Socrates yang lahir pada tahun 470 SM di Alopeca, sebuah dusun di Attica, Athena adalah putra pasangan Sofronisco (seorang pematung) dan Fenareta (seorang bidan). Dari pasangan pematung dan bidan itu, lahirlah seorang filsuf kondang yang kemudian hari melahirkan filsuf-filsuf kondang pula seperti Platon.
Salah satu yang menarik dari Socrates adalah kisah kematiannya. Kematian Socrates begitu tragis, menurut cerita. Di kemudian hari, kematiannya mengungkapkan penghormatan klasik terhadap negara. Kepentingan negara nomor satu, melampaui kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, dan kepentingan apapun.
Suatu hari, pada tahun 399, Socrates diadili, karena dianggap tidak mau berkolaborasi dengan penguasa. Ia justru membongkar kemunafikan dan korupi pemerintah kota Athena. Ada dua tuduhan yang dijatuhkan padanya: tidak menghormati dewa-dewa tetapi malah memperkenalkan dewa baru dan merusak kaum muda.
Di akhir sidang, Socrates dijatuhi hukuman mati (60 dari 65 orang yang hadir di sidang mendukung Socrates dihukum mati). Setelah dijatuhi hukuman mati—menunggu pelaksanaan eksekusi—teman-temannya mendesak agar Socrates menyuap sipir dan melarikan diri. Mereka mengatakan, bukankah dengan melarikan diri tetap bisa mengecam dan mengkritik penguasa dari tempat pelarian?
Namun, Socrates menolak sepenuh hati saran teman-temannya itu. Menurut Socrates, menyuap sipir dan melarikan diri bertentangan dengan hukum dan prinsip kota. Ia tidak peduli akan nasibnya. Walau, hidupnya harus berakhir dengan kematian.
Sikap dan prinsip Socrates itu menunjukkan bahwa bagi dia, negara dan aturannya (hukumnya) lebih penting dari siapa pun, termasuk dirinya sendiri yang adalah filsuf terkemuka, meskipun ia merasakan bahwa hukuman itu salah. Akhirnya, ia meminum racun, sesuai keputusan pengadilan. Dan, mati! (Stephen Law; 2007).
Keputusan Socrates—mengacu pada pendapat Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik—telah membuktikan secara jelas, perbedaan antara manusia (binatang politik) dan binatang lainnya. Manusia mampu menyingkirkan kepentingan diri demi kepentingan yang lebih besar, yakni negara dan hukum (aturan).
Hal lain, yang membedakan "binatang politik" dengan binatang lain—selain kemampuan kita berbicara—adalah kemampuan untuk membedakan apa yang adil dan tidak adil, yang baik dan jahat, jujur dan tidak jujur, dan tentu saja, "binatang politik" memiliki hati nurani.
Di kala negara menghadapi situasi krisis seperti sekarang ini, akan mudah menunjukkan "apa yang benar-benar membedakan 'binatang politik' dan binatang lain." Yang dibutuhkan negeri ini—sekarang ini—adalah "binatang-binatang politik" (manusia-manusia) yang memiliki hati nurani, memiliki rasa kemanusiaan, memiliki rasacompassion, bela rasa, terhadap penderitaan orang lain, yang mau menyingsingkan lengan bajunya untuk berkerja bahu-membahu, gotong royong dengan orang lain melawan dan menghentikan rantai penyebaran virus Covid-19.
Itu berarti, kepentingan nasional, kepentingan bangsa menjadi nomor satu, menjadi yang utama dan diutamakan. Sebab, Indonesia adalah rumah kita bersama; bukan rumah dia, bukan rumah mereka, bukan rumah kami, apalagi rumah saya! Tetapi, Indonesia adalah Rumah Kita Bersama. Rumah Kita Bersama yang harus senantiasa dijaga bersama, dipertahankan bersama.
"Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua," kata Bung Karno lebih dari 70 tahun silam.
Krisis akan menunjukkan mana pemimpin yang sebenarnya dan mana yang tidak.
Kebersamaan dan semangat persaudaraan menjadi sangat penting, dan bahkan kunci dalam mengahadapi krisis saat ini. Orang selalu mengatakan, seorang pemimpin diuji pada saat menghadapi krisis. Dalam situasi krisis, seorang pemimpin yang buruk, kehancurannya semakin cepat; krisis akan mempercepat ke arah yang negatif karena krisis memiliki kecenderungan melebihkan baik dalam arti positif maupun negatif.
Krisis akan menunjukkan mana pemimpin yang sebenarnya dan mana yang tidak. "Seorang pemimpin yang baik adalah yang bisa membesarkan semangat dan harapan-harapan kepada anak buahnya," begitu kata Napoleon Bonaparte (1769-1821).
Akan tetapi, sebenarnya, yang diuji tidak hanya pemimpin! Tetapi juga semua anggota masyarakat, tentu termasuk juga para politisi, para awak media, penggiat media sosial atau apa pun istilahnya, dan juga mereka yang senang serta memiliki hobi bermedia sosial. Pendek kata, seluruh warga negara diuji.
Ujian tersebut akan membuktikan apakah persatuan dan kesatuan bangsa ini hanya sebatas slogan atau benar-benar nyata? Dalam budaya politik Indonesia dikenal tiga hal penting yakni gotong-royong, musyawarah, dan mufakat. Ketiganya dapat dijadikan sebagai dasar untuk kerekatan dalam berbangsa dan bernegara. Ketiganya menunjukkan adanya persatuan dan kesatuan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ketika begitu banyak orang, banyak pihak, dari pemimpin dalam berbagai strata hingga rakyat jelata, berbagai profesi, tengah berjuang untuk memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19, dengan segala cara, masih juga ada orang-orang, pihak-pihak yang justru melakukan hal sebaliknya.
Misalnya, mengeluarkan penyataan-pernyataan yang sungguh tidak pantas (sekadar cari popularitas, masih terjangkiti "virus kebencian" Pemilu 2019, memanfaatkan situasi untuk kepentingan diri, termasuk bisnis media dengan membuat berita yang tidak membuat teduh, tenang, melainkan justru menimbulkan rasa was-was, kekhawatiran, dan ketakutan), nyinyir terhadap segala apa yang dilakukan pemerintah dan semua pihak, yang bersusah payah dengan penuh pengorbanan berusaha menghentikan wabah ini.
Barangkali orang akan berdalih: ini negara demokrasi. Negara yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi, mengemukakan pendapat. Benar. Tetapi, kebebasan pertama-tama adalah menyangkut soal kemampuan memilih dan menentukan diri sendiri.
"Egomet sum mihi imperator," begitu kata Plautus (205 - 184 SM), seorang penulis zaman Romawi, yang artinya kurang lebih, "Akulah yang menjadi pemimpin bagi diriku sendiri." Di sini sekali lagi menegaskan apakah "aku" itu "binatang politik" yang memiliki tenggang rasa, solidaritas pada sesama, tidak beroritentasi pada diri sendiri, berhati nurani, atau bukan.
Sebab, saat ini yang dibutuhkan adalah kebersamaan, persaudaraan, saling mendukung, solidaritas, yang akan membuahkan ketenangan bukan kegelisahan, kesabaran bukan malah bertindak membabi-buta dan menyalahkan pihak lain.
Mengutip pendapat Ibnu Sina—seorang filsuf, ilmuwan, dan ahli di bidang kedokteran kelahiran Bukhara Uzbekistan (980-1037)—kegelisahan, kepanikan adalah separuh dari penyakit; ketenangan adalah separuh obat; dan kesabaran (tentu sambil terus mencari penyelesaian krisis dan berani mengambil kebijakan politik bagi kesejahteraan, kebaikan bersama) menghadapi masalah ini adalah awal dari kesembuhan.
Kompas, 7 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar