"The Helicopter are coming", begitu Willem H Buiter mengilustrasikan besarnya paket kebijakan banyak negara dalam upaya melawan pandemi korona (Project Syndicate, 26/3/2020). Amerika Serikat telah menyepakati paket kebijakan senilai 2 triliun dollar AS atau setara dengan 9,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sementara Inggris berencana menggelontorkan stimulus paling kurang 7,5 persen dari PDB. Kebijakan ini seperti menebar uang dari atas helikopter untuk membanjiri perekonomian yang tengah sekarat.
Pendekatan big government melalui stimulus, baik di bidang moneter maupun fiskal, ditempuh hampir semua pemerintahan di seluruh dunia. Presiden Joko Widodo baru saja mengumumkan paket stimulus senilai Rp 401,5 triliun atau setara dengan 5,07 persen PDB. Rencana ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk mengantisipasi peningkatan defisit anggaran. Penerbitan perppu diperlukan mengingat Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur defisit tak boleh melewati 3 persen PDB.
Pandemi Covid-19 yang telah menyebar ke lebih dari 200 negara, menginfeksi lebih dari 1 juta orang, dan menewaskan lebih dari 60.000 jiwa di seluruh dunia merupakan kejadian luar biasa yang memerlukan respons kebijakan luar biasa pula. Perppu adalah salah satunya. Defisit di atas 3 persen terhadap PDB diproyeksikan terjadi hingga 2022.
Dari sisi besaran, muncul kritik stimulus yang dikucurkan kurang signifikan. Bandingkan dengan Thailand yang mengalokasikan stimulus10 persen dari PDB, sedangkan Malaysia 15,5 persen PDB. Namun, di sisi lain, muncul juga kritik dana sebesar itu tak diperlukan karena berpotensi diselewengkan. Di luar polemik yang pasti selalu ada di setiap kebijakan penting, langkah presiden menerbitkan perppu merupakan langkah maju yang bisa memberikan kepastian penanganan pandemi Covid-19.
Peran pemerintah
Situasi sekarang ini mirip suasana perang. Kita berhadapan dengan risiko kematian yang pengamanannya ditentukan dengan ketersediaan amunisi tenaga medis di garda terdepan. Selebihnya, berlindung di rumah saja. Upaya pemulihan ekonomi hanya bisa dilakukan ketika situasi telah aman. Sementara ini, kebijakan hanya bisa fokus melindungi para korban yang berjatuhan, baik akibat penyakit maupun imbas kemandekan perekonomian.
Langkah presiden menerbitkan perppu merupakan langkah maju yang bisa memberikan kepastian penanganan pandemi Covid-19.
Formulasi kebijakan memiliki tiga komponen krusial. Pertama, fokus pada penanganan korban dengan cara memberikan dukungan amunisi yang memadai pada tenaga medis di garis depan. Kedua, melindungi masyarakat yang terkena dampak langsung akibat aktivitas ekonomi yang terhenti. Ketiga, merancang rekonstruksi dunia usaha yang porak-poranda akibat perang dengan musuh tak kelihatan ini.
Upaya pemerintah menangani virus korona tipe baru tertuang secara komprehensif dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Total dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun akan dialokasikan di bidang kesehatan sebesar Rp 75 triliun, perlindungan sosial Rp 110 triliun, insentif pajak dan stimulus kredit usaha rakyat Rp 70,1 triliun serta pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 150 triliun.
Selain mengalokasikan dana stimulus, perppu juga memberikan kewenangan tambahan kepada Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Komite Stabilitas Sistem Keuangan diberi kewenangan menangani stabilitas sistem keuangan, di antaranya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek pada bank sistemik dan bukan sistemik. Selain itu, BI diberi kewenangan membeli surat utang negara atau surat berharga syariah negara berjangka panjang di pasar perdana. Korporasi juga diberi kesempatan memperoleh pendanaan melalui penjualan kembali surat utang (repo).
Jika stimulus di sektor kesehatan dan perlindungan keluarga pra-sejahtera nyaris tak diperdebatkan, lain halnya dengan kebijakan di sektor keuangan. Banyak kalangan menilai kebijakan ini kontroverial karena mengingatkan kembali kejadian krisis 1998 atau blunder penyelematan Bank Century.
Pandemi korona tipe baru ini memang bagaikan peperangan di dua lini sekaligus, yakni bidang kesehatan dan perekonomian. Gejolak sektor keuangan yang mengikuti pandemi memerlukan respons kebijakan yang cepat dan solid. Jika peperangan di sektor kesehatan memerlukan perlindungan bagi tenaga kesehatan, peperangan di sektor ekonomi memerlukan perlindungan bagi pengambil kebijakan sektor keuangan.
Publik trauma dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang digelontorkan dalam penyelamatan perbankan menghadapi krisis 1998. Terlalu banyak perilaku moral hazarddi sana sehingga berpotensi merugikan negara atas biaya rekap sekitar Rp 600 triliun. Namun, di sisi lain, pengambil kebijakan juga trauma dengan penyelamatan Bank Century sehingga tanpa perlindungan hukum mereka cenderung menghindari risiko.
Secara teori, perilaku moral hazarddan risk averse meningkat seiring informasi yang tidak lengkap. Dalam situasi krisis, kedua perilaku ini cenderung meningkat, seiring peningkatan ketidakpastian. Mitigasinya, memperbaiki kelembagaan agar informasi tersedia semakin baik. Semakin simetris informasi, semakin kecil risiko moral hazard dan risk averse.
Melihat lanskap persoalannya, diskusi terkait kebijakan ekonomi penting, tetapi urgensinya relatif rendah dengan kepastian penanganan sektor kesehatan. Perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan ekonomi diperlukan, tetapi lebih penting memastikan para tenaga medis di lapangan tak kekurangan amunisi. Untuk itu, prioritas kita yang pertama adalah memastikan alur komunikasi dan koordinasi antarlembaga terkait penangangan pandemi. Kementerian Kesehatan ada di pusat episentrum persoalan ini.
Persoalan ekonomi yang kita hadapi bermula dari krisis kemanusiaan akibat pandemi. Kesalahan di fase pertama penanganan perlu dipastikan tak terjadi lagi. Selebihnya, kita berharap agar solidaritas terbangun antarwarga. Krisis kemanusiaan selalu memunculkan naluri untuk memberi dan bekerja sama. Jika masyarakat di seluruh dunia sudah memiliki sifat ini, tantangan justru terjadi di dalam birokrasi pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar