Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2020

CATATAN IPTEK: Kepemimpinan Antisains (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, wartawan Kompas

Ilmu pengetahuan telah berkembang pesat sejak pandemi flu spanyol menewaskan 50 juta-100 juta warga dunia pada 1918/1919. Namun, sistem birokasi dan politik kita tidak beranjak dewasa, bahkan cenderung melemahkan kemampuan sains dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Serangan SARS-CoV-2 yang memicu wabah Covid-19 itu telah membuka bopeng tersebut. Amerika menjadi contoh nyata. Negara terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan itu kini babak belur dihajar Covid-19.

Amerika Serikat sekarang memiliki kasus Covid-19 terbesar di dunia, yaitu 560.300 orang positif dan 22.105 korban jiwa hingga Selasa (14/4/2020). Dengan jumlah korban jiwa 1.500 sampai 2.000 orang per hari, Covid-19 telah menjadi penyebab kematian harian nomor satu, mengalahkan serangan jantung, kanker, dan stroke.

Seperti ditulis Washington Post(5/4/2020), kegagalan birokrasi yang dipimpin Presiden Donald Trump menyebabkan AS kehilangan kesempatan memitigasi wabah. Masalah ini bermula dari buruknya penapisan atau pemeriksaan spesimen untuk memisahkan orang yang terinfeksi dan yang sehat.

Sekalipun saat ini AS telah memeriksa 2,8 juta spesimen atau 8.557 spesimen per 1 juta penduduk, jumlah ini dianggap masih kurang. Di California saja, antrean spesimen yang menunggu diperiksa mencapai 57.000 pada akhir Maret 2020. Majalah Nature(9/4/2020) menyebutkan, banyak laboratorium akademik di AS yang siap dan mampu mendiagnosis tidak digerakkan, bahkan ditolak saat mengulurkan bantuan karena sistem yang terpusat dan birokrasi yang buruk.

Selama periode Januari hingga Februari 2020, Trump menyangkal korona sebagai ancaman dan secara kontroversial dia menyebutkan, "virus dari China itu, secara ajaib akan hilang sendiri." Trump memang dikenal sebagai pemimpin antisains, termasuk di antaranya menyangkal perubahan iklim.

Sikap antisains juga ditunjukkan Trump dan para pendukung fanatiknya dalam menghadapi wabah, di antaranya memicu xenofobia, teori konspirasi, hingga menggelorakan doa-doa. Mereka juga menyangkal risiko Covid-19 sehingga lamban menyiapkan diri.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Anggota satpol PP memasang pemberitahuan penutupan aktivitas perdagangan di Pasar Senen Inpres Blok VI, Jakarta Pusat, Selasa (14/4/2020). Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta telah memasuki hari kelima. Pengetatan pengawasan PSBB dan disiplin warga dalam menjalankan PSBB perlu ditingkatkan karena masih banyak warga yang tetap beraktivitas di luar rumah. PSBB diharapkan dapat efektif dalam menekan penyebaran virus korona baru penyebab Covid-19.

Watak kepemimpinan di AS yang antisains menyerupai Indonesia. Mulai dari penyangkalan dan meremehkan risiko, narasi Indonesia aman karena kekuatan doa, kebal dan tropis, hingga pengangkatan duta imunitas korona. Seperti di AS, antrean pemeriksaan spesimen korona juga menjadi kelemahan utama kita.

Bahkan, dibandingkan dengan AS, kemampuan pemeriksaan Covid-19 di Indonesia jauh lebih rendah. Kita sejauh ini baru memeriksa 27.953 spesimen atau 102 per 1 juta penduduk. Jumlah ini termasuk yang terendah di dunia. Di Asia, kita hanya lebih baik dibandingkan dengan Bangladesh yang baru memeriksa 80 spesimen per 1 juta populasi.

Dengan kondisi saat ini, banyak pasien telah meninggal sebelum dites dan angkanya dikhawatirkan terus bertambah seiring dengan peningkatan kasus infeksi yang tak diketahui. Namun, tawaran Perkumpulan Biologi Medik Indonesia (PBMI) untuk membantu pemeriksaan masih terbentur birokrasi (Kompas, 7/4/2020).

Berada di jajaran AS, negara-negara maju dalam hal ilmu pengetahuan yang dianggap gagal mengatasi Covid-19, dengan indikasi banyaknya korban jiwa per populasi, adalah Italia, Spanyol, Perancis, dan Inggris. Di titik sebaliknya, terdapat negara yang dianggap sukses menekan angka kematian, yaitu Taiwan, Finlandia, Islandia, Denmark, Selandia Baru, hingga Jerman.

Menariknya, semua negara ini dipimpin oleh perempuan. Di luar negara yang dipimpin perempuan ini, juga terdapat Singapura dan Vietnam.

Menurut catatan Forbes (13/4/2020), kunci sukses pemimpin perempuan ini menghadapi pandemi adalah tidak meremehkan risiko, tegas, dan memberi keteladanan. Dengan tiga karakter, para pemimpin ini sejak dini mengerahkan segala sumber daya dan sains yang dimiliki untuk melawan pandemi.

Tsai Ing-wen dari Taiwan, misalnya, sejak wabah merebak di China daratan pada awal Januari 2020 telah memperkenalkan 124 langkah untuk memblokade penyebaran. Kini, saat negara lain masih berjuang menghadapi pandemi, Taiwan nyaris terbebas, bahkan telah mengirim 10 juta masker ke AS dan Eropa. Sejauh ini, hanya enam kematian akibat Covid-19 tercatat di negeri itu.

Jacinda Ardern di Selandia Baru juga menerapkan kewaspadaan maksimum dengan memberlakukan isolasi diri pada orang-orang yang memasuki Selandia Baru ketika hanya ada 6 kasus di seluruh negeri dan melarang orang asing masuk sepenuhnya segera setelah itu. Kejelasan dan ketegasan menyelamatkan Selandia Baru dari badai. Hingga pertengahan April, mereka hanya menderita 4 kematian dan saat negara-negara lain berbicara tentang mencabut pembatasan, Ardern justru menambah karantina menjadi 14 hari lagi.

Pandemi Covid-19 memang membahayakan dan mematikan. Namun, kegagalan birokrasi karena kepemimpinan yang populis dan antisains menjadikan pandemi ini lebih mematikan.

Data yang dilaporkan Gugus Tugas Percepatan Penaganan Covid-19 per Selasa, 14 April 2020, pukul 12.00.

Kompas, 15 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger