Pandemi Covid-19 telah menginfeksi ribuan saudara kita dan membunuh ratusan di antaranya. Angka kasus riilnya bisa ratusan bahkan ribuan kali lipat dari yang dilaporkan setiap hari.
Minimnya pemeriksaan membuat singkapan gunung es kasus Covid-19 semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Kecepatan bergerak virus ini telah melampaui upaya kita menyingkap selubung esnya.
Sayangnya, di tengah kondisi yang semakin gawat ini, kita belum juga memiliki satu tekad bahwa musuh bersama adalah virus SARS-CoV-2, pemicu Covid-19. Ketika bahaya sudah mengetuk pintu rumah, kita masih saja ribut sendiri.
Saat banyak dokter dan tenaga medis meninggal, mereka yang menyampaikan belasungkawa dituding mempolitisasi tragedi. Demikian halnya, saat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resah dengan kematian sejawat mereka dan meminta jaminan alat pengaman diri, tak sedikit yang menghujat mereka hendak memolitisasi keadaan.
Penyakit sosial ini menginfeksi banyak orang di Indonesia tanpa pandang status sosial, sejak virus korona baru ini masih merebak di Wuhan, China. Publik pun terbelah, lebih tepatnya dibelah oleh narasi para politisi dan pengurus negara. Mereka yang mengingatkan adanya ancaman bahaya dan mendorong kesiapsiagaan, dicibir, dan dianggap menakut-nakuti.
Ketika wabah meluas dan negara-negara lain menyatakan telah terinfeksi Covid-19, publik negeri ini justru semakin terbelah. Bahkan, ketika negara jiran kita, Singapura, menaikkan status bahaya karena adanya penularan domestik pada 10 Februari 2020 lalu, banyak yang mencibirnya sebagai berlebihan.
Salah satu pesan populer yang beredar di media sosial di Indonesia awal Februari 2020 menyebutkan, "Mau virus flu Singapura, virus MERS, dll, karena kita hidup di negara tropis dengan kelembaban yang sangat tinggi, di mana-mana udara kotor, jadi tubuh kita lebih kebal daripada mereka-mereka."
Pesan ini diamini banyak orang, termasuk para akademisi dan bahkan pengurus negeri, yang saat itu beranggapan tiadanya kasus di Indonesia sebagai prestasi. Ketika ada yang mengingatkan bahwa tiadanya kasus di Indonesia karena masalah dalam deteksi, justru dianggap sebagai penghinaan terhadap bangsa ini.
Wacana lockdown atau karantina wilayah menjadi pro dan kontra, yang tendensinya lebih ke politik dibandingkan dengan substansi dan urgensi kebijakan.
Berulang kali para pengurus negara, terutama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, menyampaikan bahwa Covid-19 ini tidak perlu ditakuti, mirip flu biasa, bisa sembuh sendiri, Indonesia aman karena kebal dan tropis, hingga tingkat kematiannya rendah, dan santai saja.
Bahkan, saat negara lain mulai menutup pintu masuk, pemerintah menunjukkan sikap sebaliknya dengan menggelontorkan insentif dan promo wisata.
Bahkan, saat pandemi sudah mengepung dan Jabodetabek memerah karena luasnya sebaran, publik kembali dibelah. Wacana lockdownatau karantina wilayah menjadi pro dan kontra, yang tendensinya lebih ke politik dibandingkan dengan substansi dan urgensi kebijakan.
Ini mirip dengan pembelahan dukungan terkait normalisasi dan naturalisasi dalam mengatasi banjir Jakarta. Dua kubu terus berseteru, sampai lupa bahwa korban membutuhkan langkah segera.
Kini, meski korban semakin banyak berjatuhan dan rumah sakit kewalahan menampung yang sakit, publik tak juga bersatu. Mereka yang mengkritik dan mengingatkan pemerintah agar lebih progresif, dibelah dengan narasi, "Daripada mengkritik, lebih baik saling membantu, berpikir positif, dan jangan sebarkan berita-berita tentang korona lagi."
Padahal, saling bantu dan membangun optimisme bukanlah oposisi biner dengan kritik untuk perbaikan penanganan Covid-19. Justru semuanya sama-sama diperlukan sehingga tak perlu dipertentangkan.
Bahkan, kita harus mencatat kekeliruan kebijakan yang terjadi sejak awal wabah ini, agar menjadi pelajaran bagi generasi mendatang. Bangsa yang baik adalah yang selalu belajar.
Mereka yang merasa sudah membantu, tidak perlu mencela yang mengkritik pemerintah agar segera memperbaiki langkah. Tidak sedikit yang mengkritik juga turut membantu. Tidak perlu diperbandingkan mana yang paling berjasa.
Pemerintah memang perlu terus diingatkan tentang pentingnya tes massal Covid-19, penelusuran kontak, dan perkuatan layanan medis, selain soal jaminan ketersediaan alat pengaman diri untuk tenaga medis.
Kontestasi politik
Pembelahan yang terjadi saat ini tak bisa dilepaskan dari kontestasi politik yang belum usai. Ini seperti kutukan. Mereka yang memanfaatkan pembelahan sentimen massa dalam pemilihan umum, bakal kesulitan mendamaikan dan menyatukan hati publik.
Keberadaan para buzzer politik yang bergentayangan sejak pemilihan umum telah memperparah pembelahan massa. Mereka terus memanasi para kubu untuk mencemooh jagoan rival.
Butuh berapa banyak lagi kematian agar kita semua sadar bahwa pandemi Covid-19 ini bukan urusan politik. Virus ini jelas tidak berpartai, tidak beragama, tidak mengenal ideologi, dan strata sosial. Siapa pun yang berada dalam jangkauannya bakal terinfeksi.
Mereka yang sudah mati juga bukan sekadar angka, tetapi memiliki relasi sosial yang semakin mendekat ke lingkaran hidup kita. Waktu kita saat ini semakin pendek. Namun, tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan diri.
Jika berbulan-bulan kita kehilangan arah dalam menangani wabah, kini saatnya Presiden Joko Widodo tampil ke depan dengan langkah-langkah progresif.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang semula juga menyangkal dan menyepelekan ancaman Covid-19, bahkan membangun narasi antisains mirip para politisi di Indonesia, kini hampir tiap hari tampil di televisi, seperti jenderal perang yang menghadapi kondisi gawat.
Trump agaknya mencoba mengatasi ketertinggalan dengan mengerahkan tes massal, sekalipun wabah telanjur parah sehingga laju korban di AS tinggi. Harga mahal yang harus dibayar akibat penyangkalan.
Indonesia bisa seperti AS yang pada Rabu (8/4/2020) memiliki 406.000 kasus positif Covid-19 dengan 30.000 penambahan kasus baru dan 2.000 kasus meninggal per hari.
Kita memang menghadapi virus baru yang memiliki kemampuan menyebar secara eksponensial. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu 3 bulan untuk mencapai jumlah kasus 1 juta di seluruh dunia. Kini hanya butuh waktu kurang dari 10 hari untuk mencapai 1 juta berikutnya.
Inilah kecepatan penggandaan itu. Makin cepat penularannya, makin pendek waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan jumlah infeksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar