Belajar dari krisis 1997-1998, pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terlihat betul berupaya agar sistem perbankan tidak ambruk akibat meningkatnya kredit bermasalah dan gejolak pasar keuangan, menyusul terjadinya wabah Covid-19 yang membuat perekonomian berantakan.
Jika tak dimitigasi sedini mungkin, pandemi Covid-19 tentu saja bisa meluluhlantakkan sistem perbankan, bahkan bisa jauh lebih parah, mengingat skalanya yang global dan menghantam seluruh sektor perekonomian dari sisi produksi dan konsumsi sekaligus.
Karena itulah, melalui Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, pemerintah dan KSSK melakukan berbagai relaksasi kebijakan dan memberikan banyak stimulus untuk menjaga stabilitas sistem perbankan dan keuangan di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan bakal berakhir.
Stimulus dan relaksasi kebijakan yang diberikan antara lain penurunan suku bunga acuan, meningkatkan intensitastriple intervention untuk menjaga nilai tukar, menurunkan giro wajib minimum, memperpanjang tenor repo surat berharga negara (SBN), serta melonggarkan penilaian kualitas kredit dan aturan restrukturisasi kredit.
Kebijakan relaksasi penilaian kualitas kredit dan restrukturisasi kredit yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di samping meringankan beban debitor UMKM yang terdampak Covid-19, juga menyelamatkan bank dari tekanan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL).
Dengan adanya kebijakan tersebut, debitor bisa menunda pembayaran selama 6-12 bulan, tetapi kualitas kredit tetap dianggap lancar. Dalam kondisi normal, pembayaran cicilan yang tak lancar akan dicatat sebagai kredit bermasalah oleh bank. Konsekuensinya, bank harus melakukan pencadangan yang berpotensi menggerus modal dan keuntungan.
Kebijakan OJK tersebut akan membuat tingkat NPL perbankan tetap berada di level yang aman, yakni di bawah 5 persen. Per Februari 2020, NPL perbankan nasional 2,79 persen. Seiring dengan itu, modal bank akan tetap kuat, dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan nasional per Februari 2020 sebesar 22,42 persen.
Meskipun tak berpengaruh terhadap NPL dan CAR perbankan, penundaan pembayaran kredit oleh debitor tetap akan memengaruhi likuiditas dan keuntungan perbankan. Karena debitor menunda pembayaran, maka konsekuensinya perbankan tidak mendapatkan likuiditas dari pengembalian kredit. Ketiadaan likuiditas ini pada gilirannya membuat bank tidak bisa menyalurkan kredit.
Penundaan pembayaran juga membuat bank kehilangan pendapatan bunga (forgone interest revenue) selama periode restrukturisasi. Semakin banyak debitor yang menunda pembayaran, semakin besar pendapatan bunga yang hilang. Ini pada akhirnya akan menggerus keuntungan bank.
Karena itulah, laba perbankan pada 2020 kemungkinan besar akan menyusut dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2019, laba bersih perbankan nasional mencapai Rp 156,5 triliun.
Apabila hanya sebagian kecil debitor yang menunda pembayaran atau meminta restrukturisasi kredit, mungkin bukan masalah besar, mengingat perbankan masih memiliki modal yang cukup memadai untuk menutup biaya operasional, terutama gaji karyawan.
Namun, persoalannya, jika berkepanjangan, wabah Covid-19 akan berimbas pada hampir semua sektor ekonomi. Artinya, ini akan membuat sebagian besar debitor perbankan terdampak Covid-19, baik secara langsung maupun tidak langsung.
KSSK jelas menyadari, perbankan tak akan kuat bertahan jika debitor-debitor besar juga mulai meminta restrukturisasi atau penundaan pembayaran cicilan kredit.
Untuk memitigasi risiko ini, pemerintah pun menyiapkan dana Rp 150 triliun sebagai program pemulihan ekonomi nasional. Dana tersebut, sesuai dengan Perppu No 1/2020, bisa dipinjam dari Bank Indonesia. Sebagai otoritas moneter, BI akan menciptakan uang untuk kebutuhan tersebut sehingga uang beredar berpotensi meningkat signifikan.
Sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Perppu No 1/2020, pemerintah berutang kepada BI dengan cara menerbitkan surat utang yang kemudian dibeli BI. Karena diterbitkan untuk penanggulangan pandemi Covid-19, surat utang itu dinamakanpandemic bond.
Dana tersebut, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, bisa dipakai dalam berbagai bentuk dalam rangka memulihkan ekonomi nasional. Bentuknya, antara lain, sebagai penyertaan modal pemerintah, penempatan dana pemerintah, investasi pemerintah, dan program penjaminan.
Melalui skema penempatan dana, pemerintah bisa menggunakan danapandemic bond untuk disalurkan sebagai kredit melalui perbankan. Bantuan kredit dari pemerintah diperlukan karena bank sedang kesulitan likuiditas.
Dengan adanya bantuan kredit dari pemerintah, bank bisa menyalurkan kredit baru kepada debitornya. Harapannya, dengan suntikan modal tersebut, korporasi tak perlu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya dan juga bisa memanfaatkannya sebagai modal kerja untuk memutar kembali roda bisnis.
Kredit yang disalurkan tentu saja berbunga sangat ringan, sebagai insentif untuk dunia usaha. Mekanisme pembayaran cicilan dan tenornya juga akan dibuat seringan mungkin agar tidak memberatkan debitor.
Sri Mulyani memastikan pemerintah dan OJK akan mengawasi penyaluran kredit ini agar tidak menimbulkanmoral hazard. Pemerintah dan OJK akan memberikan rambu-rambu kepada siapa saja kredit bisa diberikan. Selain terdampak Covid-19, korporasi yang mendapatkan kredit harus memiliki tata kelola yang baik, patuh membayar pajak, tidak melakukan PHK, dan memiliki rekam jejak yang bagus.
Sri juga meminta, bank yang menyalurkan juga menanggung risiko sehingga bank akan benar-benarprudent dalam menjalankan program ini. Misalnya, bank harus menanggung sebagian kredit yang disalurkan.
Jika tak ada penyelewengan dalam penyaluran bantuan kredit pemerintah ini, pemulihan ekonomi niscaya akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Namun, jika terjadi penyelewengan, tentu akan terus dikritisi meski perppu telah menyatakan, biaya pemulihan ekonomi ini bukanlah kerugian negara sehingga pejabat negara yang mengambil kebijakan tidak bisa dipidanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar