Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 April 2020

Korona Seharusnya Menyatukan Kita (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, wartawan Kompas

Pandemi Covid-19 telah menginfeksi ribuan saudara kita dan membunuh ratusan di antaranya. Angka kasus riilnya bisa ratusan bahkan ribuan kali lipat dari yang dilaporkan setiap hari.

Minimnya pemeriksaan membuat singkapan gunung es kasus Covid-19 semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Kecepatan bergerak virus ini telah melampaui upaya kita menyingkap selubung esnya.

Sayangnya, di tengah kondisi yang semakin gawat ini, kita belum juga memiliki satu tekad bahwa musuh bersama adalah virus SARS-CoV-2, pemicu Covid-19. Ketika bahaya sudah mengetuk pintu rumah, kita masih saja ribut sendiri.

Saat banyak dokter dan tenaga medis meninggal, mereka yang menyampaikan belasungkawa dituding mempolitisasi tragedi. Demikian halnya, saat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resah dengan kematian sejawat mereka dan meminta jaminan alat pengaman diri, tak sedikit yang menghujat mereka hendak memolitisasi keadaan.

Penyakit sosial ini menginfeksi banyak orang di Indonesia tanpa pandang status sosial, sejak virus korona baru ini masih merebak di Wuhan, China. Publik pun terbelah, lebih tepatnya dibelah oleh narasi para politisi dan pengurus negara. Mereka yang mengingatkan adanya ancaman bahaya dan mendorong kesiapsiagaan, dicibir, dan dianggap menakut-nakuti.

Ketika wabah meluas dan negara-negara lain menyatakan telah terinfeksi Covid-19, publik negeri ini justru semakin terbelah. Bahkan, ketika negara jiran kita, Singapura, menaikkan status bahaya karena adanya penularan domestik pada 10 Februari 2020 lalu, banyak yang mencibirnya sebagai berlebihan.

KOMPAS/YOLA SASTRA

Suasana lantai dasar Pelabuhan Batam Centre, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (13/2/2020) siang. Jumlah penumpang di pelabuhan internasional ini semakin sedikit sejak Singapura menaikkan status peringatan perjalanan dari kuning menjadi oranye untuk mengantisipasi penyebaran virus korona baru.

Salah satu pesan populer yang beredar di media sosial di Indonesia awal Februari 2020 menyebutkan, "Mau virus flu Singapura, virus MERS, dll, karena kita hidup di negara tropis dengan kelembaban yang sangat tinggi, di mana-mana udara kotor, jadi tubuh kita lebih kebal daripada mereka-mereka."

Pesan ini diamini banyak orang, termasuk para akademisi dan bahkan pengurus negeri, yang saat itu beranggapan tiadanya kasus di Indonesia sebagai prestasi. Ketika ada yang mengingatkan bahwa tiadanya kasus di Indonesia karena masalah dalam deteksi, justru dianggap sebagai penghinaan terhadap bangsa ini.

Wacana lockdown atau karantina wilayah menjadi pro dan kontra, yang tendensinya lebih ke politik dibandingkan dengan substansi dan urgensi kebijakan.

Berulang kali para pengurus negara, terutama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, menyampaikan bahwa Covid-19 ini tidak perlu ditakuti, mirip flu biasa, bisa sembuh sendiri, Indonesia aman karena kebal dan tropis, hingga tingkat kematiannya rendah, dan santai saja.

Bahkan, saat negara lain mulai menutup pintu masuk, pemerintah menunjukkan sikap sebaliknya dengan menggelontorkan insentif dan promo wisata.

Bahkan, saat pandemi sudah mengepung dan Jabodetabek memerah karena luasnya sebaran, publik kembali dibelah. Wacana lockdownatau karantina wilayah menjadi pro dan kontra, yang tendensinya lebih ke politik dibandingkan dengan substansi dan urgensi kebijakan.

KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Warga di Gang Wonodadi I, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, melakukan karantina wilayah di RT tersebut untuk mencegah penularan Covid-19, sejak Selasa (31/3/2020).

Ini mirip dengan pembelahan dukungan terkait normalisasi dan naturalisasi dalam mengatasi banjir Jakarta. Dua kubu terus berseteru, sampai lupa bahwa korban membutuhkan langkah segera.

Kini, meski korban semakin banyak berjatuhan dan rumah sakit kewalahan menampung yang sakit, publik tak juga bersatu. Mereka yang mengkritik dan mengingatkan pemerintah agar lebih progresif, dibelah dengan narasi, "Daripada mengkritik, lebih baik saling membantu, berpikir positif, dan jangan sebarkan berita-berita tentang korona lagi."

Padahal, saling bantu dan membangun optimisme bukanlah oposisi biner dengan kritik untuk perbaikan penanganan Covid-19. Justru semuanya sama-sama diperlukan sehingga tak perlu dipertentangkan.

Bahkan, kita harus mencatat kekeliruan kebijakan yang terjadi sejak awal wabah ini, agar menjadi pelajaran bagi generasi mendatang. Bangsa yang baik adalah yang selalu belajar.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pengemudi ojek daring mengantarkan donasi sayur-mayur kepada sekelompok pemuda yang mengubah kafe mereka menjadi dapur umum "Dapur untuk Rakyat" di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (8/4/2020). Makanan siap saji yang dihasilkan dibagikan kepada para pekerja lepas harian yang terdampak langsung ataupun tak langsung oleh pandemi Covid-19.

Mereka yang merasa sudah membantu, tidak perlu mencela yang mengkritik pemerintah agar segera memperbaiki langkah. Tidak sedikit yang mengkritik juga turut membantu. Tidak perlu diperbandingkan mana yang paling berjasa.

Pemerintah memang perlu terus diingatkan tentang pentingnya tes massal Covid-19, penelusuran kontak, dan perkuatan layanan medis, selain soal jaminan ketersediaan alat pengaman diri untuk tenaga medis.

Kontestasi politik

Pembelahan yang terjadi saat ini tak bisa dilepaskan dari kontestasi politik yang belum usai. Ini seperti kutukan. Mereka yang memanfaatkan pembelahan sentimen massa dalam pemilihan umum, bakal kesulitan mendamaikan dan menyatukan hati publik.

Keberadaan para buzzer politik yang bergentayangan sejak pemilihan umum telah memperparah pembelahan massa. Mereka terus memanasi para kubu untuk mencemooh jagoan rival.

Salah satu spanduk gang wilayah RW 001 Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, yang memberlakukan pembatasan sosial, Kamis (9/4/2020). Pembatasan sosial ini menjadi bagian gerakan Siaga RW untuk pandemi Covid-19. Selain membatasi akses masyarakat, kesadaran melindungi diri dengan masker juga perlu diperhatikan untuk mencegah penyebaran virus Korona.

Butuh berapa banyak lagi kematian agar kita semua sadar bahwa pandemi Covid-19 ini bukan urusan politik. Virus ini jelas tidak berpartai, tidak beragama, tidak mengenal ideologi, dan strata sosial. Siapa pun yang berada dalam jangkauannya bakal terinfeksi.

Mereka yang sudah mati juga bukan sekadar angka, tetapi memiliki relasi sosial yang semakin mendekat ke lingkaran hidup kita. Waktu kita saat ini semakin pendek. Namun, tak pernah ada kata terlambat untuk menyelamatkan diri.

Jika berbulan-bulan kita kehilangan arah dalam menangani wabah, kini saatnya Presiden Joko Widodo tampil ke depan dengan langkah-langkah progresif.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang semula juga menyangkal dan menyepelekan ancaman Covid-19, bahkan membangun narasi antisains mirip para politisi di Indonesia, kini hampir tiap hari tampil di televisi, seperti jenderal perang yang menghadapi kondisi gawat.

Trump agaknya mencoba mengatasi ketertinggalan dengan mengerahkan tes massal, sekalipun wabah telanjur parah sehingga laju korban di AS tinggi. Harga mahal yang harus dibayar akibat penyangkalan.

Indonesia bisa seperti AS yang pada Rabu (8/4/2020) memiliki 406.000 kasus positif Covid-19 dengan 30.000 penambahan kasus baru dan 2.000 kasus meninggal per hari.

Kita memang menghadapi virus baru yang memiliki kemampuan menyebar secara eksponensial. Jika sebelumnya dibutuhkan waktu 3 bulan untuk mencapai jumlah kasus 1 juta di seluruh dunia. Kini hanya butuh waktu kurang dari 10 hari untuk mencapai 1 juta berikutnya.

Inilah kecepatan penggandaan itu. Makin cepat penularannya, makin pendek waktu yang dibutuhkan untuk menggandakan jumlah infeksi.

Jika tak ada upaya segera, jangankan untuk menangani pasien, untuk menguburkan korban yang mati pun kita bakal kewalahan. Kita akan bisa menghadapi pandemi ini hanya jika kita bersatu dan menjadikan Covid-19 sebagai musuh bersama.

Kompas, 9 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger