, tidak berupaya dengan berbagai cara untuk menimbulkan perpecahan, namun bisa bersama-sama saling berbagai harapan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar